This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 09 Oktober 2010

ANTARA FACEBOOK DAN MANUSIA PRODUKTIF

Kecanggihan teknologi informasi khususnya internet telah membawa kemajuan yang sangat pesat di seluruh aspek kehidupan. Berapa banyak kawan lama yang kembali bersilaturahim berkat situs jejaring rekaan Mark Zuckerberg bernama Facebook. Berapa banyak bisnis berjalan mulus dan berkembang berkat distribusi dan jaringan melalui internet. Berapa pula banyak orang yang menjadi religius berkat siraman rohani dari berbagai situs dakwah yang bertebaran di dunia maya.

Namun dibalik manfaat kecanggihan internet itu tidak sedikit pula mudharat yang bakal menimpa penggunanya. Edward Richardson, pria asal London, Inggris tega membunuh mantan istrinya. Penyebabnya hal sepele, yakni setelah mengetahui kalau mantan istrinya tersebut telah mengubah status ’single’ di Facebooknya. Tidak sedikit juga pengguna internet menjadi tidak produktif karena waktunya habis terbuang hanya untuk memperhatikan perkembangan Facebooknya.

Jika Facebook dan produk internet lainnya telah melalaikan dan menurunkan produktivitas kita sebagai seorang muslim itu tandanya kita harus waspada. Islam –dengan ke-syumul-annya– menawarkan konsep “manusia produktif” kepada setiap orang sekaligus mengantarkan mereka menembus nilai-nilai ilahiyyah yang sering tertutup oleh tabir kegelapan jahiliyyah. Sekurang-kurangnya ada empat prinsip yang diutarakan sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif, duniawi dan ukhrawi.

Yang pertama, mengubah paradigma hidup dan ibadah. Dalam Islam, hidup bukanlah menuju kematian, akan tetapi menuju kehidupan yang abadi. Hidup merupakan ladang yang akan dituai hasilnya di kehidupan abadi nanti. Sehingga hidup ini merupakan durasi penyeleksian manusia dari amalan-amalannya, dari produktivitasnya di pentas dunia. Mana di antara mereka yang tingkat produktivitasnya tinggi dan mana yang tidak. Allah swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS 51:56)

Apabila paradigma (cara pandang) terhadap Facebook dan produk internet lainnya sebagai sarana atau media yang memberikan kemudahan kepada kita untuk beribadah kepada Allah SWT maka peningkatan produktivitas kita akan mengalami lonjakan kenaikan yang tinggi karena media itu telah memberi banyak manfaat kepada kita, bukan menjadi sarana yang menjerumuskan kita kepada kesia-siaan, waktu yang terbuang dan berbagai kemudharatan lainnya.

Yang kedua, memelihara kunci produktivitas, yaitu hati. Rasulullah saw bersabda: “Ingatlah dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, itu tidak lain adalah hati”.

Hati merupakan “ruh” bagi semua potensi yang kita miliki. Jika hati kita bersih pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan hanya untuk melihat foto-foto orang lain, atau membaca komentar-komentar orang lain di Facebook. Jika hati kita bersih kita juga tidak akan berbuat iseng kepada orang lain dengan mengambil gambar orang lain untuk keperluan yang tidak bermanfaat.

Tak perlulah ada penambahan-penambahan baru dalam Islam yang tidak ada syariat/contohnya dari Rasulullah

Islam adalah agama sempurna. Inilah yang dipahami oleh para Shahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam. Sehingga mereka mencukupkan dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam saja tanpa menambah dengan amalan-amalan yang lainnya.

Sebagaimana pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
“Ikutilah (apa yang diajarkan oleh Rasulullah), jangan mengamalkan amalan-amalan baru (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam), sungguh (petunjuk/sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam) telah cukup bagi kalian. (HR. Abu Khaitsamah dalam kitabnya Al Ilmu no. 45)

Serta inilah yang dipahami oleh para ulama kita. Al Imam Asy Syafi’i berkata:
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara yang tidak dicontohkan Rasulullah), maka sungguh ia telah membuat syariat (baru).”

Ucapan semacam ini telah masyhur dinukil oleh para ulama Syafi’iyyah (bermadzhab Syafi’i), seperti dalam kitab Al Mankhul hal. 347 dan Jam’ul jawami’ 2/395, dan juga bisa dirujuk dari karya Al Imam Asy Syafi’i sendiri dalam kitabnya Ar Risalah hal. 507 dan Al Um 7/297-304.

Sebuah amalan yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tidak akan diterima disisi-Nya, bahkan bisa menjadi sebuah kerugian yang amat besar bagi pelakunya. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan akan hal ini dalam firman-Nya subhanahu wa ta’ala (artinya):

“Katakanlah: “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?”

“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunianya, sedangkan mereka menyangka telah beramal dengan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)

Hukum Makan Dengan Tangan Kiri

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saat ini kami akan membahas adab makan yang lain yaitu adab makan dengan tangan kanan.

Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai anak, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah yang ada di hadapanmu." (HR. Bukhari no. 5376, Bab Membaca Basmalah ketika Makan dan Makan dengan Tangan Kanan; Muslim no. 2022, Bab Adab Makan-Minum dan Hukumnya)

Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat,

« إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ ».

"Jika seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya. Jika minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula." (HR. Muslim no. 2020, Bab Adab Makan-Minum dan Hukumnya)

Hukum menggunakan hot spot internet tanpa seizin pemiliknya

اسم المفتي: فضيلة الشيخ وحيـد عبدالسلام بالـي

Fatwa Syaikh Wahid Abdus Salam Bali

السؤال كامل : شيخنا الغالي أنا صيدلي مصري مقيم بمكة شرفها الله وعندي جهاز كمبيوتر محمول

Pertanyaan, “Aku adalah seorang apoteker dari Mesir yang sekadar tinggal di Mekkah. Aku punya notebook (baca:laptop)

وتوجد شبكات انترنت مفتوحة فيتمكن الجهاز من الدخول علي الإنترنت من خلالها لأستفيد من الإنترنت فيما أحل الله من متابعتكم والاطلاع علي الصحف اليومية .

Di dekat aku tinggal terdapat hotspot internet sehingga aku bisa berselancar di dunia maya dengan memanfaatkan hotspot tersebut. Aku berinternet hanya untuk hal-hal yang Allah halalkan yaitu mengikuti situs anda dan membaca-baca koran harian.

فهل حرام علي أن استخدم هذه الشبكات بدون إذن أصحابها

Apakah haram bagiku untuk memanfaatkan hotspot tersebut tanpa seizin pemiliknya?

فنحن لا نعلمهم وفي حد علمي أنهم لو يمانعون لقاموا بإغلاقها بأرقام سرية .

Kami tidak memberi tahu pemiliki hotspot bahwa kami ikut mengakses internet dengan memanfaatkan hotspot tersebut. Sebatas pengetahuan kami seandainya pemilik hotspot melarang hal tersebut tentu dia telah mem-protect hotspot-nya dengan memakai password.

فما الحكم فيها إذاً ؟

Jadi hukumnya bagaimana?

Sabtu, 18 September 2010

Beberapa Masalah Berkenaan dengan Ziarah Kubur

Perlu untuk diingat bahwa ziarah kubur pada mulanya adalah dilarang sebelum akhirnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengizinkan untuk melakukannya. Larangan tersebut memang sangat beralasan karena masalah kubur memang sangat rawan akan bahaya kesyirikan yang itu merupakan lawan dari dakwah beliau dakwah tauhid.


Selain itu pada masa awal berkembangnya Islam kondisi keimanan para
shahabat masih dalam tahap pembinaan, jadi sebagai tindakan preventif
sangat wajar jika beliau melarang kaum muslimin melakukan ziarah kubur.
Bahkan ketika para shahabat telah menjadi orang mukmin pilihan beliau
masih tetap saja memperingatkan mereka dari bahaya kubur, sebagaimana tercermin dalam sabda beliau menjelang kewafatannya:
"Laknat Allah kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. "

Tanda-tanda Meraih Fadhilah Ramadhan

Ramadhan bak jamuan istimewa yang diperuntukkan Allah bagi hamba-hamba-Nya tanpa pandang bulu, baik bagi mereka para pecinta kebaikan, atau bagi mereka para pecinta maksiat. Para pecinta kebaikan menyambut jamuan Ramadhan untuk berlomba meraih kecintaan Allah. Sementara para pecinta maksiat sudah selayaknya menjadikannya sebagai perhentian terakhir dari petualangan dosa selama ini, sekaligus momentum balik untuk bergabung bersama kafilah pecinta kebaikan.

“Apabila malam pertama Ramadhan tiba, syaitan-syaitan dan jin jahat dibelenggu. Pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satupun yang terbuka. Pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satupun yang tertutup. Kemudian ada seorang penyeru yang berseru, ‘Wahai para pencari kebaikan, sambutlah! Wahai para pencari kejahatan, berhentilah. Maka Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu berlangsung pada setiap malam Ramadhan.” [Hadits Hasan, at-Tirmidzi: 682]

Bagi mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِـهِ إلاَّ الْجُوْعِ وَالْعَطَشِ .
“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(1) Menjadi Orang yang Ikhlas

Puasa Ramadhan menggembleng kita dalam mengikhlaskan niat, dimana puasa Ramadhan hanya dilakukan untuk Allah semata, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ: الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ, قَالَ اللهُ تَعَلَى: إلاَّ الصِّيَامُ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أَجْزِيْ بِـهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amal anak Adam akan dibalas berlipat ganda. Satu kebaikan akan dibalas 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Allah berfirman: ‘Kecuali puasa. Puasa ini untuk diri-Ku dan Aku akan membalasnya (dengan pahala tanpa batas). Dia meninggalkan syahwat dan makanannya demi diri-Ku….” [Shahih Muslim: 1151]

Inilah esensi ajaran tauhid. Jika ibadah Anda setelah Ramadhan tidak lagi bergantung pada tendensi selain-Nya, seperti riya’ dan sum’ah yang tergolong syirik kecil (lebih-lebih syirik besar), maka ini boleh jadi—Insya Allah—pertanda yang baik diterimanya amal Ramadhan Anda.

(2) Semakin Ringan dan Nikmat Dalam Melakukan Amal Ketaatan

Seputar berpergiannya wanita (alias mudik)

Dakwah Tauhid September 14 at 11:32am Reply
بسم الله الرحمن الرحيم

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لا يَحِلُّ لامرَأَةٍ تُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ أَن تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيلَةٍ لَيسَ مَعَهَا حُرمَةٌ

“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia mengadakan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram bersamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 2355)

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لا تُسَافِر المَرأَةُ إِلا مَعَ ذِي مَحرَمٍ، وَلا يَدخُلُ عَلَيهَا رَجُلٌ إِلا وَمَعَهَا مَحرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَن أَخرُجَ في جَيشِ كَذَا وَكَذَا، وَامرَأَتِي تُرِيدُ الحَجَّ؟ فَقَالَ: اخرُج مَعَهَا

“Janganlah wanita melakukan safar kecuali dengan mahramnya dan tidak boleh seorang lelakipun yang masuk menemuinya kecuali ada mahram bersamanya.” Maka ada seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, saya akan keluar bersama pasukan perang ini sementara istri saya ingin menunaikan haji?” beliau menjawab, “Temanilah istrimu.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لا تُسَافِرُ المَرأَةُ ثلاثًا إِلاَّ مَعَ ذِي مَحرَمٍ

“Seorang wanita tidak boleh melakukan safar -beliau mengulanginya sebanyak tiga kali- kecuali disertai mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1087 dan Muslim no. 1338)

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

لا تُسَافِرَ امرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَومَينِ لَيسَ مَعَهَا زَوجُهَا أَو ذُو مَحرَمٍ

“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan safar yang perjalanannya selama dua hari kecuali ikut bersamanya suaminya atau mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1864 dan Muslim: 2/976 -Syarh An-Nawawi-)

tanya jawab seputar Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)

Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”

Dilakukan Setelah Iedul Fithri

Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)

Apakah Harus Berurutan ?

Terungkap, Biang Insiden Penusukan Jemaat HKBP Adalah HKBP Sendiri

 JAKARTA (voa-islam.com) – Biang keladi insiden penusukan jemaat gereja
ilegal HKBP Pondok Timur Indah Bekasi adalah provokasi jemaat HKBP
sendiri. Demikian pernyataan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Front
Pembela Islam (FPI), Munarman SH dalam pertemuan bertema “Dialog
Terbuka Mencari Solusi HKBP” di Hotel Marcopolo Menteng Jakarta Pusat
(Kamis, 16/9/2010).

Selain itu, Munarman juga mengklarifikasi berbagai berita media massa
dengan mengungkapkan 7 fakta di balik insiden 12 September itu. Inilah
klarifikasi atas insiden penusukan jemaat gereja ilegal HKBP Pondok
Indah Bekasi:

1. Dua puluh tahun, umat Islam Bekasi telah menunjukkan ketinggian
sikap toleransi dan kebesaran jiwa terhadap Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) dengan membiarkan jemaat HKBP melakukan kebaktian
setiap Minggu di rumah tinggal seorang warga perumahan Mustika Jaya,
Ciketing, Bekasi Jawa Barat.

Dalam kurun waktu dua puluh tahun tersebut, umat Islam Bekasi tidak
pernah keberatan, apalagi usil dan mengganggu ibadah Jemaat HKBP di
tempat tersebut. Selama dua puluh tahun, umat Islam Bekasi tetap tidak
protes dengan adanya Jemaat HKBP yang datang dari luar perumahan,
bahkan luar Bekasi, ke tempat tersebut.

