Sabtu, 19 Juni 2010

BINGKISAN IMAN

Hari yang cerah di ujung Agustus. Sejenak seorang pemuda berparas tampan berkulit sawo matang mengintip dari atas Balkon Harvard Faculty of Arts and Sciences dengan mata yang menyipit. Cahaya matahari yang memantul lewat River Cam membuatnya silau. Puluhan sampan berhilir mudik dengan tolakan galah sebagai pendayung. Wisata punt khas kota Cambridge yang memesona dunia.
”Semoga ini bukan hadiah yang memalukan...” batin Mahasiswa kandidat master Arts and Sciences Harvard University itu sembari memasukkan sebuah benda ke dalam kotak kecil berwarna krem yang terbungkus rapi. Arloji klasik berwarna perak keluaran 1960an yang memilki merk tak begitu terkenal. Dipuaskannya memandang langit Cambridge yang mulai memerah. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama di tempat itu, tetapi ia harus segera bergegas pulang karena ia tahu ada yang tengah menunggunya di Rumah.
Seharusnya hari ini bukanlah hari yang istimewa untuk Dhika hanya karena Ayahnya ulang tahun. Sejak ia mengetahui bahwa perayaan ulang tahun bukanlah termasuk ajaran Islam, ia tak pernah lagi meminta Ayahnya merayakan ulang tahunnya, atau sekadar memperingatinya secara istimewa. Kalaupun ada peringatan hari lahir, itu semata-mata adalah untuk mengingatkan tentang jatah usia di dunia yang semakin berkurang. Prinsip itulah yang masih ia pertahankan sampai sekarang. Diliriknya kembali jam tangannya sekilas, perjalanan dari Moller Centre menuju rumahnya di St. Marry Street memerlukan waktu sepuluh menit menggunakan sepeda bututnya.
”Ah, benarkah Ia masih Ayahku yang dulu?” batin Dhika. Semilir angin di sepanjang Moller Centre benar-benar menerbangkan segala kegundahan yang tengah dirasakannya. Dikayuhnya sepeda kesayangannya itu pelan sembari menghirup udara sore. Sesaat Dhika memejamkan mata sejenak, mendadak lamunanya buyar saat terdengar suara keras di telinganya.

