Sabtu, 12 Juni 2010

AKU DAN KARESHA

Buah anggur yang sudah matang, rasanya manis. Nah begitulah kisah persahabatanku dengan salah seorang teman yang baru kukenal ketika duduk di bangku SMA. Manis sekali dirasakan walaupun umurnya belum genap satu bulan. Bagaimana tidak, kami barasal dari satu daerah, tepatnya satu kabupaten. Karena aku sekolah di luar kota, maka sangat jarang kudapati teman satu daerah. Kesempatan emas bagiku, karena biasanya sangat sulit memiliki teman akrab di lingkungan baru. Kebanyakan yang lain sudah menggerombol dengan teman-teman nya sejak SMP. Apa nggak bosan? Kupikir.
Namanya Echa. Hitam manis kayak kecap, bulu matanya lentik hampir membentuk huruf U ke atas, bibir bawahnya terbelah menjadi dua bagian yang sama dan sebangun. Keriting rambutnya yang kayak bakmi spiral sepanjang lehernya tertutup kerudung kecil bertali khas miliknya. Perbedaan yang sangat mencolok bila sedang bermain, berjalan, bahkan ngobrol denganku. Tidak hanya aku yang merasakannya. Tapi jelas nyata sekali bila dilihat teman-teman yang lain juga.
Echa seperti sosok bodyguard-ku. Bagaimana tidak, kalau setiap ada yang menggodaiku atau hanya sekedar mengejekku ringan ketika kami berjalan bersama, Echa lah yang melawan. Pernah ketika kita sedang lari mengelilingi lapangan di luar sekolah, ada segerombolan siswa STM yang mengejek jilbab yang kukenakan. “Mbak, Mbak… tu jilbab apa seprei kasur? Kok lebar nian???”
“Heh !!! Berani maju sini lu!!! Lu pikir seragam lu tu nggak kayak keset kamar mandi???” tantang Echa. Jika memang sudah keterlaluan, Echa bahkan benar-benar menendangnya.
“udaaaah jangan mewek!” Begitu setiap kali setelah menolongku pasti dia menghiburku. Terasa sangat cengeng sekali aku dibandingkan dengan dia yang memiliki kepribadian tangguh.
Iya, Echa adalah orang yang pertama kali membelaku ketika aku kesulitan atau mengalami gangguan pada sistem.
Bahkan pada saat yang sangat mendesak, Echa sering muncul tanpa kuduga. Ketika seusai les kimia di rumah guru, aku sudah kehabisan angkutan karena pulang kesorean. Dan tanpa sengaja aku berpapasan dengan Echa di depan rumah guru kimia kami tadi. Seperti biasa yang kulihat Echa sahabat tomboy-ku menaiki sepeda motor matic hitamnya. Aku diantar sampai rumah, dan seperti biasanya pula Echa tidak mau kuajak masuk ke dalam rumah. “Salam saja ya buat keluarga!, maaf aku nggak bisa mampir.”
“Lili, bisa-bisanya akrab sama Echa ya? Padahal kayak bumi dan lagit.” Ku dengar salah seorang dari segerombolan anak sekelasku yang kebetulan melihat kami berjalan sehabis dari koperasi sekolah. Ah, apa sih artinya perbedaan antara bumi dengan langit? Bukankah itu artinya adalah perbedaan mencolok antara si kaya dan si miskin? Aku pernah membaca biodata yang dikumpulkan pada wali kelas kami Pak Dedi bahwa Echa memiliki kendaraan rumah berupa mobil. Sedangkan aku setiap pagi dan siang harus berdesak-desakan di dalam angkot atau bus mini ombrengan bercampur dengan berbagai macam penumpang lain dari berbagai tempat. Ada yang dari sawah naik bus, ada yang dari pabrik rokok, pasar hewan, kantor, sekolah, de el el. Aku sangat menikmati saat-saat itu. Ketika aku merasa tidak sendirian karena ada beberapa temanku yang juga berdiri berdesakan di sana.
Namun perlu diketahui karena perbedaan yang kurasa sangat mencolok diantara kami adalah karena Echa sangat tomboy meskipun kita sama-sama berjilbab. Echa jauh lebih tinggi dan lebih semampai. Yang kurasa sangat aneh dari pembawaannya adalah dia berperilaku dan berpenampilan sangat tomboy namun auranya sangat lembut.
Sesekali Echa merengek ingin ikut naik bus katanya. “Bosan dari pagi sampai malam naik motor terus!” celetuknya. Sempat terlintas perkataan aneh, namun tak kuteruskan untuk nenelusuri perkataan mana yang aneh tadi. Bahkan aku melupakan dan melanjutkan bercerita dengan topik yang lain.