…Jemaat HKBP mulai arogan, tidak ramah lingkungan, tidak menghargai
warga sekitar yang mayoritas muslim, seenaknya menutup jalan perumahan
untuk setiap kegiatan mereka, bertingkah bak penguasa, merusak tatanan
kehidupan bertetangga, menciptakan berbagai problem sosial dan hukum…

Jumat, 03 September 2010

Cara Mudah Mendapatkan Malam Lailatul Qadar

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قاَمَ لَيْلَةُ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang mengerjakan qiyamullail pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata:

“Siapa saja yang mengerjakan qiyamullail dengan penuh iman dan mengharap pahala, PASTI akan mendapatkan ganjarannya, baik dia mengetahui bahwa malam itu (adalah) lailatul qadar atau tidak, meskipun seandainya orang itu tidak mengetahui tanda-tandanya, atau tidak waspada dengannya dikarenakan tertidur atau sebab lain, akan tetapi dia TELAH MENGERJAKAN QIYAMULLAIL DENGAN PENUH IMAN DAN MENGHARAP PAHALA. Maka Allah PASTI akan mengampuni dosanya yang telah lalu.

Syaikh rahimahullah juga berkata

“Ketetapan ganjaran lailatul qadar bisa diraih oleh orang yang mengerjakan qiyamullail dengan penuh iman dan mengharap pahala, BAIK IA MENGETAHUINYA ATAU TIDAK, karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengerjakan qiyamullail pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ’alaihi)

Ide Gila, Perang Indonesia Vs Malaysia!

Ada rasa jijik mengikuti berita-berita seputar konflik Indonesia-Malaysia. Begitu besar kebencian bangsa Indonesia ke Malaysia, sehingga bernafsu ingin berperang melawan negara jiran tersebut. Protes, kecaman, provokasi, dll. marak di mana-mana, menggugat sikap Malaysia yang dianggap sering melecehkan bangsa Indonesia. Di Malaysia sendiri, warga dan Pemerintah di sana juga bersikap keras. Walhasil, akankah terjadi konfrontasi terbuka antara Indonesia Vs Malaysia?
 
Kalau mendengar pernyataan-pernyataan provokasi Permadi, dia jelas sangat mendukung Indonesia perang melawan Malaysia. Permadi meyakinkan, pasukan Indonesia meskipun peralatan sederhana, tetapi berani mati. Sementara Malaysia, meskipun fasilitas militer bagus, nyalinya kecil. Permadi setuju gerakan, Ganyang Malaysia!
Kalau perang itu nanti terjadi, saya usul Permadi diberi seragam militer, khususnya pasukan infanteri, lalu diterjunkan dalam peperangan di front terdepan. Kita ingin melihat, apakah dia berani menerjuni peperangan tersebut? Begitu juga, wartawan-wartawan TV dan backing politik di belakangnya, yang sok nasionalis itu, mereka perlu diberi seragam infanteri juga, untuk berdiri di front line. Kita buktikan saja, sejauh mana kebenaran omongan mereka? Apakah mereka berani mati, seberani pernyataan mereka?
 
Perang melawan Malaysia adalah IDE GILA. Ide sangat gila, dan jangan dipikirkan sedikit pun peluangnya. Bukan karena kita takut mati, tetapi Malaysia itu bangsa Muslim. Mungkinkah kita akan berperang melawan sesama Muslim? Sudah sedungu dan sebejat itukah kita, sehingga ada niatan ingin berperang dengan sesama Muslim? Masya Allah, betapa rusaknya agama kaum Muslimin di negeri ini, sehingga urusan negara diletakkan lebih tinggi dari agama.
…Perang melawan Malaysia adalah ide sangat gila, jangan dipikirkan sedikit pun peluangnya. Bukan karena kita takut mati, tetapi Malaysia itu bangsa Muslim. Mungkinkah kita akan berperang melawan sesama Muslim?...
 

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya : Hukum mengeluarkan zakat fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut?

Jawaban
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah.

Konsekwensi syahadat La Ilaha Ilallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah saja, sedangkan konsekwensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari'atkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.

"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) " [An-Najm : 3-4]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak termasuk agama ini maka hal itu tertolak".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari'atkan zakat fithri dengan hadits yang shahih : Satu sha' makanan atau anggur kering atau keju. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu 'anhu, dia berkata :

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar"
Dan Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan supaya zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri.

Batik Sigma 2010



BAGAIMANA KOMENTARNYA KAWAND-KAWANDKU SEPERJUANGAN DA'WAH???? KASIH COMMENT YA....!!!! JAZAKUMULLAH

Seputar I'tikaf

Kapan dimulai dan diakhiri waktu I’tikaf

I’tikaf dimulai ketika tenggelamnya matahari hari ke-20 pada bulan Ramadhan sebagaimana pendapat Jumhur ulama’. Berdalil bahwa dimulainya hari itu dengan tenggelamnya matahari. I’tikaf diakhiri dengan tenggelamnya matahari pada malam ‘Ied.

Batasan I’tikaf

Tidak ada batasan waktu tertentu untuk I’tikaf, begitu pula syari’at tidak membatasinya, dan ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama yang lainya. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hanifah sahnya i’tikaf walaupun hanya 1 jam.

Dan sebagaimana kisah Umar radhiyallahu ‘anhu :

كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Dahulu semasa jahiliyyah aku bernadzar untuk beri’tikaf sehari di Masjid Al Haram. Maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah nadzarmu” (Muttafaqun’alaih)

I’tikaf di luar Ramadhan

I’tikaf di luar Ramadhan diperbolehkan, sebagaimana kisah Umar t ketika bernadzar semasa jahiliyyahnya untuk beri’tikaf selama 1 hari di Masjid Al Haram akan tetapi yang disyari’atkan adalah di bulan Ramadhan, dan kaum muslimin tidak diperintahkan untuk beri’tikaf selain bulan Ramadhan.
I’tikaf di daerah lain

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukan syaddur rihal (perjalanan serius untuk tujuan ibadah) kecuali ke 3 masjid, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudry shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Janganlah kalian menempuh perjalanan yang jauh kecuali pada 3 masjid: Masjidku ini (Masjid An Nabawy), Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha”.(Muttafaqun’alaih)

Sabtu, 17 Juli 2010

[Tauziyah] Kafirkah Orang Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir ? (bag. 1)

  Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani
Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya” [1]

Beliau rahimahullah juga menegaskan, hukum kafir dan fasiq termasuk hukum syar’i, bukan termasuk hukum yang dapat ditetapkan oleh akal secara bebas. Orangkafir ialah orang yang telah ditetapkan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan orang fasiq ialah orang yang telah ditetapkan fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya. [2]
Bagitu pula Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, takfir merupakan hukum syar’i. Orang kafir ialah orang yng telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [3]
Lebih lanjut Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, takfir (vonis kafir) terhadap orang-orang murtad, bukanlah syari’at yang dibuat kaum Khawarij, juga tidak oleh golongan lainnya. Juga bukan dari hasil pemikiran. Namun takfir merupakan hukum syar’i yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas orang-orang yang berhak mendapatkannya, karena melakukan salah satu dari pembatal-pembatal ke-islaman, baik pembatal qauliyah, I’tiqadiyah maupun fi’liyah, sebagaimana telah dijelaskan para ulama dalam masalah hukum-hukum bagi orang murtad. Hukum-hukum tersebut diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4]
Demikian pula telah disebutkan dalam Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah, takfir merupakan hukum syar’i, tempat kembalinmya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]

Istikharah Cinta

Monday, 12 July 2010 09:27
Doa adalah senjata umat Islam. Dengan doa, berbagai masalah bisa dipecahkan

SEORANG akhwat, sebut saja Aisyah. Ia mahasiswi semester akhir di perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Mengetahui godaan menjaga iman begitu besar, terbersit keinginan untuk segera menikah. Ia yakin, hanya dengan menyempurnakan agama, kesucian diri; baik hati maupun fisik bisa dijaga. Niat itu pun didukung penuh orang tuanya.

Gayung pun bersambut. Tak lama kemudian, ada dua ikhwan yang serius akan menikahinya. Keduanya termasuk orang baik dan shaleh. Rajin ibadah dan aktifis kampus. Tak hanya itu, secara fisik juga sama. Ganteng. Cuma, perbedaanya dalam hal ekonomi. Yang satu terbilang mampu, sedang yang satunya sangat sederhana. Bahkan, untuk biaya kuliah, dia mencari sendiri.

Sebagai manusia, perasaan bingung dan bimbang pasti ada. Aisyah pun tak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Lalu, malam harinya Aisyah shalat istikharah dua rakaat, meminta pada Allah agar ditunjukkan yang terbaik dari salah satu pemuda shaleh itu. Sekali ia shalat, tapi belum juga ada tanda-tanda.

Waktu Shalat Isya

http://eramuslim.com

Waktu yang Utama untuk Shalat Isya
Assalamu'alaykum Wr. Wb.


Ustadz yang dirahmati Allah SWT, ada beberapa hadits shahih yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW lebih mengutamakan pelaksanaan Shalat
Isya di akhir waktu (1/3 malam terakhir) bahkan beliau ingin sekali
menyarankan ummatnya untuk melaksanakannya, jika beliau tidak khawatir
disalah-artikan menjadi perintah (dianggap wajib). Dalam beberapa hadits
beliau juga kita mengetahui beberapa keutamaan shalat berjama'ah, yakni
27 derajat lebih tinggi dibanding shalat sendiri, mewajibkan orang buta
untuk tetap shalat berjama'ah di masjid meskipun tidak punya penuntun,
bahkan beliau berniat membakar rumah orang-orang yang malas shalat
berjama'ah di masjid. Dalam Shirah Nabawiyah diberitakan pula beliau
hampir tidak pernah meninggalkan shalat berjama'ah sampai akhir hayat
beliau.


Nah, yang ingin saya tanyakan, apa kaitan keutamaan sholat Isya di akhir
waktu dengan sholat berjama'ah di masjid itu? Apa maksudnya di zaman
Rasulullah SAW. shalat jamaahnya (di masjid) itu memang dilakukan di
akhir waktu? Padahal shalat berjama'ah zaman sekarang umumnya
dilaksanakan di awal waktu. Apakah maksudnya jika kita sholat sendirian
di rumah karena punya uzur syar'i boleh/disunahkan untuk diakhirkan?
Jazakallah atas penjelasan Ustadz.


Wassalamu'alaykum Wr. Wb.
Nana Sudiana

RUQYAH, PENYEMBUHAN DENGAN AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://www.almanhaj.or.id/content/2691/slash/0

Allah menciptakan makhlukNya dengan memberikan cobaan dan ujian, lalu menuntut
konsekwensi kesenangan, yaitu bersyukur; dan konsekwensi kesusahan, yaitu sabar.
Hal ini bisa terjadi dengan Allah membalikkan berbagai keadaan manusia sehingga
peribadahan manusia kepada Allah menjadi jelas. Banyak dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa musibah, penderitaan dan penyakit merupakan hal yang lazim
bagi manusia. Dan semua itu pasti menimpa mereka, untuk mewujudkan peribadahan
kepada Allah semata, serta untuk melihat siapa yang paling baik amalnya.

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun" [Al Mulk : 2]

Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian; bahkan cobaan dan ujian merupakan
Sunnatullah dalam kehidupan. Manusia diuji dalam segala sesuatu, baik dalam
hal-hal yang disenangi maupun dalam hal yang dibenci dan tidak disukai. Allah
berfirman :

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah kamu dikembalikan". [Al Anbiya`: 35].

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: Kami akan menguji kalian dengan kesulitan,
kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram,
ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan.[1]

Berbagai macam penyakit merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada
hambaNya. Sesungguhnya, cobaan-cobaan itu merupakan Sunnatullah yang telah
ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmahNya. Ketahuilah, Allah tidak menetapkan
sesuatu, baik berupa takdir kauni (takdir yang pasti berlaku di alam semesta
ini) atau syar'i, melainkan di dalamnya terdapat hikmah yang amat besar,
sehingga tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia. Berbagai cobaan, ujian,
penderitaan, penyakit dan kesulitan, semua itu mempunyai manfaat dan hikmah yang
sangat banyak.

Shalat Ghaib

--- In assunnah@yahoogroups.com, emmy_atmahadi@... wrote:
> Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuuh,
> Kepada yang mengetahui,
> Mohon dijelaskan syarat2 dilaksanakannya Sholat Ghoib.

Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh

Setahu ana, syariat shalat Ghaib itu muncul ketika Rasulullah
memerintahkan beberapa para shabat untuk menyolatkan bersama beliau Raja
Najasy (Raja Habasyah, salah satu bagian dari Ethiopia dulu). Karena
Raja ini beragama muslim sedangkan rakyatnya masih Nasrani. Ini ada
hadits nya, tapi afwan ana lupa.

Tapi setau ana, jika seorang muslim yang meninggal sudah di sholatkan
(dilakukan shalat janazah), maka tidak wajib saudaranya yang jauh
lokasinya dengan mayyit untuk menyolatkannya kembali dengan shalat ghaib
tsb. Karena hukum dari shalat janazah ada fardhu kifayah. Bukan fardhu
'ain, yang berarti kewajiban seseorang muslim terhadap muslim akan gugur
jika sudah ada sebagian muslim yang melaksanakannya

Wallahu 'alam.

