Kamis, 18 Februari 2010

POLEMIK KAWIN SIRRI

POLEMIK KAWIN SIRRI

Pertanyaan.
Mohon dengan sangat dan hormat dijelaskan
tentang kawin sirri dan hak-hak istri. Karena ada keluarga yang kawin
sirri, tetapi saya tidak setuju karena prosesnya tidak wajar (memaksa).
Apakah kawin sirri itu sah menurut agama dan negara? [0812153xxxx]


Jawaban.
Kami memahami mengapa Anda begitu merisaukan perkawinan secara sirri
yang terjadi pada anggota keluarga. Karena memang, lingkungan kita
memandang perkawinan secara sirri dengan konotasi kurang baik.

Adapun disini, kami ingin menyampaikan pengertian nikah sirri dalam
perspektif ulama fiqih. Menurut pengertian mereka, nikah sirri ialah
pernikahan yang ditutup-tutupi. Ia berasal dari kata as-sirru yang
bermakna rahasia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا

"...Dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia". [al- Baqarah/2: 235].

Pernikahan sirri juga didefinisikan sebagai pernikahan yang diwasiatkan
untuk disembunyikan [1], tidak diumumkan [2]. Oleh karena itu, kawin
sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dan ditutupi, serta tidak
disebarluaskan.

Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua.

Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali
dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh
saksi-saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali)
menyepakati untuk menyembunyikan pernikahan tersebut.

Menurut pandangan seluruh ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan
seperti ini batil. Lantaran tidak memenuhi syarat pernikahan, seperti
keberadaan wali dan saksi-saksi. Ini bahkan termasuk nikah sifâh
(perzinaan) atau ittikhâdzul-akhdân (menjadikan wanita atau lelaki
sebagai piaraan untuk pemuas nafsu) sebagaimana disinggung dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala :

غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَمُتَّخِذَاتِ أّخْدَانٍ

"... Bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya …" [an- Nisâ`/4:25].

Adapun bila dua saksi telah berada di tengah acara, menyertai mempelai
lelaki dan perempuan, sementara itu pihak wali belum hadir, kemudian
mereka bersepakat untuk menutupi pernikahan dari telinga wali dan
masyarakat, ini juga termasuk pernikahan sirri yang batil. Karena tidak
memenuhi syarat mengenai keberadaan wali.

Kedua : Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang
terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi,
mereka (suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan
pernikahan ini dari telinga masyarakat atau sejumlah orang. Dalam hal
ini, sering kali pihak mempelai lelakilah yang berpesan supaya dua
saksi menutup rapat-rapat berita mengenai pernikahan yang terjadi.

Dalam masalah ini, para ulama Rahimahullah berselisih pendapat. Jumhur
ulama Rahimahullah memandang pernikahan seperti ini sah, tetapi
hukumnya dilarang. Hukumnya sah, resmi menurut agama, karena sudah
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat disertai keberadaan dua saksi
sehingga unsur "kerahasiaannya" hilang. Sebab, suatu perkara yang
rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau lebih, maka sudah bukan
rahasia lagi.

Adapun sisi pelarangannya, disebabkan adanya perintah Rasululloh
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk walimah dan unsur yang berpotensi
mengundang keragu-raguan dan tuduhan tidak benar (seperti kumpul kebo,
umpamanya) pada keduanya.

Sedangkan kalangan ulama Malikiyyah menilai pernikahan yang seperti
ini batil. Karena maksud dari perintah untuk menyelenggarakan
pernikahan adalah pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sah
pernikahan.

Pendapat yang rajih (kuat), nikah ini sah, lantaran syarat-syarat dan
rukun-rukunnya telah terpenuhi, walaupun tidak diberitahukan kepada
khalayak. Sebab kehadiran wali dan dua saksi telah merubah sifat
kerahasiaan menjadi sesuatu yang diketahui oleh umum. Semakin banyak
yang mengetahui, maka semakin afdhal. Oleh karena itu, dimakruhkan
merahasiakan pernikahan supaya pasangan itu tidak mendapatkan gunjingan
dan tuduhan tidak sedap, ataupun persangkaan-persangkaan yang buruk.[3]

Sementara itu, dalam pengertian masyarakat, kawin sirri sering disebut
"menikah di bawah tangan". Namun, lebih diarahkan pada pernikahan yang
tidak menyertakan petugas pencatat nikah (misalnya KUA) untuk mencatat
pernikahan tersebut dalam dokumen negara. Akibatnya, mempelai berdua
tidak mengantongi surat nikah dari pihak yang berwenang. Ditinjau dari
kaca mata agama Islam, bila rukun-rukun dan syarat-syarat nikah telah
terpenuhi, maka pernikahan itu sah secara hukum. Hak-kewajiban
suami-istri sudah mulai berlaku sejak akad nikah yang sah itu.

Akan tetapi, menurut hemat kami, mematuhi aturan negara sebuah
kewajiban. Apalagi urusan pernikahan, negara mengadopsi hukum Islam.
Secara administratif, kekuatan hukum kawin sirri kurang kuat.
Kemungkinan akan menimbulkan dilema dan menyisakan sejumlah
permasalahan, cepat atau lambat. Bila di kemudian hari ternyata terjadi
permasalahan, seperti cerai, atau suami meninggal dunia, dengan
pernikahan yang tanpa tercatat dalam dokumen resmi, maka menyebabkan
posisi wanita dalam masalah ini menjadi lemah, karena ia tidak memegang
dokumen pernikahan resmi (surat nikah). Sehingga sangat mungkin
statusnya sebagai istri tidak terakui, sebagai akibat dari "kerahasiaan
perkawinan mereka". Bahkan mungkin saja disebut sebagai wanita
simpanan.

Masalah lain yang mungkin muncul, berkaitan dengan akte kelahiran yang
keberadaannya cukup penting bila anak-anak akan sekolah. Sementara
pihak berwenang tidak akan mengeluarkannya, jika kita mampu menunjukkan
surat perkawinan yang resmi dikeluarkan negara. Demikianlah dalam
konteks kewarganegaraan, setiap warga negara semestinya menaati
peraturan atau ketentuan negara, selama tidak mengajak kepada maksiat,
atau pertentangan kepada hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Secara singkat dapat kita simpulkan, kawin sirri, memiliki potensi
bahaya yang sangat jelas. Disamping itu dengan menyebarluaskan
pernikahan, maka manfaatnya pun sangat jelas bagi kehidupan keluarga
dan anak-anak di masa depan.

Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2007M. (Rubrik
Konsultasi Keluarga). Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Syarhuz-Zarqani 'Alal-Muwaththa (3/188).
[2]. At-Ta'arif, hlm. 710.
[3]. Penjelasan ini dikutip dari az-Zawajul-'Urfi, Dr. Ahmad bin Yusuf
bin Ahmad ad-Daryuyisy, Darul- 'Ashimah, Riyadh, hlm. 94-97.