Sebulan dua bulan dan kini tiga bulan kami telah melewati hari-hari belajar di SMA. Echa sangat berbeda dengan teman-temanku yang lain. Sama sekali tidak pernah meributkan tugas, tidak pernah mengeluh tentang banyaknya tugas yang diberikan guru. Padahal pagi nya ketika kutanya, “Apakah sudah mengerjakan?” Dengan wajah memelas dia menjawabnya, “Belum Li, aku nggak sempat. “
Tugas yang waktunya satu minggu saja dia belum mengerjakan, apalagi yang waktunya satu hari??? “Ni, aku sudah ngerjain. Cepetan disalin! Nanti dikumpulkan jam pertama.” Aku menyerahkan pekerjaan rumahku karena aku sama sekali tidak ingin nilainya jelek seperti biasanya. Sangat disayangkan ketika nilai PR saja jelek. Padahal nilai itu membantu nilai ulangan yang lain.
“Makasih ya Li, contekannya…” seperti biasanya dia hanya mengatakan terimakasih, thanks, maturnuwun, arigato, sampai-sampai aku hapal apa yang akan dia katakan setelah meminjam buku catatan, PR, dan kertas tugasku. Setelah itu, tidak ada lagi tanggapan dariku. Bahkan rasanya belum pernah menanyakan mengapa tugasnya tidak pernah beres.
Lama-lama aku bosan dan kesal apabila harus memberikan jawaban tugas, PR, dan catatanku padanya. Buat apa aku memperhatikannya, padahal dia sendiri seperti sama sekali tidak membutuhkan nilai.
Teman-teman sekelasku mulai banyak yang menanyakan mengapa sekarang aku jarang makan bersama Echa di kantin. Echa lebih sering diajak Wiwin kemana-mana. Bahkan kudengar Echa pernah menginap di rumah Wiwin karena ada masalah dengan orangtuanya.
Huh! Wajar saja orangtuanya kesal jika anaknya malas sekali belajar. Dalam hati aku mulai mengatakan yang tidak-tidak tentang Echa. Sampai pada suatu saat guru sosiologiku memberikan tugas kelompok yang beranggotakan empat anak setiap kelompoknya. Kelompok pertama dibacakan, “Alwina Rumila, Bastian Santosa, Karesha Gandhi, dan Liliaviaska.” Namaku disebutkan setelah Echa. Sial sekali aku harus bekerja dalam satu kelompok dengan anak-anak malas seperti Bastian dan Echa?
“Kapan kita mau mulai mengerjakan proyek sosiologinya? Tolong secepatnya saja ya, biar cepet kelar. Tau sendiri kan, aku nggak suka sosiologi dan segala bentuk mapel yang bersifat hapalan kayak gini?” Alwina alias Wiwin yang kukenal sangat menyukai sains meributkan agar ia dengan cepat tidak lagi berurusan dengan proyek ini. Wajar saja menurutku kalau dia alergi ketika mendengar istilah sosio cultural, lapisan masyarakat majemuk, dan sebagainya. Dan sebaliknya wajahnya akan berubah sangat ceria bila mengajaknya berkunjung ke laboratorium kimia walaupun hanya sekedar mengembalikan spatula yang tak sengaja ikut kumasukan ke dalam tas sehabis praktikum. Kebiasaan burukku memang suka dengan tidak sengaja memasukan perangkat laborat ke dalam tempat pensil atau tas. Pernah suatu ketika aku menemukan kaki tiga di dalam tas ku.
“Lu tu sabar dikit Win, tema yang mau kita bahas dan teliti aja belum nemu, kok mau selese tu dari Hongkong? Kecuali kalo kita milih tema reproduksi manusia, atau larutan asam basa, nah itu mungkin lu ngebut.” Keluh Bastian.
Setelah seminggu lamanya kami merundingkan tema, akhhirnya tema yang terpilih adalah “Kemajemukan Kultur yang Mempengaruhi Perkembangan Watak Manusia Sebagai Anggota Masyarakat”, hasil usulanku. Terkesan sangat menarik bagiku karena aku menyukai ilmu-ilmu psikologi. Terkesan menyenangkan bagi Bastian karena terlihat dia senyum-senyum sendiri ketika menyambut kata-tema itu disebutkan. Terkesan sangat mengerikan bagi Alwina karena tabir hitam kelam menutupi otaknya ketika mendengar tema yang kuusulkan tadi. Dan terkesan biasa-biasa saja bagi Echa. Masih seperti Echa yang dulu, yang santai sekali menghadapi tugas berat semacam proyek ini sekalipun.