Silakan baca artikel dibawah ini

Sabtu, 19 Juni 2010

BINGKISAN IMAN

Hari yang cerah di ujung Agustus. Sejenak seorang pemuda berparas tampan berkulit sawo matang mengintip dari atas Balkon Harvard Faculty of Arts and Sciences dengan mata yang menyipit. Cahaya matahari yang memantul lewat River Cam membuatnya silau. Puluhan sampan berhilir mudik dengan tolakan galah sebagai pendayung. Wisata punt khas kota Cambridge yang memesona dunia.
”Semoga ini bukan hadiah yang memalukan...” batin Mahasiswa kandidat master Arts and Sciences Harvard University itu sembari memasukkan sebuah benda ke dalam kotak kecil berwarna krem yang terbungkus rapi. Arloji klasik berwarna perak keluaran 1960an yang memilki merk tak begitu terkenal. Dipuaskannya memandang langit Cambridge yang mulai memerah. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama di tempat itu, tetapi ia harus segera bergegas pulang karena ia tahu ada yang tengah menunggunya di Rumah.
Seharusnya hari ini bukanlah hari yang istimewa untuk Dhika hanya karena Ayahnya ulang tahun. Sejak ia mengetahui bahwa perayaan ulang tahun bukanlah termasuk ajaran Islam, ia tak pernah lagi meminta Ayahnya merayakan ulang tahunnya, atau sekadar memperingatinya secara istimewa. Kalaupun ada peringatan hari lahir, itu semata-mata adalah untuk mengingatkan tentang jatah usia di dunia yang semakin berkurang. Prinsip itulah yang masih ia pertahankan sampai sekarang. Diliriknya kembali jam tangannya sekilas, perjalanan dari Moller Centre menuju rumahnya di St. Marry Street memerlukan waktu sepuluh menit menggunakan sepeda bututnya.
”Ah, benarkah Ia masih Ayahku yang dulu?” batin Dhika. Semilir angin di sepanjang Moller Centre benar-benar menerbangkan segala kegundahan yang tengah dirasakannya. Dikayuhnya sepeda kesayangannya itu pelan sembari menghirup udara sore. Sesaat Dhika memejamkan mata sejenak, mendadak lamunanya buyar saat terdengar suara keras di telinganya.

”Braggghkkkkhhh!!!!” Dhika terjatuh. Sepedanya oleng dan meringsek ke semak-semak. Buah-buahan yang baru saja ia beli berjatuhan ke jalan. Ia baru sadar, ternyata sepedanya bertabrakan dengan sepeda lain. Ia meringis kesakitan sembari mencoba berdiri. Namun, mendadak ia tak lagi merasakan sakit saat matanya tertumbuk pada seorang pemuda yang jatuh terjerembab dari sepedanya juga, bahkan kelihatannya ia lebih parah karena tubuhnya tertimpa sepeda. Dhika cepat-cepat berlari ke arahnya dan berusaha mengangkat sepeda itu pelan-pelan.
”Sorry for hitting you, guy…” ucap Dhika meminta maaf sembari berusaha menawarkan pertolongan. Wajah pemuda itu tidak terlihat karena posisinya jatuh tertelungkup. Sepertinya ia juga tengah kesakitan. Sesaat ia menoleh. Dhika terperanjat melihat wajah pemuda itu.
”Omar??!” pekik Dhika setengah tak percaya. Ia tak menyangka jika pemuda itu adalah teman kuliahnya di Harvard Faculty of Arts and Sciences. Dengan sigap Dhika segera membantu pemuda yang akrab ia panggil Omar itu untuk berdiri. Rasa sakit di kakinya mendadak tak lagi terasa karena terkalahkan oleh tanda tanya yang bermunculan di kepalanya.
”Bukankah seharusnya saat ini Omar mengikuti doa bersama memperingati Maulud Nabi di Masjid Cambridge Muslim Society?” batin Arya bertanya-tanya. Di sanalah Dhika dan mahasiwa Muslim cambridge lainnya melakukan aktivitas-aktivitas sosial dan kegamaan sekaligus memeperdalam kajian tentang Islam.
”You will go to Cambridge Muslim trust centre, won’t you?” tanya Dhika. Melihat luka Omar, ia langsung mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Alkohol dan kapas. Dibalutnya luka di lutut sahabatnya itu hati-hati.
”Yes, but I think I can’t go there alone. Kakiku terlalu sakit jika harus kesana memakai sepeda…”jawab Omar. Dhika mafhum. Ia dilema. Jika, ia tidak pulang sekarang sudah bisa dipastikan Ayahnya akan berpesta tanpa dirinya, di Rumah besar pemberian Ibu tirinya yang kini ditinggalinya itu hanya ada dia, Ayahnya dan beberapa supir dan pembantu. Namun sedetik kemudian, tiba-tiba ia memutuskan sesuatu.
”Okey, let’s go there.., sekalian aku mengantarmu, Omar. Aku yakin, kakimu tidak akan kuat mengayuh sendiri.” tawar Dhika. Omar mengangguk. Pemuda jawa yang telah berpindah negara itu membiarkan bayangan wajah Ayahnya yang menyeruak dalam pikirannya tenggelam seiring kapas-kapas putih awan yang berganti mega-mega merah di langit senja Cambridge sore itu.
Pukul sembilan malam. Dhika mengayuh sepeda menuju Cambridge, St. Mary street. Pulang. Madrasah Islam di Cambridge Muslim Trust memang selesai setelah maghrib. Sarana belajar yang disediakan oleh organisasi Muslim di Cambridge itu memang diikuti banyak mahasiswa muslim, termasuk dirinya. Ia tadi sedikit berbincang dengan Ustadz Dr. Ahsen Mohammed, salah seorang pengurus organisasi itu bahwa sebentar lagi perluasan area Masjid di sekitar Cambridge Muslim Society di Elgin St. North Cambridge bisa segera terlaksana. Ada sosok misterius yang beberapa bulan belakangan ini selalu mengirimkan amplop besar berisi uang yang tak sedikit ke Yayasan Cambridge Musim trust tanpa menyebutkan namanya.
”Kami sedang melacak alamat pengirim perangko yang ada di amplop..” ucap Dr. Ahsen menjelaskan.
“Criiitttt…” Dhika mengerem sepedanya mendadak. Tak terasa ia sudah ada di depan rumah. Ia sengaja tak segera masuk . Ditatapnya sejenak rumah berlantai dua itu.
”Ibu, rumah kita dulu lebih kecil dari rumah ini. Tetapi mengapa Dhika lebih rindu dengan kita itu? tak ada lagi senyum Ibu yang begitu hangat, tak ada suara merdu Ibu usai shalat yang bisa Dhika dengar sekarang....” rintih Dhika lirih. Ada air mata yang menetes di sudut matanya. Rasa sedih yang mungkin sudah demikian dalam dan selalu menghinggapi hatinya manakala ia melihat Rumah besar yang ada dihadapannya kini. Rumah yang diberikan Ibu tirinya setelah meninggal untuk Ayahnya. Waktu dua tahun menikah sepertinya mampu digunakan dengan baik oleh wanita asing itu untuk membuat Ayah Dhika kehilangan imannya. Begitulah, cinta yang harus dibayar dengan prinsip. Berpindah agama.
”Kreekkk...!!!” pelan-pelan Dhika membuka pintu rumahnya. Kakinya berjingkat-jingkat. Namun sayang, baru beberapa langkah, ia dikejutkan oleh sebuah suara..
”Sejak kapan kau mulai mementingkan orang lain daripada Ayahmu sendiri, Dhika?! sepertinya jadwalmu di Cambridgeshire semakin membuatmu sangat sibuk sampai lupa dengan hari terpenting Ayahmu.. ” suara Ayah Dhika terdengar begitu jelas. Pertanyaan retoris yang terdengar sedikit sumbang. Rasa lelah yang dirasakannya membuatnya malas menganggapi pertanyaan sang Ayah.
”Dhika sudah pernah bilang, Dhika tidak suka pesta. Apalagi ulang tahun. Maaf jika membuat Ayah menunggu..” jawab Dhika begitu datar. Ia berjalan gontai menuju tangga.
”Apakah acara di Cambridge tadi begitu penting? apa yang mereka gunakan untuk memaksamu mengesampingkan Ayah hah?! bahkan sekadar mengantar Ayah ke Gereja pun sekarang kau menolak !!” suara Ayah Dhika meninggi. Dhika berhenti. Ada rasa sakit yang menghantam sudut hatinya.
”Hari ini bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal. Entahlah, apakah Ayah masih ingat jika tanggal itu adalah hari peringatan Maulud Nabi. Salahkah jika Dhika kesana untuk ikut berdoa bersama??” akhirnya Dhika bersuara. Suara yang terdengar begitu dipaksakan. Terlihat Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berpita cokelat, berisi arloji yang dibelinya tadi siang kemudian meletakannya di atas meja tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ayahnya.
”Meski hanya arloji murahan, Dhika harap ini cukup membuat Ayah berhenti berpikir bahwa Dhika melupakan Ayah ...” ucap Dhika sembari berlalu kemudian berjalan menaiki tangga . Tak ada ucapan manis selamat ulang tahun atau apalah itu. Ayah Dhika seketika terdiam. Didekatinya kotak kecil itu. Ada air mata yang mengambang di sudut mata sayu itu saat menatap secarik kertas yang tertempel diatasnya.
”Semoga umur yang masih Ayah punya hingga sekarang senantiasa membuat Ayah bersyukur. Selamat Hari lahir...” lelaki sepuh itu mengeja barisan tulisan putra semata wayangnya itu dengan hati bergetar. Ada bentuk keangkuhan yang luruh bersama derai sesal yang melingkupi jiwanya.
Malam yang hening. Jam kamar Dhika sudah berdetak beberapa kali. Dawai-dawai keheningan yang tengah bersenandung saat gulita itu digunakan pemuda yang tahun ini genap berusia dua puluh lima tahun itu untuk sejenak tenggelam dalam derai sujud-sujud panjangnya bermunajat pada Sang Pencipta. Usai tahajjud, ia menangis membaca Al Qur’an dengan suara parau. Hatinya yang tenggelam dalam kepasrahan seakan melengkapi keheningan sepertiga malam. Dhika tak dapat menahan isaknya saat hatinya meresapi baris-baris kalamullah itu dalam diam.
”Dan jika keduanya (orang tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahui tentang ilmu itu, janganlah engkau mengikuti mereka dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik..(Al Luqman : 15).” Dhika menangis tegugu. Bahunya terguncang. Dalam hatinya tak putus-putus ia berdoa, semoga Allah senantiasa menjadikannya anak yang berbakti tanpa harus mengusik keimanannya yang kadang beradu dengan dilema.
”Robbul ’izzati..., berikan ruang untuk hati Ayah hamba agar ia dapat kembali mendapat cahayaMU seperti dulu....” rintih Dhika. Dibacanya kembali barisan-barisan ayat penyejuk hati itu tanpa berniat untuk tidur lagi. Ia memang biasa tilawah sembari menunggu waktu shubuh tiba.
”Benarkah? ustadz sudah menemukan orang itu??” tanya Dhika usai mengajar anak-anak Cambridge mengaji Al Qur’an di Masjid Cambridge Muslim Society. Ia diberitahu bahwa orang yang selama ini memberikan bantuan tanpa nama itu sudah berhasil dilacak dan diketahui identitasnya. Ustadz Hasan Hawkins, guru mengajinya di Cambridge mengajaknya untuk bertemu orang itu.
”What?! Mr. Fred??!” ucap Dhika tak percaya. Siapa sangka, ternyata orang yang selama ini dicari identitasnya oleh orang-orang di Cambridge Muslim society itu ternyata sudah dikenalnya. Ya, Mr. Fred adalah tetangga baiknya di St. Marry Street. Lelaki asli Inggris itu memang seorang Muslim, Ayahnya pun sangat mengenal baik lelaki itu.
”Yes, but wait...perlu kau tahu, Mr. Fred hanya orang suruhan, dia hanya kurir. Ada orang yang menyuruhnya melakukan itu..” lanjut Ustadz Hasan serius.
“Ada yang menyuruhnya? siapa dia Ustadz?” tanya Dhika penasaran. Ustadz Hasan mendadak terdiam. Sejenaknya ditatapnya kedua mata Dhika lekat.
”He is your father, Son. Mr. Wiguna Atmaja..” ucap Ustadz Hasan lirih. Dhika begitu terperanjat, ia sungguh tak percaya apa yang didengarnya. Ustadz Hasan mengusap pundak murid kesayangannya itu pelan. Dhika benar-benar termangu. Mendadak serpihan memorinya terbang membawanya melintasi waktu, ia teringat saat setahun lalu ia memutuskan untuk aktif dalam kegiatan Masjid di Cambridge Muslim Society. Ayahnya terang-terangan menentang dan melarangnya sampai-sampai ia harus berdebat hebat. Meski setelah itu, karena ia terlalu keras kepala akhirnya ayahnya tak lagi mempedulikan hal itu. Ah, mendadak Dhika menjadi pusing memikirkannya.
”Benarkah ayah yang mengirimkan amplop berisi uang ke Masjid di Elgin selama ini?!” tanya Dhika malam-malam sewaktu ia di Rumah. Di hadapannya tengah duduk sang Ayah sembari membaca buku tebal. Lelaki keturunan jawa ningrat itu diam. Tak menjawab.
”Kenapa Ayah diam? jawab Dhika, Ayah..!”
”Bukankah itu yang selama ini kamu mau?! masjid itu sedang butuh dana, bukan? kau tinggal bilang berapa lagi yang harus Ayah keluarkan untuk mereka agar tak lagi memaksamu ikut dalam kegiatan-kegiatan itu lagi,,” jawab Ayah Dhika dingin. Mendengar jawaban ayahnya, Dhika sungguh kaget dan tak menyangka. Rasa sakit di hatinya yang selama ini ada semakin bertambah. Bahkan, kali ini ia telah demikian terluka.
”Begitukah mau ayah selama ini? begitu inginkah Ayah agar Dhika behenti? mengapa ayah selalu meminta Dhika untuk menghargai Ayah jika Ayah sendiri tak sedikitpun bisa menghargai Dhika? Sebanyak apapun uang yang ayah punya tidak akan membuat Dhika berhenti melangkahkan kaki ke Masjid Cambridge!” ucap Dhika dengan suara meninggi. Matanya berkaca-kaca. Ayah Dhika hanya diam. Tak bergeming.
”Baiklah..Dhika mengerti. Dhika sadar, mungkin terlalu sulit bagi Dhika untuk mencari sosok Ayah yang dulu. Mungkin terlalu sulit bagi Ayah untuk bisa menerima Dhika apa adanya. Andai saja ayah tahu, betapa Dhika berusaha untuk rela mati-matian menerima Ayah sekarang. Ayah yang jauh dari Dhika, Ayah yang telah melupakan Ibu, dan Ayah yang telah membuang iman yang pernah membuat kita semua dekat!!!”
“Plaakkk!!!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dhika. Tangan Ayah Dhika bergetar. Dhika merasakan perih yang teramat sangat di pipinya. Ia menunduk. Ayah Dhika tak berkata sepatah katapun. Matanya yang sempat menyala, perlahan kembali redup. Tanpa menghiraukan Dhika, ia berjalan meninggalkan Dhika dalam kebisuan. Dhika masih mematung, Beribu jarum penyesalan kini tengah menusuk seluruh ulu hatinya. Hening. Tak ada suara apapun selain desah nafas Dhika yang ingin sekali memuntahkan tangis yang tak terbendungkan.
Langit pagi Cambridge terlihat tak begitu cerah. Mendung. Seperti hati Dhika yang demikian muram karena tergerus kesedihan dan kegundahan. Pagi itu Dhika sengaja pegi ke Rumah Ustadz Hasan tanpa sepengetahuan Ayahnya. Ia sungguh butuh sesuatu yang dapat menguatkan hatinya.
”I’m so confused, Ustadz. I don’t know what should I do. Aku terlalu sulit mengenal Ayah sekarang, Andai aku bisa memberikan nyawaku agar Allah mau mengampuni Ayah, aku rela melakukannya. Sungguh..!!” desah Dhika. Wajahnya yang tampan terlihat sangat pucat. Matanya sembab.
”Mohon ampunlah atas ucapanmu, Dhika. Tak ada hak bagi kita untuk memaksakan ampunan bagi orang yang tidak beriman, meskipun dia saudara kita...!!” ucap Ustadz Hasan mengingatkan. Dhika langsung beristighfar lirih. Sejenak Ustadz Hasan membacakan arti petikan ayat al Qur’an dengan suara pelan.
”Tidak pantas bagi nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. Sekalipun orang-orang itu kaum kerabat (nya) setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahannam. (Q.S At taubah : 113)”
Dhika langsung beristighfar. Ia menunduk. Sungguh, saat ini ia benar-benar merasa tak mampu lagi menyelami sosoknya sendiri yang mendadak begitu cengeng. Ia terlalu larut dalam kesedihan dan kebingungan. Harapan-harapan yang pernah tersemai seakan luruh kembali dan menimpa tubuhnya. Begitu sakit terasa. Namun, ustadz Hasan justru tersenyum.
”Sabar, anakku. Rencana Allah itu lebih indah dari apapun. Bahkan terlalu indah jika dibayar dengan sebuah keputusasaan. Bersyukurlah, karena pagi ini Allah telah mengijabah doa-doamu...”
”Kreeek....” tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, membuat Dhika seketika menoleh. Dhika kaget.
”Ayah???!!”
”Kau tak perlu memberikan nyawamu untuk Ayah, Nak. Itu terlalu berharga untuk membayar keangkuhan dan kesombongan Ayah selama ini. Kau benar, Ayah terlalu egois mengikatmu untuk selalu mengerti Ayah, bahkan membawamu dalam kesesatan yang menyedihkan ” Ayah Dhika muncul sambil terisak.
”Andai kau tahu, Dhika. Betapa Ayah ingin sekali menangis seperti setiap kali mendengar kau terisak seusai Shalat. Betapa ingin ayah mendampingimu waktu itu. Bantu ayah kembali mendapatkan hidayah itu, Nak. Bantu Ayah kembali untuk mengenal Allah, bantu Ayah bersyahadat...!!!!” pinta Ayah Dhika tergugu. Ia benar-benar menangis tersungkur. Dhika tergagap. Tak percaya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Benarkah apa yang tengah dilihatnya kini? ditatapnya mata Ustadz Hasan dengan sorot yang meminta penjelasan.
”Ayahmu datang kesini shubuh tadi, Dhika. Doa yang selama ini kau panjatkan membuat hidayah kembali mengetuk pintu hati Ayahmu. Bimbinglah dia,” ucap ustadz Hasan tersenyum. Dhika langsung bersujud. Ia tak henti-henti mengucapkan syukur. Ia memeluk sosok terkasihnya yang sempat jauh darinya itu penuh keharuan. Rencana Allah memang tak tertandingi oleh apapun. Tak ada yang tahu, Alah telah memberi Ayahnya sebuah bingkisan berharga. Bingkisan Iman di sudut ruang hatinya. Bingkisan yang akan selalu membingkainya dalam derai syukur yang tak terlukiskan.


Anti Aufiyatus T.
2101407077
BSI-FBS


(pemenang lomba cerpen Islami Sigma 1431H)

Jumat, 18 Juni 2010

CINCIN MAS UNTUK RANI

Barisan orang pejalan kaki baru saja kembali dari gunung di ujung Desa Sidoagung itu. Tanah merah melekat di bawah sandal jepit seakan enggan untuk lepas. Senja di ufuk Barat mengantarkan sorot jingga pertanda mereka harus segera pulang. Pulang pada cita – cita dan kenyataan. Tentang Ardiansyah Eka Saputra.
---
Sabtu, 2 Mei 2009
Pukul 23.57 WIB di warnet ujung jalan.
“Sudah ngantuk, Ran?” ucap Ardi pada seorang gadis yang sejak satu jam yang lalu asik menatap layar komputer di depannya.
“Nggak mungkin ngantuk, Mas… Kurang 3 menit lagi.” Gadis pemilik gigi gingsul itu berkali – kali melirik jarum di jam tangannya.
Jam tangan yang selalu ia pakai sejak 3 tahun lalu, tepatnya saat ayah baru pulang dari Semarang. Pak Bambang Kusdiharto; seorang pekerja keras yang selalu menanamkan semangat pada kelima anaknya. Seorang pegawai yang patuh pada perintah atasan. Seperti saat itu, ketika atasan memerintahkannya untuk segera berangkat ke Semarang, mengecek proyek yang harus segera diselesaikan. Padahal, lima hari yang lalu bangsal rumah sakit menemani tidurnya. Tapi, tugas adalah amanah, begitu pikirnya. Alhamdulillah, tidak lebih dari 6 hari beliau sudah bisa pulang ke Kebumen, kota di mana ia dilahirkan dan bertemu dengan seorang wanita ayu keturunan Solo; Bu Endang Setiasih. Seorang wanita yang tak pernah bisa marah yang kini telah memberikan keturunan yang sehat – sehat pada beliau. Malam itu, Bu Endang bersama Ardi, Rani, Nindya, Salma, dan Bagas menanti seorang pria gagah yang kabarnya akan sampai rumah sekitar pukul 22.00 WIB.
“Kriiing…” suara telepon di ruang tengah.
“Assalamu’alaikum…”
“ Wa’alaikumussalam… Maaf, benar ini rumah Pak Bambang?” suara pria di ujung telepon dengan nada rendah.
“Iya, benar. Saya istrinya. Ada apa, ya Pak?”
“Maaf, Bu…Bapak baru saja kecelakaan saat perjalanan pulang.”
Sejak saat itu, wanita kepala empat itu harus membiayai kehidupan kelima anaknya seorang diri. Bila cinta adalah hanya memberi dan tak harap kembali, begitulah kiranya apa yang dilakukan Bu Endang pada mereka. Saat tujuh hari sepeninggal suaminya, ia baru berani membuka kotak yang ditemukan polisi di tempat kecelakaan. Di dalamnya ada cincin perak untuk Ardi, jam tangan untuk Rina, kerudung pink untuk Nindya, baju tidur untuk Salma, dan popok untuk si bungsu.
“Mas, udah lebih satu menit, nih…Tapi lola banget…” Rani harap – harap cemas menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru lewat jalur tes masuk di universitas yang sebulan lalu ia ikuti. Suasana warnet malam ini tak sesepi biasanya.
“Ini , Ran…udah ada pengumumannya.”
SELAMAT KEPADA MAHARANI KARTIKA PUTRI
NOMOR PENDAFTARAN : 4100760
DITERIMA PADA JURUSAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA, S1
“Alhamdulillah,, Yaa Rabb…” Ardi langsung sujud syukur.
Kebumen, 12 Agustus 2009
Ardi harus segera pergi sebelum ia ditinggal rombongan ke tempat kerjanya yang baru. Sejak ayah wafat, ia putus kuliah. Ada banyak kebutuhan yang harus segera dipenuhi, begitu pikirnya waktu ditanya ibu tentang alasannya keluar dari bangku kuliah. Saat guru di STM tahu tentang keputusannya, mereka sangat menyayangkan bintang sekolah harus memilih jalan itu. Memang tidak dipungkiri, uang pesangon dari tempat ayah bekerja dalam sekejap habis ketika Ardi harus bolak – balik opnam karena penyakit bronchitis yang dideritanya sejak SD. Alhamdulillah kini paru – parunya sudah bersih. Cita – cita menjadi arsitek seperti ayah tercinta pupus sudah. Bayang – bayang gedung megah hasil designnya pun kini telah ambruk di makan kenyataan. Kenyataan tentang cita – cita. Cita – cita tentang kenyataan.
“Mas harus pergi sekarang, Ran.” Ucap tenang Ardi pada adik yang baru saja lulus SMA itu.
“Rani harus bisa membantu Mas untuk mewujudkan cita – cita. Belajar yang tekun. Ini cincin Mas untuk Rani, untuk Adik tersayangku. Sampai sekarang, Mas belum tahu kenapa Ayah memberikan cincin untuk Mas. Menurut Mas, cincin lebih cocok untuk perempuan, untuk Rani.” Kalimat langsung terakhir yang ia ucapkan sebelum akhirnya rombongan membawanya pergi dari Kebumen.
---
Ibu kota Jawa Tengah
Hari ini, bulan kesepuluh sejak Rani kuliah di Universitas konservasi yang terletak di kota Semarang; Unnes. Itu berarti, sudah sepuluh kali pundi – pundi uang di ATMnya bertambah berkat kiriman dari masnya.
“Alhamdulillah, Masku baru ngirim uang, hehe.” Tergores raut bahagia dari air mukanya, yang selalu ia bagikan pada teman – temannya di kampus.
Pendidikan Matematika angkatan 2009 seharusnya tak mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia di semester 2, namun karena IP Rani mencukupi untuk menambah jumlah SKS, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil mata kuliah yang seharusnya diambil di semester 3.
“Sebelumnya saya minta maaf karena selama 2 minggu berturut – turut Saya tidak mengajar karena ada tugas dari jurusan.” Dosen berperawakan subur yang sering membuat alasan untuk tidak mengajar itu terlihat cantik dengan balutan kerudung di kepalanya.
“Iya, Buuuu….” kompak serasa paduan suara amatiran.
“Kali ini Saya akan memberikan materi tentang paragraf deskripsi. Materi ini pasti sudah pernah diberikan pada saat kalian di bangku SMP dan SMA. Tolong Saya buatkan salah satu contohnya dalam 15 menit, setelah itu silakan hasilnya dikumpulkan pada saya.”
“……Bvajhdabdcxm??<’<<> Sementara, Rani di barisan kedua dari depan tampak senyam – senyum. Ia tak mengerti mengapa selalu bersemangat jika sedang belajar Bahasa Indonesia. Sekilas, ingatannya kembali pada masa kelas 2 SD. Saat ayah masih segar – bugar. Malam itu, tatapan ayah tak seperti biasanya. Terlihat agak angker. Keduanya saling berhadapan di tengah suara jangkrik yang teramat jelas terdengar. Ibu berkali – kali mengingatkan bahwa jam peninggalan kakek yang masih kokoh menempel di dinding ruang tengah sudah berdentang sembilan kali. Waktu yang sudah terlalu larut untuk anak kelas 2 SD. Ini bukan kali pertama Rani melihat tatapan mata ayah seperti malam itu. Hampir di setiap malam sebelum ada kompetisi apapun, ayah selalu begitu. Terlihat angker. Seperti malam ini, ketika esok hari ada lomba hafalan surat pendek di sekolah.
“Rani memang sudah hafal, tapi belum benar tajwidnya.” Begitu berkali – kali ayah mengulang ucapannya sambil menepuk bahu gadis kecilnya.
“Rani harus yakin, insyaAllah bisa.” Lagi – lagi ayah membakar semangat gadis yang matanya sudah lima watt itu.
“Coba sekali lagi, setelah itu kita tidur.”
Siang harinya, Rani pulang membawa bungkusan hadiah di tangan mungilnya. Ayah, Rani bisa. Ayah yang hebat, Rani yang penurut, ibu yang lembut. Begitulah kiranya menggambarkan mereka. Pemilik cinta – cinta termesra dalam keluarga.
“Lima menit lagi.” Peringatan dari Bi Siti.
Ternyata, Rani sudah melamun kira – kira 10 menit. Yaa Rabb, coba lihat kertasnya, bersih.
Otaknya mulai diperas hingga keringat bercucuran keluar. Ia bingung akan mendeskripsikan apa. Pelan – pelan tangan lentiknya mulai meliuk – liukkan deretan huruf – huruf yang berjejer rapi membentuk kata pembangun kalimat yang bersinergi membentuk paragraf deskripsi.
“Baik, dari hasil pekerjaan kalian, akan Saya ambil secara acak. Setelah itu, namanya yang Saya sebut silakan paparkan hasilnya di muka.”
“Maharani Kartika Putri” nama itu terdengar disebut.
Deg!
Gadis itu berdiri sambil menggeser kursi ke belakang sedikit, lalu merapikan rok, lantas menuju ke depan papan tulis.
Suasana kelas tampak hening. Di dalam hati mahasiswa terucap “yes…yes…yes… Aku nggak maju”
“Aku mencintainya dengan teramat sangat. Cinta yang menurutku tak wajar kuberikan pada lawan jenis.”
“Huuuuuuuuuuuuuuuuuuu…..” spontan teriakan mahasiswa menghebohkan ruang pojok di gedung D4.
“Tolong didengarkan dahulu.” Bu Siti kembali menenangkan kelas. Dosen itu mulai paham, mahasiswi itu akan membuat deskrispi diri. Kelas Bahasa Indonesia rombel 38 ini memang berasal dari berbagai fakultas yang pasti memiliki perbedaan kebiasaan. FBS yang dari dandanan terlihat lebih wah, FIS yang agak sering telat (berdasarkan pengalaman), FIP yang tenang menghanyutkan, FIK yang sering ceplas – ceplos, FH yang diam karena menjadi kaum minoritas, FT yang terlihat sangar, dan FMIPA yang katanya terlihat serius dalam hal berbagai - bagai.
Rani meneruskan paragraf deskripsinya, kali ini tanpa membaca hasil tulisannya karena memang tulisannya dalam lima menit tadi terkesan kacau.
“Dia seorang pria yang tampan, berperawakan tinggi, pemilik senyum termanis, bijaksana, sholeh, penyayang, tidak gampang marah, dan yang teramat lembut untuk ukuran seorang pria. Jika kata dunia mata elang adalah mata yang paling tajam, tidak bagiku. Karena mata pria itu melebihi tajamnya. Rambutnya yang agak mengombak terlihat rapi tanpa diberi gell. Kulit telapak tangannya yang tak halus menandakan ia seorang pekerja keras yang memiliki cita – cita teramat tinggi. Bila aku ada di dekatnya, seakan dunia berpihak padaku. Rasa tenang dan nyaman yang ia suguhkan untukku membuat aku aman berada di sampingnya. Saat ia tak suka makan ikan, aku yang menghabiskan jatahnya. Saat aku tak boleh makan mie instan, ia yang susah payah menelannya. Kami saling melengkapi. Ia memang tak sempurna, tak istimewa, tapi tak biasa. Ia bukan ayahku, ia juga bukan temanku. Kalau kau bertanya,’Apakah ia pacarmu?’ lantang kujawab,’Bukan’. Ia juga bukan musuhku, ia bukan orang yang selalu memberikan bahunya untukku bersandar. Tapi, ia adalah orang yang mampu menarikku berdiri lagi ketika aku mulai terjatuh dan tertatih. Ia mengerti apa yang aku mau. Ia adalah seorang pria gagah yang sulit untuk didefinisikan terlebih lagi untuk dideskripsikan. Ia adalah Ardiansyah Eka Saputra; kakakku.
---
Akhir semester 2
Hari ini Rani pulang ke Kebumen. Bertemu ibu, Nindya, Salma, dan Bagas.
Ibu masih sibuk membuat pola baju pesanan Pak Camat yang akan diambil tiga hari lagi. Nidya yang sudah bercita – cita menjadi koki sejak kecil, tampak asik dengan pisau di tangannya. Ah, gadis itu sudah mulai beranjak remaja. Bila ada di dekatnya, kau akan mencium bau wangi dari minyak wangi yang selalu ia bilang… “Biar PeDe…”.
Salma sepertinya menuruni bakat menggambar ayah. Meskipun di bangku SD belum dikenalkan cara membuat gambar – gambar proyeksi, ia sudah mulai memenuhi buku gambarnya dengan goresan kasar bangunan rumah, gedung – gedung tinggi, jembatan, sekolah yang megah, dsb. Bagas sudah terlihat semakin besar, ia kini sedang senang memakai baju hijau – kuning plus topi yang ia dapatkan dari TK Aisyiah Bustanul Athfal 3, surga keduanya di bumi kali ini.
Rani senyum – senyum melihat perkembangan itu semua.
“Sayang, Mas Ardi tak bisa ikut kumpul di sini.” Lirih batin Rani.
“Bu, apa ndak ada libur untuk Mas Ardi, ya? Kan kasihan kalau disuruh kerja terus.”
“Sabar, Masmu itu kan lagi rekoso, lagi prihatin. Ya biar, nanti kalau waktunya pulang kan pasti pulang.” Ucap Ibu menenangkan.
“Tapi, Rani sampun kangen banget, Bu…”
“Kalau kangen, ya matur sama Allah. Biar Masmu cepet ada waktu libur, biar cepet pulang.”
---
Semester 6
Tugas perkuliahan semakin menumpuk. PPL harus segera dilaksanakan. Skripsi menunggu giliran untuk segera diawali. Tinggal membakar semangat sedikit lagi, semuanya akan terselesaikan dengan rapi. Tak ada kata untuk menyerah. Tak ada kata untuk berkata tidak bisa atau tidak mampu. Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlan waanta taj’alul hazna sahlan. Ya Allah tiada yang mudah kecuali yang Engkau mudahkan, hanya Engkaulah yang menjadikan sulit menjadi mudah.