Untuk mempercepat waktu, akhirnya kita bagi tugas. Sepakat semua bahan harus terkumpul satu minggu dari hari ini. Semua setuju, namun aku masih saja meragukan apakah Echa mampu menyelesaikannya atau tidak.
Seminggu telah berlalu dan kami bersepakat untuk berkumpul di rumah Echa untuk membahas proyek sosoilogi itu. Sudah hampir pukul tujuh belum kulihat Echa datang. Masalahnya, sejak kemarin dia tidak berangkat. Mulailah prasangka burukku tentangnya.
Aku menceritakan semua yang hal tentang Echa yang kuketahui pada Wiwin. “Aku yakin Win, kalo hari ini Echa sengaja nggak berangkat. Dia pasti takut ditagih tugasnya. Sebelimnya aku memang sugah ragu apakah dia bisa menyelesaikannya atau tidak. Benci !!! sebel!!! Sama yang namanya Echa, Win! Kalo gini caranya bisa hancur nilai proyek akhir kita. Gilmana kalo hanya kelompok kita yang dapat nilai E ? lagian kamu tau nggak Win, kalo selama init tu Echa !@#$%^&*()_++_)(*&^%$#@!” Saking kesalnya aku ceritakan semua tentang Echa.
“Sabar Lili… mending nanti kita dating saja ke rumah Echa buat memastikan. Bisa saja dia memang sakit hari ini, iya kan?”
Untuk menghilangkan rasa kesalku, aku berniat pergi ke perpustakaan umum di dekat alun-alun kabupaten. Biasanya apabila sedang bosan dengan pelajaran, aku dan Echa berboncengan menuju perpustakaan. Dan sesampainya di sana kami suka sekali membaca komik-komik jepang seperti Konan.
Dengan segera kuraih bebarapa komik dari rak dan kubawa di meja baca sambil aku duduk di antara sekelompok anak-anak kecil yang kutebak masih SMP. Kuletakkan tumpukan komik yang kubawa di atas meja, dan dengan mantap duduk di kursi sambil melepas lelah karena tadi menuju ke sini berjalan kaki. Tanpa Echa, tidak ada yang memboncengiku. Sedih juga kalau sedang kesepian seperti ini.
Terasa ada yang aneh karena kulirik sekelompok anak SMP tadi seperti menertawakanku. Mereka cekikikan yang aku tidak tau alasannya. Cuek sajalah, paling ditertawakan anak kecil…
Lama-lama risih juga melihat dan mendengan cekikikan anak-anak kecil. Aku bangkit dan berniat untuk pindah tempat. Ketika aku berdiri, rok abu-abu ku tetap menempel pada kursi yang kududuki. Ops… ternyata ada permen karet yang menempel. Geram sekali rasanya dan aku ingin segera memukul, menjitak, menendang, dan kuadukan pada orangtuanya. Aku ingin memarahinya habis-habisan. Tapi yang keluar justru air mata. Iya, aku menangis… kaku, malu sekali dilihati banyak orang. Seisi perpustakaan menjadi tau kejadian ini karena sekelompok anak SMP tadi tertawa dengan sangat kencang. Di tambah mereka tau kalau mataku mulai berkaca-kaca. “Echaaaaaaa……” ingin sekali aku berteriak meminta pertolongan dari sahabat bodyguard-ku. Namun mulut ini terlalu kaku untuk memanggil nama si tomboy. Malah semakin sesak dada dan perih sekali tenggorokanku.
Aku lari meninggalkan ruang baca tanpa sempat kukembalikan komik yang belum selesai kubaca, menuruni tangga, keluar dari pintu hingga sampailah di depan jalan raya. Aku bingung ingin menumpahkan kekesalanku pada siapa. Dan baru kusadar, ternyata aku merindukan si tomboy yang melindungiku. Tanpa kupikir dua kali, aku berlari menuju rumah Echa.
Setibanya di depan rumah, aku menemui banyak tamu yang datang dengan membawa bingkisan tas mirip oleh-oleh hajatan. Dengan sangat gugup kutanyakan pada seorang wanita kira-kira lebih tua tiga tahun denganku yang sedang membugkusi nasi pada besek selamatan.
“Maaf mengganggu Kak, bisa saya bertemu Echa? Saya temanya.”
“Oh iya Dek, Echa sedang sakit. Temui saja di kamrnya, dia sedang tiduran.”
“Iya Kak, terimakasih. Oiya kak, kalo boleh tau ini lagi mengadakan acara apa ya Kak?”