Sejak duduk di bangku kuliah, sudah puluhan bulan ia habiskan malam – malam untuk memanjatkan do’a, untuk mengiba pada Yang Mahapunya. Mahapunya segalanya. Punya kekayaan untuk mengucurkan rizki yang tak henti – henti untuk ibu Rani. Punya kekuatan untuk mendobrak semangat anak – anak Pak Bambang – Bu Endang dalam menghadapi hidup. Punya kekuatan untuk sedikit saja menggetarkan hati Si Bos supaya memberikan waktu libur untuk Mas Ardi. Punya kekuatan untuk menyuplai energy yang pasti terkuras habis untuk merancang bangunan supaya berdiri kokoh. Punya kejernihan yang mampu menjernihkan mata Mas Ardi yang setiap hari menghadapi garis – garis pembentuk sketsa bangunan megah. Punya kelembutan yang mampu sedikit saja melembutkan tangan Mas Ardi yang mungkin saja ia gunakan untuk mengangkat batu bata ketika proyek harus segera dirampungkan sementara anak buahnya kekuarangan tenaga. Yang Mahpunya, pasti juga punya wewenang untuk mengabulkannya. Rani percaya itu.
---
Rani memandangi surat di tangannya. Siang tadi waktu di kampus, ada temannya yang memberi tahu bahwa ada surat untuknya di kantor jurusan. Awalnya ia bingung, surat dari siapa? Tahun 2012 masih zamannya surat – suratan?
Ketika dilihat nama pengirimnya, tertulis rapi di sana nama kakaknya; Mas Ardi.
Assalamu’alaikum ww.
Untuk Rani, adikku tersayang.
Ini Mas Ardi. Alhamdulillah cinta Allah tak pernah berhenti hingga Mas menulis surat ini. Selalu saja ada rizki dalam bentuk yang berbagai – bagai yang Rabb titipkan untuk Mas. Semoga, Rani pun demikian. Amiin.
Mungkin Rani bingung kenapa Mas kirim surat. Begini sayang, Mas baru mendapat proyek baru di sebuah pedalaman yang sangat terpencil. Di tempat itu insyaAllah akan dibangun sekolah untuk anak – anak usia SD dan SMP. Di daerah itu sama sekali belum ada signal. Itu sebabnya, Mas tidak bisa menghubungi Ibu, Nindya, Salma, Bagas, dan juga Rani via seluler. Tempatnya sangat terpencil, Ran. Jadi, Mas putuskan untuk mengirim surat.
Dua minggu lalu ketika Mas menelepon Rani, Rani bilang sedang menyusun skripsi? Itu tandanya, sebentar lagi Rani memakai toga dan menyandang gelar S1. Tahukah kau, Rani? Bahwa Mas begitu bangga padamu. Profesi guru adalah pekerjaan yang mulia, yang mampu mendidik generasi menjadi terdidik. Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan untukmu, amiin.
Oh ya, cincin yang Mas berikan untuk Rani, masih kan? Sekarang Mas tahu kenapa dulu Ayah memberikan cincin untuk Mas. Sesuatu yang menurut kita tidak wajar. Ayah memberi cincin itu karena cincin tak memiliki ujung; melingkar dan terus melingkar. Tak ada awal dan akhirnya. Cincin melambangkan ikatan yang mampu mengingatkan pada pemakainya bahwa yang memberi telah mengikatnya dengan kasih yang tak berujung. Begitu pun dengan kasih sayang Ayah yang beliau berikan untuk Mas, yang tak pernah berujung. Ketika Ayah memberikan cincin itu, pertanda bahwa Mas menjadi pengganti Ayah. Begitupun dengan Rani. Ketika Mas memberikan cincin itu, Rani menjadi pengganti Mas dalam menggapai cita – cita yang sempat terputus di bangku kuliah. Seperti cincin itu pula, kasih Mas untuk Rani tak pernah terputus.
Wassalamu’alaikum ww.
Masmu tercinta,
Ardiansyah Eka Saputra
---
11 Januari, 2014
Assalamu’alaikum ww.
Alhamdulillah karena cinta Allah, Rani, Ibu, dan adik – adik masih bisa berdiri tegar di bumi-Nya. Semoga Masku yang jauh di sana juga begitu adanya, semakin kuat dan semakin kuat. Rani percaya itu, Mas. Kalau tidak salah, ini surat ketujuh sejak Mas Ardi mengirim surat untuk pertama kalinya.
Sejak Rani diwisuda, Alhamdulillah Rani langsung bisa mengajar di SMA N 1 Gombong. Nindya tidak mau kuliah setelah lulus dari SMKK jurusan Tata Boga. Ia langsung buka chatering di rumah. Jahitan ibu semakin ramai, sebenarnya Rani tak tega jika ibu terus bekerja di masa sepuhnya. Tapi, ibu bersikeras. Salma sudah SMP. Kamarnya penuh dengan kertas gambar bangunan – bangunan megah. Bagus sekali, Mas…. Gambarnya seperti gambar Ayah dan Mas. InsyaAllah Salma akan menjadi arsitek seperti cita – cita Mas yang belum terwujud. Bagas sudah tumbuh menjadi lelaki kecil yang tampan, Mas. Seperti wajahmu. Beberapa kali ia naik ke atas panggung menerima hadiah lomba hafalan surat – surat pendek, adzan, dan qiro’ah di TPQ tempat ia mengaji.
Mas, maaf sebelumnya kalau Rani lancang. Bengini, satu minggu yang lalu ada teman SMP Rani yang datang ke rumah. Bertemu dengan Ibu. Katanya, mau melamar Rani. Kata Ibu, semua keputusan tergantung Rani. Tapi, Rani belum berani memutuskan sebelum Rani matur Mas. Sebagai wali Rani, Mas Ardi juga berhak untuk menentukan siapa jodoh Rani. Dia bernama Iqbal. Kata Bayu; teman dekatnya, iqbal ikhwan yang sholeh, lulusan ITB jurusan arsitektur. Oh ya, perawakannya mirip Mas Ardi. Itu salah satu alasan Ibu menerima baik kedatangan Iqbal, katanya mirip Mas.
Jawaban iya dan tidak akan Rani sampaikan setelah Rani mendapat surat balasan dari Mas. Rani tunggu kebijaksanaan Mas.
Wassalamu’alaikum ww.
---
Dua minggu kemudian…
Assalamu’alaikum ww.
Alhamdulillah Mas sehat. Semoga keluarga Kebumen juga begitu. Mas sudah menerima surat terkahirmu. Jawabannya akan Mas katakan ketika kita bertemu di rumah. Kita bicarakan bersama. Tunggu Masmu pulang, insyaAllah tanggal 3 Febuari ini. Sambut Masmu dengan senyum dan semangat yang senantiasa tersemat ya. Sungkem untuk Ibu dan salam untuk Adik – Adik.
Wassalamu’alaikum ww.
Masmu, dalam ingin pulang
Ardi
Semua penghuni rumah bernomor 17 di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen itu sontak berucap hamdallah…
“Alhamdulillah Masmu mau pulang, Nduk…” pelupuk keriput mata ibu tak mampu membendung lagi tangis bahagia.
“Ibu, hari ini kan tanggal 3 Febuari.” Bagas si kecil menunjuk angka di kalender yang terpasang rapi dengan sedikit hiasan gambar Salma.
---
19.31 WIB
Setelah sholat berjama’ah di mushola Darul Muqomah depan rumah, semuanya duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka lebar. Nindya asik menata kue yang langsung ia buat tadi sehabis membaca surat dari kakak yang sudah sangat ia nantikan kedatangannya. Salma sibuk mengumpulkan kertas – kertas gambarnya yang ingin ia tunjukkan pada kakak sulungnya. Bagas memandangi foto yang ibu berikan untuknya sejak kakaknya pergi merantau. Ibu selalu menceritakan sosok kakak yang belum ia kenal sebelumnya di usia yang teramat kecil saat itu. Ibu khusyuk dengan tasbih di tangan keriputnya. Sementara Rani tak henti – hentinya melihat keluar kalau – kalau tiba – tiba masnya muncul sambil merapikan baju hijau muda dan rok hijau agak tua serasi dengan kerudungnya.
Dari kejauhan tampak becak membawa seorang penumpang dengan beberapa tas besar.
“Mas Ardiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…………………” teriak Rani, Nindya, dan Salma. Sementara Bagas masih mencocokkan wajah yang ada di foto dengan wajah orang yang datang, sepertinya tampak berbeda.
“Assalamu’alaikum, Ibu….” Bibirnya mencium tangan wanita yang teramat ia rindukan selam bertahun – tahun.
Malam itu, tak banyak yang dibicarakan. Setelah menyantap kue buatan Nindya dan memandang sekilas gambar – gambar Salma, Ardi membersihkan diri lantas tertidur lelap. Ibu yang memintanya demikian.
Di dalam hati wanita berkepala lima itu, tersimpan tanda tanya besar. Jika anakku menjadi arsitek yang kerjanya menggambar, kenapa tangannya begitu kasar? Kulitnya hitam legam, badannya kurus, dan rambutnya tak serapi saat ia melepas kepergian anak sulungnya. Pekerjaan apa yang sebenarnya anaknya lakukan selama ini?
---
23.45 WIB
“Uhuk…uhuk…uhuk…”
Sejak kedatangannya, Ardi sudah berkali – kali batuk, ratusan atau bahkan mungkin ribuan kali.
---
4 Febuari 2010
“Masmu belum bangun – bangun, Nduk…. Coba dibangunkan. Disuruh subuhan dulu.”
“Nggeh, Bu…” Nindya pelan – pelan membuka pintu kamar Ardi yang memang tak dikunci.
“Mas, bangun, Mas…. Sudah pagi. Subuhan dulu. Nindya sudah masak nasi goreng telur untuk Mas Ardi, enak lho Mas. Mas, bangun, Mas…. Mas, Salma agak ngambek tuh gara – gara semalem gambarnya cuma dilihat sekilas. Habis makan nanti, kita membicarakan tentang lamaran Mbak Rani, ya Mas…. Kasihan Mbak Rani, sudah ingin segera mendengar jawaban dari Mas Ardi. Mas, katanya Bagas juga mau ngajak Mas main bola di lapangan dekat rumah Bu Harun. Ayo, bangun, Mas…. Banyak yang harus Mas lakukan hari ini.
Mas…Mas Ardi….”
Nindya mulai menyadari ada yang aneh. Masnya tak menanggapi apapun yang ia ceritakan. Matanya tak sedikit pun dibuka. Badannya tak sedikit pun bergerak.
“Ibu….Mbak Rani….Salma….Bagas…..”
---
Sekali lagi, ini adalah cita – cita tentang kenyataan dan kenyataan tentang cita – cita.
Satu lagi nisan tertanam di dalam tanah dengan 3 baris deretan kata
Ardiansyah Eka Saputra
Lahir : Kebumen, 31 Juli 1988
Wafat : Kebumen, 4 Febuari 2014
Barisan rombongan pengantar jenazah menjadi saksi kembalinya seorang lelaki muda yang bertanggung jawab pada keluarga.
“Cepat pulang, Nduk….” Ibu terlihat lebih tabah dibanding Rani.
---
Rumah nomor 17 Desa Sidoagung, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen
Di kamar ini, waktu aku masih berusia 7 tahun, Mas Ardi pernah mengajakku menuliskan cita – cita. Aku bingung mau menulis apa. Profesi yang baru aku tahu hanyalah penggambar (sebenarnya arsitek, tetapi yang aku lihat dari pekerjaan Ayah adalah menggambar terus), penjahit seperti Ibu, dokter yang rutin memberikan obat untuk Mas Ardi karena bronchitis itu, dan guru yang selalu mengajarkan aku menulis, membaca, menggambar, menyanyi, dsb. Aku tak ingin seperti Ayah yang kerjaanya hanya menggambar karena aku tak suka menggambar, aku tak ingin seperti Ibu yang sering tertusuk jarum jahit, aku juga tak ingin seperti dokter yang jahat karena selalu memaksa Mas Ardi minum obat pahit. Lalu, kuputuskan aku menuliskan cita – citaku sebagai seorang guru; satu – satunya profesi terakhir yang aku tahu. Lantas, aku dan Mas Ardi menempelkan kertas cita – cita di dinding kamar ini. Masih ada hingga kini. Tertulis kata “ARSITEK” pada kertas cita – cita Mas Ardi.
Mas Ardi bilang, “Kalau Rani sedang ingin pertolongan dan merasa sangat sedang membutuhkan Allah…buka Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 214. Dan kalau Rani ingin tahu betapa besarnya cinta Mas untuk Rani, Rani boleh membuka kotak di lemari Mas bagian bawah. Tapi, Rani hanya boleh membukanya saat Rani benar – benar ingin tahu tentang cinta Mas. Jangan dibuat mainan, ya….”
Mas, Rani ingat kata – kata itu.
Pelan – pelan ia membuka lemari pakaian milik kakaknya. Tercium minyak wangi Casablanca warna biru yang sangat ia hafal baunya.
Rani buka ya, Mas….
Mata merah Rani menatap sesuatu…
Sebuah design rumah.
Rani, ini untukmu. Mas buatkan ini setelah Mas menerima surat terkahirmu tentang lamaran teman SMPmu. Kelak, ketika Rani dan Iqbal ingin membuat rumah, pakai design dari Mas Ardi ya. Mas tahu, Iqbal jauh lebih pandai karena waktu belajarnya di bangku kuliah jauh lebih lama dibanding Masmu ini. Tapi, biarkan Mas merasakan menjadi arsitek sekali saja, arsitek khusus untuk Adik tersayangku. Karena, sebenarnya selama ini pekerjaan Mas di proyek – proyek bukan ‘penggambar’ seperti katamu waktu kecil, tapi… menjadi pekerja bangunan. Lha wong lulusan STM kok, masa mau jadi arsitek, ya mimpi itu namanya, hehe.
Debu bangunan sering nakal sama Mas, membuat bronchitis yang sempat sembuh menjadi kambuh lagi. Masmu berniat pulang karena paru – paru ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Mas perlu istirahat, sejenak.
Segeralah menikah, dengan arsitekmu; Iqbal.


Desti Anisa Zoraida
4101409006
Matematika-FMIPA

(cerpen peringkat ke-2 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431 H)

Kamis, 17 Juni 2010

BA'IID

“Lahir di rawa hanya akan membuatmu menjadi kodok,” kata Abah suatu malam. Aku terpekur duduk di atas amben bambu. Sehabis sholat Isya abah memulai cerita. Lebih menyerupai ceramah. Aku, Umi, dan dua adikku bergeser merapat ke dinding supaya bisa bersandar. Persis di atas kepalaku menempel sebuah lampu minya, berpendar tidak terlalu terang.
“Tapi jika kau lahir di gurun, kau akan menjadi singa yang tangguh,” lanjut Abah, memundurkan posisi duduknya. Aku tersenyum kecil menyadari sebenarnya hanya singa Frantius, tidak sampai 1 persen dari seluruh singa yang hidup di gurun. Aku tidak berniat mendebat Abah.
Kata Abah yang demikian sering membuatku bingung. Malamnya, saat aku berbaring di balik bilik bersekat triplek aku termenung. Berbantal kedua lengan aku menatap langit-langit rumah. Kupikir Abah hanya ingin membuatku bangga menjadi pemuda desa.
Desaku, tempat aku dibesarkan hingga kini berusia dua puluh tahun, terletak di perbukitan. Dari halaman depan rumah yang luas aku bisa memandangi kota kabupaten. Malam hari, saat sunyi menyergap, aku sering duduk di sebuah kursi bambu di halaman depan. Bintang gemintang. Dari tempat itu aku menatap untain lampu jalan di kota yang tampak berpilin tambang.
Abah tak pernah, sekalipun seumur hidup, hijrah dari desa. Tidak juga berpikir ikut transmigrasi seperti para tetangga. Meski tak seberapa luasnya, kebun coklat membuat kami berkecukupan. Ia, juga Umi, tak pernah membuatku terpikir ke kota. Keduanya memintaku tetap di rumah, menjaga kebun dan menemani mereka di senja usia.
Aku pikir benar. Hidup jauh dari keluarga seperti yang aku jalani lima tahun silam di pesantren membuatku kesepian. Setelah menamatkan sekolah menengah dan pesantren, aku menolak tawaran beasiswa melanjutkan studi di perguruan tinggi.
“Ini tempat paling indah,” kata Abah malam berikutnya, “Menyediakan apapun yang kita perlukan.”
Sebuah sungai mengalir di belakang rumah. Jika hujan deras, suaranya bergemuruh. Esoknya, yang membuatku amat senang, aku bisa menangkap ikan. Di sana ada beberapa mujair yang bisa aku tangkap dalam beberapa menit. Dua, tiga ekor aku bakar, sisanya kubawa pulang.
Aku tersentak. Batu sebesar kepalan tangan jatuh di atas kali. Cipratan air mengenai wajahku ketika aku duduk di sebuah bingkah batu. Seseorang melemparnya dari kejauhan.
***
Ketika rentetan tembakan terdengar, Rahman dan dua belas rekan lainnya segera berjingkat. Mereka melemparkan sisa batu yang telanjur digenggam. Sisanya, tumpukan batu sebesar kepalan tangan ia tinggalkan di sudut kota tempat ia sembunyi dari para tentara yang mereka serang.
Rahman dan rekan-rekan tidak mengerti betul mengapa selalu menghabiskan keseharian di jalanan. Mereka menghadang tank-tank lapi baja. Kadang jika ada Humvee mereka juga melemparinya. Para tentara yang kesal kemudian turun mengarahkan M-26 kepada Rahman. Kadang hanya gertakan, kadang senjata itu juga meluncurkan peluru tajam yang menghujam. Beberapa rekan Rahman meninggal dalam aksi yang mereka sebut sebagi jihad. Intifadah.
Rahman, pernah beberapa malam tidur sekamar denganku di pesantren salaf tempatku belajar. Ia pemuda santun yang tangguh. Tubuhnya setu jengkal lebih tinggi dariku, membuat Rahman selalu menundukkan kepala saat bicara.
Malam amat sepi. Aku duduk di ranjang tanpa melepas sarung. Rahman masih memegangi Al-Quran, menggelar sajadah di lantai. Usai shalat Isya sejam lalu Rahman tak beranjak. Sejam berikutnya, saat aku nyaris tidur ia membangunkanku.
“Apa kau kelelahan?”
“Tidak. Aku biasa jalan jauh. Bagiamana dengan kamu?”
“Jalan menuju pesantrenmu empuk, aku merasakannya ketika menginjak beludru.”
Tadi siang kami menempuh perjalanan jauh. Ia tiba di bandara tengah hari. Aku diminta Pak Kyai menjemputnya. Dari bandara, untuk sampai pesantren kami harus 3 jam naik bis, lima puluh menit dengan angkot, dan dua jam jalan kaki. Pesantren tempatku belajar ada di antara hutan pinus yang jalannya dipenuhi liana.
Rahman pemuda asli Palestina. Tak tahu bagaimana dan untuk apa ia datang ke Indonesia. Ketika pertama kali kami bertemu ia mengenalkan diri sebagai sudara jauh. “Ba’iid,” ucapnya. Aku yang saat itu tidak mengerti bahasa Arab mengira itu namanya. Ba’iid.
Tahu aku tidak bisa berbahasa Arab, Rahman mengalah. Ia menggunakan bahasa Indonesia. Dalam perjalanan tak berhenti bicara tentang nama tanaman yang kami lewati.
“Semua tanaman ada di sini. Dulu aku hanya mengenalnya di kamus,” ucap Rahman kegirangan.
Berjalan setengah lari Rahman tak terlihat lelah. Ia sempatkan mandi di sebuah kali yang kami lewati. Aku duduk di sebuah batu lebar, ia asyik bermain air seperti katak.
“Di desaku aku harus menjual dua ekor domba supaya bisa mandi seperti ini,” ucapnya. Menjelang Maghrib baru ia mau keluar dari cerukan kali itu.
Usia Rahman tak terpaut jauh denganku. Ia lahir dan besar di Gaza. Ayahnya seorang guru, tewas enam tahun lalu akibat sebuah pengeboman yang dahzyat. Sepulang mengajar ayah Rahman tetap di sekolah untuk seberapa lama. Sebuah pesawat tempur melayang cepat. Suaranya keras, bergemuruh. Beberapa kali berputar pesawat itu menjatuhkan bom, meledakan sekolah tempat ayah Rahman mengajar.
Siang terasa panas saat itu. Sekolah ayah Rahman terletak dua kilometer dari gurun perkampungan tempat Rahman tinggal. Angin semilir. Rahman duduk di atas puing-puing bangunan. Ayahnya ditemukan tewas tertimpa bangunan. Tetangga dan beberapa anggota laskar menguburnya.
Pasca kematian ayahnya Rahman tak berbuat banyak. Ia mundur dari sekolah tinggi antropologi yang ditempuhnya beberapa semester. Ia bekerja sebagai penjaga toko roti sambil belajar agama pada seorang ulama. Siangnya, ketika tank-tank Israel datang, ia bergegas meninggalkan toko. Di samping pintu depan tokonya, ia menyimpan sekarung batu. Bersama puluhan pemuda lain ia keluar berhamburan.melempari tank-tank dengan batu.
“Allahu akbar! Allahuakbar!”
Seorang tentara keluar. Ia mengenakan helm tempur loreng malvinas, menembakan gas air mata. Rahman merangsek maju. Gas air mata ia pungut dan di lemparkan kembali. Seorang temannya lagi, yang datang dari belakang gedung melempar batu, mendarat persis di punggung. Tentara itu tampak berang.
Tentara mengambil laras panjang di gendongan. Ia membidikkan senjata. Pemuda itu lari, bersembunyi di balik dinding bata yang tampak rapuh. Tentara itu kemudian menggantinya dengan roket pelontar granat. Rahman tahu senjata itu akan melukai kawannya. Bahkan sepengatahuannya, RPG mampu membuat beton sekalipun porak poranda.
Rahman berlari kancil mendekati tentara dari belakang. Di samping pintu toko roti yang dijaganya ia menyisakan puluhan batu. Ia mengambil salah satu dan melemparkannya ke arah tentara. Brak! Batu itu mengenai rompi kevlar.
Tentara mulai menembaki rumah. Entah apa tujuan mereka. Kaca-kaca jendela hancur. Pemilik rumah biasa menggunakannya untuk mengintip senja. Juga dinding batu bata, mulai berlubang. Pepohonan, yang berimpit dengan hawa panas di Gaza, meliuk pelan. Angin meliukan debu jalanan.
Rahman tak surut langkah. Ia tahu, nyawa yang menggerakan tangan dan tubuhnya bukan miliknya. Karenanya ia tak pernah takut jika pemilik nyawa itu mengambilnya. Ia selalu siap. Tak pernah sekalipun ia takut mati. Kecuali ia mati dalam keadaan ingkar pada Tuhan dan bangsanya.
***
“Kau pernah tertembak?” aku menyela cerita Rahman. Dua cangkir kopi kusajikan di depannya.
“Lihat,” Rahman menunjukkan bekas luka di kakinya. Belum kering benar.
“Masih sakit?”
“Tidak. Allah akan segera menyembuhkannya.”
“Kenapa kalian terus melempar batu?”
“Kami tak akan berhenti melawan. Kemenangan hanya bagi petarung, bukan pengecut.”
“Bagaimana dengan Saudara-saudaramu yang tewas? Tidakkah sia-sia, sedangkan bangsamu, tetap terjajah.”
“Bukan sekedar kemerdekaan bagi kami. Tidak ada yang Tuhan muliakan kecuali kita membela kebenaran. Dan kau tahu?” menepuk pundakku. “Tidak ada ujung perjuangan kami.”
“Bangsa kami pernah merasakannya,” ucapku pelan.
Rahman tersenyum ringan, memandangi lampu minyak. Jarinya tak berhenti menggerakan bijih tasbih. Tahlil terdengar lirih. Aku berebahan hingga tertidur.
Pagi hari ketika sebagian santri di pondokku mulai berangkat bertani, Rahman mohon diri. Ia pamit mampir di Kedutaan Besar dan bersgera pulang. “Bangsaku menunggu, aku tak bisa berlama-lama di sini,” ucapnya, sambil merangkulku.
***
Entah untuk apa seseorang melempar batu di depanku. Cipratan air mengena wajahku. Ketika membalikkan badan aku terperangah. Ku kira anak kecil yang melemparnya. Seorang pemuda bertubuh tinggi tersenyum menyambut tatapanku. Wajahnya dipenuhi jambang.
“Subhanalloh, Ba’iid.”
Aku lekas berdiri, meninggalkan kail pancing.
“Kapan kau datang?”
“Tadi pagi. Gaza kembali diserang. Kami perlu bantuan kalian?”