“Ini acara rutin khol kalau bahasa jawa. Kalau bahasa kerennya sih berarti acara peringatan ulangtahun meninggalnya seseorang.”
“Memang siapa yang sudah meninggal Kak? Kakeknya Echa ya?”
“Bukan kakeknya Dek, tapi ayahnya.”
“Apa???” aku sangat terkejut sekali mendengarnya. Echa tidak pernah cerita apa-apa kalau selama ini dia sudah tidak mempunyai ayah. Rasa penasaranku bertambah sehingga aku ingin lebih banyak lagi mencari tau tentang hal ini. Kutanyakan apa saja tentang Echa pada Kakak tadi.
Echa sahabatku yang memiliki sifat tomboy itu adalah dikarenakan dia terbiasa menggantikan sosok ayah di keluarganya. Dia terbiasa melindungi ibu dan kedua adik nya yang masih kecil-kecil sehingga dengan aku pun dia sangat protective. Auranya yang lembut tertutup oleh sifat gagah pemberani sejak usianya tujuh tahun. Aku sangat menyesal tadi pagi sudah mengatakan hal-hal buruk tentangnya pada Wiwin. Mengapa dia terlihat santai dan sama sekali tidak pernah uring-uringan dengan nilai? Ternyata karena ia disibukkan oleh pekerjaannya. Pekerjaan sebagai tukang ojek. Iya, tak bisa kubayangkan malam-malam remaja berjilbab seusianya mengendarai sepeda motor memboncengkan orang yang sama sekali tak dikenalinya. Aku sangat terpukul mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tak sabar ingin aku memeluk dan menangis di hadapannya menyesali sifat kekanak-kanakanku terhadapnya. Aku yang tidak ikhlas ketika memberikan jawaban tugas sekolah atau hanya sekedar meminjaminya buku catatan.
Segera aku menuju kamar di sebelah kanan ruang TV. Kudapati Echa sedang berbaring. Aku duduk di sampingnya, dan dia terbangun. Matanya terbuka memandang ke arahku. Belum sempat ku tanyakan apa-apa, dia mengisak dengan sangat kencang. Tangannya meraih tanganku tanpa mengubah posisi tidurnya. Dia hanya mengatakan, “Maaf sahabatku… aku tidak bisa melindungimu lagi…”
Jilbabnya sudah sangat basah dibanjiri air mata, tanpa bisa mengucapkan kalimat yang lain.
Kubiarkan hingga ia menenang di pelukanku sampai punggungku pegal karena aku-lah yang harus membungkuk ke arah dia tidur. Kutunggu sampai dia bisa bangkit duduk memelukku seperti biasanya ketika melihat mataku mulai berkaca. Ternyata tidak, Echa tidak juga bangkit karena tubuhnya masih sakit dan kaku. Kakinya lumpuh karena kecelakaan dengan motornya ketika sudah malam dia terburu-buru pulang agar bisa mengikuti ngaji yasin-tahlil untuk almarhum ayahnya di rumah. Si bodyguard-ku tidak bisa lagi menendang segerombolan cowok STM ketika megejekku pada jam pelajaran olahraga. Karena jam olahraga pun dia hanya melihat ku jauh dari tepi lapangan. Si sopir yang biasa mengantarkan ku ke perpustakaan umum dengan sepeda motor matic favoritku kini hanya bisa kudorong di atas kursi roda. Namun Si tomboy beraura lembut yang selalu menghibur ku akan tetap dan selalu ada. Karena dia menghibur sekaligus menguatkanku saat aku sedih adalah dengan hati, bukan fisik. Dengan hatinya yang gagah tapi lembut.
Sekarang, kami berpisah karena aku harus pindah ke luar kota untuk kuliah. Sedangkan Echa ke luar jawa bekerja mengajar anak-anak penyandang cacat. Di usianya yang masih 19 tahun, aku masih sangat kekanak-kanakan namun dia sudah sangat dewasa. Bahkan tanpa kuliah dia mampu menjadi seorang pendidik anak-anak cacat.
Kulihat dari foto melalui internet, dia sudah menjadi seorang akhwat berjilbab lebar, duduk di kursi roda, dan dikelilingi oleh anak-anak penyandang cacat muridnya. Echa adalah satu-satunya sahabat yang namanya masih sangat hangat di hatiku. Dan kujaga kehangatannya sebagai motivasi syukur-ku pada Illahi Rabbi.


Septianing Tyas
4101409134
Matematika-FMIPA

(Cerpen urutan ke -9 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)