(cerpen peringkat ke-3 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)

Rabu, 16 Juni 2010

SAJADAH BUAT SALWA

Tak ada waktu seindah pagi, termasuk pagi ini. Walau pagiku sedikit lebih sederhana. Tanpa ada semilir angin dingin, atau pemandangan elok fajar dari timur. Di sini hanya ada panorama khas perumahan kumuh di pinggiran kota. Suara kesibukan penghuninya adalah kicauan burung pagi bagiku. Jujur saja, pernah terlintas di benakku untuk merekam segalanya dari atap rumah ini. Menjadi saksi kisah-kisah hidup paling bermakna dari kehidupan kecil sebuah pemukiman. Sebuah tempat dimana keramaian justru muncul di pagi buta. Saat beberapa anak seharusnya bangun untuk menata buku sekolahnya. Tapi untuk anak-anak seperti kami, pagi hari adalah saat untuk mengepulkan asap dapur rumah, agar orang tua kami bisa berjualan makanan di pasar pagi.
“Hasnaaaaaaaa !!!”
Aku terbangun dari lamunanku. Sejenak aku mencoba mengira-ngira suara siapa yang memanggilku. Pelan-pelan aku membalikkan badan. Terlihat seorang anak menghampiriku dengan sedikit kesal. Wajahnya kucel pertanda baru bangun tidur.
“Mau sampai kapan di sini ??” tanya anak itu sambil mengucek matanya.
“Iya iya...lima menit lagi aku ke dapur .“
“Kamu pikir apinya bakal nyala terus lima menit lagi, bu’e bilang adonannya juga belum jadi. Kalau sampai telat dibawa ke pasar kamu mau tanggung jawab !!!”
“Ya udah dua menit lagi aku ke sana, kamu gantiin aku dulu bentar...please !!!”
“huh...terserah lah...lagian kenapa mesti dua menit lagi sih ?? Emang bakal ada artis lewat dua menit lagi ?? ”
“Bukan artis Nilam...mungkin matahari bakal terbit dua menit lagi, insya Allah.”
“Sok tau !!!” jawabnya ketus.
Dengan kesal anak itu membalikkan badan untuk meninggalkanku. Aku memandangnya dari belakang sambil tersenyum. Anak itu adalah Nilam, sepupuku. Semenjak ibuku menjadi TKI di Malaysia, aku tinggal bersama budhe di tempat ini. Setiap pagi aku dan Nilam membantu budhe membuat bubur dan gorengan untuk dijual di Pasar pagi. Budhe menyayangiku seperti ia menyayangi Nilam.
Nilam seusia denganku. Kami murid kelas 7 di MTs N 3 Randu. Aku dan Nilam sangat berbeda. Nilam lebih terbuka untuk menyampaikan perasaannya. Tak ayal aku sering mengalah oleh sikapnya yang terkadang kekanak-kanakan. Satu hal yang manyamakan kami adalah kami sama-sama tidak memiliki ayah.

“Ayaaah...dengarkanlah...akuuu...ingin bernyanyi...”
Aku terhentak oleh suara itu...aku mencoba mendekatkan telingaku berharap bisa lebih jelas mendengarnya.
“Walau...air mata...di pipikuuuu...”
Aku mengenal lagu itu. Itu adalah lagu Broery Marantika yang diaransement ulang oleh Peterpan. Lagu itu cukup favorit di kalangan anak-anak yatim. Aku mencoba mencari-cari sumber nyanyian itu. Salah satu alasan kenapa aku menyukai atap rumah ini adalah karena aku bisa melihat tetangga-tetanggaku dari atas sini. Lebih lebih, banyak tetanggaku yang tidak tahu aku mencermati mereka setiap hari. Aku melanjutkan pencarianku. Aku cermati tiap sudut perumahan sempit ini. Terlihat dari teras sebuah rumah bambu, seorang anak sedang menata beberapa besek sambil bernyanyi. Besek adalah anyaman kecil dari bambu tempat menaruh makanan. Biasanya orang membuat besek untuk dijual kepada warga yang akan mengadakan hajatan.
Aku memandang anak perempuan berambut panjang itu dengan seksama. Aku tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Suara nyanyiannya begitu merdu. Suara yang lirih penuh dengan rasa rindu. Matanya terlihat sendu seperti telah lama memendam kesedihan.
Anak itu menghentikan nyanyiannya, kemudian menoleh kepadaku. Aku bisa melihat anak itu menatapku dengan kosong. Aku mencoba mengalihkan pandanganku. Kenapa anak itu menatapku seperti itu ?? Aku penasaran lalu memandangnya lagi. Tiba-tiba anak itu menjulurkan lidahnya kepadaku, seperti yang dilakukan anak TK ketika saling mengejek dengan temannya. Aku tertegun melihatnya. Tak lama kemudian ia tersenyum kepadaku bersamaan dengan sinar matahari yang mulai menerangi rumahnya. Dia sangat cantik di bawah sinar matahari. Matanya berbinar memancarkan kekaguman pada keindahan surya.
“Hasna...udah dua menit.” terdengar suara Nilam memanggilku dari bawah.
“Iya iya...aku turun sekarang.”
Aku membalikkan badanku dan berlari ke tangga untuk turun. Sejenak aku menghentikan langkah untuk melihat anak itu lagi. Dia masuk ke dalam rumah kakek Salim, tetanggaku. Anak itu benar-benar membuatku penasaran. Aku mencoba tidak memikirkannya dan melanjutkan langkahku.
-=oOo=-
Di sekolah, anak-anak dari kampung yang sama denganku sedang ribut membicarakan seseorang.
“Katanya dia dari kampung sebrang. ” kata salah seorang anak.
Anak yang lain tiba-tiba menjawab dengan geram,” Aku gak peduli, mau dari sebrang atau dari kutub, Kalau dia gak tanggung jawab, kita kerjain habis-habisan.”
“Setuju Jo, gak tau apa kalo kamu anaknya pak RT.” anak lain menambahi tak kalah menggebunya.
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sekilas yang bisa aku tangkap adalah Si Joko anak gendut yang sok jago itu sedang geram pada seseorang. Joko Sastro Pramono. Dia anak pak RT, orang paling kaya di kampung kami. Dia adalah ketua geng “Naughty” di sekolah, sekaligus pemilik predikat anak paling rajin ke mushola kami. Walaupun terkadang dia ke mushola hanya untuk nongkrong. Aku melihat Nilam yang sedang asyik duduk di bangku sebelahku. Dia seolah tidak peduli dengan keramaian geng “Naughty”. Aku mencoba berbincang dengannya.
“Nilam, Joko sama gengnya ngomongin siapa sih ??” tanyaku.
“Ooh...penghuni baru itu ??” jawabnya tenang.
Aku mencoba menebak siapa yang dimaksud Nilam. Apakah anak yang aku lihat tadi pagi?? Nilam membenarkan posisinya agar bisa leluasa bercerita kepadaku.
“Namanya Salwa. Dia cucu kakek Salim, tetangga kita. Kemarin Bilal crita sama aku. Kamu gak bakal nyangka apa yang Salwa lakuin ke Joko tadi malem.” jelasnya.
“Emang dia nglakuin apa ke Joko ??” tanyaku dengan penuh penasaran.
Awal cerita...
Malam itu, ba’da sholat isya di sebuah taman dekat mushola, seperti biasa Joko dan gengnya sedang asyik bercengkerama. Mereka mencermati tiap orang yang keluar dari mushola. Tak lama kemudian, seorang gadis dengan mukena di tangannya berjalan keluar mushola sambil tersenyum ramah pada tiap orang yang lewat. Gadis itu adalah Salwa.
“Jo, Joko...mangsa baru.” kata si cungkring Parmin , sambil mengkerlingkan matanya ke arah Salwa.
Joko membenarkan jaket dan pecinya. Dia menghampiri Salwa dengan gaya yang sok penguasa. Salwa yang saat itu sendirian bingung oleh tingkah anak-anak itu. Dia mencoba melanjutkan langkahnya, tetapi kembali dihadang oleh Joko.
“Setiap penghuni baru yang mau aman tinggal di sini, harus ngasih uang keamanan berupa satu benda paling berharga yang dia miliki. Sayangnya, kita belum nerima apapun tuh dari kamu.” terang Joko.
Salwa menarik nafas sejenak, kemudian menjawab, “Kakek aku pembuat besek. Bagi aku barang paling berharga dari kami ya besek. Tenang aja, besok aku buatin sepuluh, gratis buat kalian.”
“Hah...?? Ngomong apa barusan ?? besek ??”
Seketika Joko beserta teman-temannya Parmin dan Bilal tertawa terbahak-bahak. Joko meletakkan sajadahnya di punggung, kemudian dengan lantang ia bertanya pada dua sahabatnya.
“Cungkring...!!!”
“Ya bos...” jawab Parmin si cungkring.
“Kamu ngasih apa waktu pertama datang ke sini ??”
“Kalkulator bos, merek ‘Makmur’, limited edition...??” jawab Parmin bangga.
“Kalau kamu Bilal ??”
Bilal maju satu langkah...kemudian menjawab,”Cincin turun temurun bos, nenek buyut poenya, hasil bertapa di gua rong.”
Joko tersenyum nyengir, kemudian mendekati Salwa. Dia memandangnya dengan sangar. “Kalau kamu gadis besek, mana barang berhargamu selain...”
“Beseeeek...” lanjut Parmin dan Bilal dengan tawa yang mengejek.
“Sebenarnya aku punya, saking berharganya sampai-sampai selalu aku bawa.”
Jawaban Salwa menghentikan tawa mereka. Joko memasang muka serius. Dari gerak geriknya, sangat tersirat kalau dia mulai penasaran. Sementara Salwa mulai mengeluarkan sesuatu dari kantong roknya.
“Minyak wangi asli dari Arab Saudi. Dijamin kamu gak akan bisa lupain sensasi baunya.”
Joko dan kawan-kawan melihat benda itu lalu dengan cepet merebutnya dari tangan Salwa. Mereka membolak-balik botol minyak wangi yang sebenarnya lebih mirip botol minyak telon itu. Kemudian Joko mencium bau minyak wangi itu.
“Baunya aneh.” kata Joko.
“Kalau belum dicoba ya aneh.” jawab Salwa tenang.
Joko menuang minyak itu ke tangannya, lalu ke bajunya. Kemudian ia mengendus-endus badannya diikuti pula oleh Parmin dan Bilal. Salwa terlihat mengambil ancang-ancang untuk kabur. Joko dan kawan-kawan merasa mengenal dengan baik bau itu.
“Udah selesai kan, aku mau pergi.” ujar Salwa sambil melangkah pergi.
“Tunggu !!!”
Baru tiga langkah ia meninggalkan geng “Naughty”, panggilan Joko menghentikan langkahnya.
“Ini lebih mirip bau minyak telon. Kamu mau bohongin kita ??” kata Joko dengan nada tinggi.
“Mengharap pemberian orang lain saja tidak boleh, apalagi memaksa orang memberikan barang kesayangannya.” kata Salwa tak kalah berani.
“Kamu berani sama aku ??”
“Sama kuntilanak aja aku berani, apalagi sama preman narsis kaya kalian. Lagipula itu bukan minyak telon lagi, itu minyak jelantah, sisa hajatan dari RT sebelah.”
“Hah...” teriak Joko.
Salwa merebut minyak itu dari tangan Joko. Mereka saling berebutan dan tak disangka....minyak itu tumpah ke sajadah Joko. Sajadah dan baju Joko berubah warna menjadi coklat kotor diiringi aroma minyak jelantah yang tidak mengenakkan.
“Oh nooo...OH MY GOD !!!” teriak Joko.
“Astaghfirullah...afwan boy.” balas Salwa sambil lari meninggalkan mushola.
“Hey...Salwa...!!!”
Muka Joko memerah penuh amarah. Kemudian ia memandang teman-temannya.
“Kenapa kalian gak bantuin aku ??”
“Sumpah bos, bau banget.” kata Parmin sembari menutup hidungnya. Parmin dan Bilalpun pelan-pelan mundur menjauhi Joko.
“Mending, mandi dulu aja bos...” kata Bilal agak gemetar.
Joko memandang Salwa yang sudah jauh meninggalkan mushola. Dia masih tidak percaya dia dikerjai oleh anak perempuan.
-=oOo=-
Malam ini begitu sunyi. Aku kembali teringat oleh cerita Nilam tentang Salwa di sekolah tadi. Selama ini tidak pernah ada yang berani mengerjai Joko, apalagi seorang anak perempuan. Aku menoleh kepada Nilam yang telah terlelap di sampingku. Aku tidak bisa memungkiri kalau pikiran tentang Salwa masih terbayang di benakku. Cara dia bernyanyi, cara dia menatapku, semua begitu berbeda. Aku mencoba memejamkan mataku.
Krek...krek...
Aku mendengar suara. Pelan-pelan aku membuka mataku. Aku bangun dari tempat tidur dan berniat mencari asal suara itu. Sepertinya suara itu berasal dari luar rumah. Aku memutuskan pergi ke atap jemuran tempat favoritku. Mungkin dari sana bisa terlihat apa yang terjadi. Aku memberanikan diri meneruskan langkahku. Aku tidak mengerti apa yang aku lakukan. Biasanya aku tidak seberani ini keluar tengah malam.
Akupun sampai di atap, aku melihat seseorang sedang memunguti kayu. Dalam keremangan aku melihat seorang anak perempuan. Tak salah lagi, itu adalah Salwa. Apa yang dia lakukan malam-malam begini ??
“Assalamualaikum…”
Aku kaget mendengar sapaan Salwa. Kenapa dia selalu menemukanku saat aku sedang diam-diam memperhatikannya ??
“Wa…walaikumsalam…” jawabku sedikit gagap.
Salwa meneruskan pekerjaannya. Aku penasaran sekali apa yang mau dia lakukan.
“Umm…Salwa…aku gak bisa tidur, boleh aku ke rumah kamu ??”
Salwa tersenyum padaku. Akupun turun untuk pergi ke rumahnya. Sesampainya di sana Salwa langsung menggiringku ke dapurnya. Aku melihat asap yang keluar dari tungku dapur. Di dalamnya terlihat beberapa ubi sedang dibakar. Di atas tungku itu pula tergantung sebuah sajadah berwarna hijau.
“Ayo duduk…hangat banget di sini.” ujar Salwa.
“Makasih…Eh…kek Salim mana, kok aku gak lihat ??”
“Kakek lagi tidur. Tadi dapat pesenan banyak, jadi nglembur deh. Sekarang malah loyo di kamar.” jawab Salwa.
Untuk pertama kalinya aku dan Salwa mengobrol. Kami bukanlah orang yang saling kenal, bahkan Salwa baru dua hari di kampung kami. Tapi aku sangat nyaman di dekatnya, senyumannya selalu membuat orang tenang. Aku memandang sajadah yang sedang ia keringkan. Sajadah itu sangat lusuh, mungkin sudah dipakai Salwa sejak kecil.
“Kenapa bisa basah ?? kalau kamu mau, aku bisa pinjemin sajadah aku dulu.”
“Sajadah ini dari ummi, hadiah waktu usia aku 7 tahun. Kata ummi, lagi ada obral di pasar. Tapi mungkin malam ini sholat tahajud terakhir aku sama sajadah ini.”
“Kenapa ??”
Salwa mengambil beberapa ubi yang telah matang dan memberikan satu untukku. Kemudian ia mengambil sajadah itu, lalu menggelarnya. Sajadah itu telah robek sampai sudah tak berbentuk lagi. Kemudian ia meletakkannya di samping setrika arang.
“Ummi bilang, yang penting dalam sholat itu bersih badan, pakaian sama tempat. Rumah kami terlalu kecil buat punya tempat sholat. Jadi harus selalu pakai sajadah.”
Salwa memandang sajadah itu dengan seksama. Walau dia sedikit menutupi, tapi aku tau matanya sedikit berair. Aku menelan ubi bakar sambil terus memandangnya.
“Enak banget...aku gak tau ubi bakar bisa semanis ini.” kataku sedikit mencari perhatian.
Salwa tersenyum padaku sembari mengeringkan sajadah rusak itu dengan hati-hati.
-=oOo=-
Pagi ini seperti biasa aku dan Nilam berangkat bersama ke sekolah. Baru beberapa meter dari rumah, tiba-tiba Nilam menghentikan langkahku.
“Kenapa ??” tanyaku.
“Ssssttt...pelan-pelan...biarin mereka agak jauh dari kita” bisik Nilam sambil menunjuk segerombolan anak yang tengah berjalan di depan kami. Mereka adalah geng “Naughty”.
Aku dan Nilam mengikuti langkah mereka dari belakang. Samar-samar aku mendengar mereka sedang bercengkerama.
“Aku yakin gadis besek itu gak akan berani lagi ke mushola.” kata Joko.
“Mana mungkin berani bos, emang dia mau bajunya di sobek-sobek kaya sajadahnya.” tambah temannya, Parmin.
Aku tidak percaya apa yang aku dengar. Jadi mereka yang merusak sajadah Salwa. Aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Aku menghampiri mereka dengan geram. Aku menghentikan langkah mereka.
“Kenapa harus Salwa ? Kenapa harus sajadahnya ? Kamu tau ada yang gak bisa sholat tahajud gara-gara sajadahnya kamu rusak. Salwa gak sengaja numpahin minyak ke sajadah kamu. Kamu punya sajadah satu lusin, tapi Salwa enggak !!!”
Sepertinya keberanian Salwa telah merasukiku. Aku tidak mau memikirkan akhirnya, aku bahkan berusaha untuk tidak pernah terlibat dengan geng “Naughty”. Tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa terima.
“Kamu ngomong apa sih ? aku heran, kenapa akhir-akhir ini banyak banget cewek-cewek yang berani nentang kita. Aku emang yang ngerusak sajadahnya, tapi apa urusan kamu ??” balas Joko. Aku mendorong Joko dan teman-temannya sampai mereka jatuh tindih-tindihan di tanah. Aku tidak mengerti kekuatan apa yang merasukiku. Aku tidak memperdulikan apapun dan bergegas ke rumah kek Salim untuk menemui Salwa.
“Hasna, mau ke mana...kita harus berangkat sekolah ??” seru Nilam menghentikan langkahku.
Aku memandang Nilam sejenak kemudian tanpa mengatakan apapun aku melanjutkan langkahku. Aku yakin Nilam akan mengerti apa yang aku lakukan. Tak lama kemudian aku sampai di rumah kek Salim. Aku melihat kek Salim sedang menganyam sebuah besek. Aku melihat-lihat ke ruangan lain untuk mencari Salwa, tetapi aku tetap tidak bisa menemukannya.
“Assalamu’alaikum kek, Salwanya ada ??”
Kakek Salim memandangiku sembari membenarkan kacamata tuanya.
“Walaikumsalam...Salwa sudah balik kampung. Ke Jaten, rumah orang tuanya.”
Aku tertunduk lesu. Kenapa Salwa tidak pamit padaku. Apa dia sudah tidak tahan menghadapi geng “Naughty”. Tapi setidaknya dia pamit dulu padaku.
“Belum jauh kok nduk, paling baru sampai jembatan dekat rumah pak Samin.”
Aku terhentak sembari menegakkan kepalaku. Aku segera lari mengejar Salwa. Aku terus berlari dengan masih memakai seragam sekolahku. Aku tiba di ujung jembatan. Aku melihat Salwa berjalan pelan di atas jembatan.
“Salwaaaaaaa...”
Teriakanku menghentikan langkah Salwa. Salwa berbalik ke belakang. Dia memandangku dengan heran. Akupun segera menghampirinya.
“Aku pikir kita teman. Kenapa kamu gak pamit kalau mau pergi.” tanyaku.
Salwa tersenyum kemudian menjawabku. ”Aku cuma bingung, harus ngucapin selamat jalan atau salam kenal, kita bahkan baru ketemu dua kali...aneh aja baru kenal udah mau bilang selamat tinggal.”
“Kamu pergi karena geng gak mutu itu ??” tanyaku.
“Bukan...emang udah waktunya. Aku cuma jenguk kakek, bukan mau tinggal di sana.”
“Aku tau Joko yang ngerusak sajadah kamu...”
“Mungkin aku memang harus ke mushola terus, di sana gak harus pakai sajadah, kan ??” kata Salwa.
“Aku gak tau sajadah bisa sepenting itu...aku pasti beliin kamu dengan uang aku sendiri...”
Salwa tertawa oleh perkataanku. Dia memandangku dengan pandangan yang seperti biasanya. Pandangan yang tidak pernah aku mengerti. Matanya selalu penuh dengan rahasia. Andai aku sedikit lebih tahu isi hatinya, walau mungkin sulit sekali membacanya.
“Terkadang suatu benda bisa memiliki arti lebih dibanding dengan benda lainnya. Aku yang bodoh karena menganggap satu-satunya kenangan dari ummi adalah sajadah itu. Aku yang salah karena menganggap pergi ke rumah kakek bisa sedikit melupakan kenangan tentang ummi dan abi di rumahku. Tapi aku sadar, aku gak boleh lari lagi.”
Salwa menangis tersedu di depanku. Dia seorang yatim piatu, itu yang bisa kutangkap dari perkataannya. Aku terpaku melihat air mata yang mulai membanjiri pipinya.
“Hasna, jangan pernah sekalipun mengecewakan orang tua kamu, kita gak pernah tau apa besok mereka masih menemani kita. Atau selamanya kita akan menyesal tidak pernah membuat mereka bahagia bahkan di saat terakhirnya. Lalu pada akhirnya, kita hanya bisa memandang fotonya sambil berharap ada tambahan hari untuk mengulang waktu bersama mereka.”
“Salwa...”
“Aku pasti ke sini lagi, insya Allah.” ujar Salwa.
Aku melihat ketegaran dalam matanya. Seorang gadis 13 tahun yang mungkin sangat merindukan orang tuanya. Aku hanya merasa betapa beruntungnya aku masih memiliki ibu. Aku benar-benar tidak ingin dia merasa kesepian.
“Kenapa masih di sini ?? Aku kira kamu mau ke sekolah.” ujar Salwa.
“Aku akan tunggu kamu. Kita bisa buat geng juga kaya mereka. Aku, kamu, sama Nilam.”
“Boleh juga.” jawab Salwa sambil tersenyum simpul.
Salwa melambaikan tangannya padaku. Perlahan dia mulai meninggalkanku. Aku melihatnya berjalan dengan penuh semangat, penuh ketegaran. Aku membatin dalam hati...”Hari-hari ketika aku mengenalmu, adalah hari-hari paling bermakna yang pernah aku miliki...Aku akan menunggumu sahabat...”
-=oOo=-
6 bulan kemudian...
“Geser Has...”
Aku melihat Nilam yang sedang kesulitan mengatur posisinya. Aku menengok ke belakang. Semua orang sedang membenarkan shaf mereka masing-masing. Tak biasanya mushola kami begitu ramai. Teras musholapun penuh oleh jamaah yang saling berdesak-desakan. Tiga menit lagi khomat, mungkin lebih baik aku sholat rawatib dulu.
Aku membenarkan mukenaku dan bersiap untuk sholat. Tapi sepertinya ada yang aneh. Astaghfirullah, sajadahku ketinggalan di rumah. Aku lupa kemarin baru di jemur. Aku menengok pada Nilam di sebelahku berharap dia bisa menolongku. Tapi...tiba-tiba ada seseorang yang menggelar sajadahnya untuk berbagi denganku...Aku melihatnya pelan-pelan...Aku terpaku melihatnya...
“SALWA...!!!” kataku sambil melotot tak percaya.
“Aku mau nagih hutang...katanya ada yang mau beliin sajadah buat aku...??” ujarnya.
Mulutku terpaku sampai tak bisa berkata apa-apa...aku tersenyum sambil berfikir berapa uang yang sudah ku tabung untuk bisa membeli sajadah buat Salwa...
-=oOo=-


Devy Septiana Irawati
4101409131
Matematika-FMIPA


(cerpen peringkat ke-4 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)