”Braggghkkkkhhh!!!!” Dhika terjatuh. Sepedanya oleng dan meringsek ke semak-semak. Buah-buahan yang baru saja ia beli berjatuhan ke jalan. Ia baru sadar, ternyata sepedanya bertabrakan dengan sepeda lain. Ia meringis kesakitan sembari mencoba berdiri. Namun, mendadak ia tak lagi merasakan sakit saat matanya tertumbuk pada seorang pemuda yang jatuh terjerembab dari sepedanya juga, bahkan kelihatannya ia lebih parah karena tubuhnya tertimpa sepeda. Dhika cepat-cepat berlari ke arahnya dan berusaha mengangkat sepeda itu pelan-pelan.
”Sorry for hitting you, guy…” ucap Dhika meminta maaf sembari berusaha menawarkan pertolongan. Wajah pemuda itu tidak terlihat karena posisinya jatuh tertelungkup. Sepertinya ia juga tengah kesakitan. Sesaat ia menoleh. Dhika terperanjat melihat wajah pemuda itu.
”Omar??!” pekik Dhika setengah tak percaya. Ia tak menyangka jika pemuda itu adalah teman kuliahnya di Harvard Faculty of Arts and Sciences. Dengan sigap Dhika segera membantu pemuda yang akrab ia panggil Omar itu untuk berdiri. Rasa sakit di kakinya mendadak tak lagi terasa karena terkalahkan oleh tanda tanya yang bermunculan di kepalanya.
”Bukankah seharusnya saat ini Omar mengikuti doa bersama memperingati Maulud Nabi di Masjid Cambridge Muslim Society?” batin Arya bertanya-tanya. Di sanalah Dhika dan mahasiwa Muslim cambridge lainnya melakukan aktivitas-aktivitas sosial dan kegamaan sekaligus memeperdalam kajian tentang Islam.
”You will go to Cambridge Muslim trust centre, won’t you?” tanya Dhika. Melihat luka Omar, ia langsung mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Alkohol dan kapas. Dibalutnya luka di lutut sahabatnya itu hati-hati.
”Yes, but I think I can’t go there alone. Kakiku terlalu sakit jika harus kesana memakai sepeda…”jawab Omar. Dhika mafhum. Ia dilema. Jika, ia tidak pulang sekarang sudah bisa dipastikan Ayahnya akan berpesta tanpa dirinya, di Rumah besar pemberian Ibu tirinya yang kini ditinggalinya itu hanya ada dia, Ayahnya dan beberapa supir dan pembantu. Namun sedetik kemudian, tiba-tiba ia memutuskan sesuatu.
”Okey, let’s go there.., sekalian aku mengantarmu, Omar. Aku yakin, kakimu tidak akan kuat mengayuh sendiri.” tawar Dhika. Omar mengangguk. Pemuda jawa yang telah berpindah negara itu membiarkan bayangan wajah Ayahnya yang menyeruak dalam pikirannya tenggelam seiring kapas-kapas putih awan yang berganti mega-mega merah di langit senja Cambridge sore itu.
Pukul sembilan malam. Dhika mengayuh sepeda menuju Cambridge, St. Mary street. Pulang. Madrasah Islam di Cambridge Muslim Trust memang selesai setelah maghrib. Sarana belajar yang disediakan oleh organisasi Muslim di Cambridge itu memang diikuti banyak mahasiswa muslim, termasuk dirinya. Ia tadi sedikit berbincang dengan Ustadz Dr. Ahsen Mohammed, salah seorang pengurus organisasi itu bahwa sebentar lagi perluasan area Masjid di sekitar Cambridge Muslim Society di Elgin St. North Cambridge bisa segera terlaksana. Ada sosok misterius yang beberapa bulan belakangan ini selalu mengirimkan amplop besar berisi uang yang tak sedikit ke Yayasan Cambridge Musim trust tanpa menyebutkan namanya.
”Kami sedang melacak alamat pengirim perangko yang ada di amplop..” ucap Dr. Ahsen menjelaskan.
“Criiitttt…” Dhika mengerem sepedanya mendadak. Tak terasa ia sudah ada di depan rumah. Ia sengaja tak segera masuk . Ditatapnya sejenak rumah berlantai dua itu.
”Ibu, rumah kita dulu lebih kecil dari rumah ini. Tetapi mengapa Dhika lebih rindu dengan kita itu? tak ada lagi senyum Ibu yang begitu hangat, tak ada suara merdu Ibu usai shalat yang bisa Dhika dengar sekarang....” rintih Dhika lirih. Ada air mata yang menetes di sudut matanya. Rasa sedih yang mungkin sudah demikian dalam dan selalu menghinggapi hatinya manakala ia melihat Rumah besar yang ada dihadapannya kini. Rumah yang diberikan Ibu tirinya setelah meninggal untuk Ayahnya. Waktu dua tahun menikah sepertinya mampu digunakan dengan baik oleh wanita asing itu untuk membuat Ayah Dhika kehilangan imannya. Begitulah, cinta yang harus dibayar dengan prinsip. Berpindah agama.
”Kreekkk...!!!” pelan-pelan Dhika membuka pintu rumahnya. Kakinya berjingkat-jingkat. Namun sayang, baru beberapa langkah, ia dikejutkan oleh sebuah suara..
”Sejak kapan kau mulai mementingkan orang lain daripada Ayahmu sendiri, Dhika?! sepertinya jadwalmu di Cambridgeshire semakin membuatmu sangat sibuk sampai lupa dengan hari terpenting Ayahmu.. ” suara Ayah Dhika terdengar begitu jelas. Pertanyaan retoris yang terdengar sedikit sumbang. Rasa lelah yang dirasakannya membuatnya malas menganggapi pertanyaan sang Ayah.
”Dhika sudah pernah bilang, Dhika tidak suka pesta. Apalagi ulang tahun. Maaf jika membuat Ayah menunggu..” jawab Dhika begitu datar. Ia berjalan gontai menuju tangga.
”Apakah acara di Cambridge tadi begitu penting? apa yang mereka gunakan untuk memaksamu mengesampingkan Ayah hah?! bahkan sekadar mengantar Ayah ke Gereja pun sekarang kau menolak !!” suara Ayah Dhika meninggi. Dhika berhenti. Ada rasa sakit yang menghantam sudut hatinya.
”Hari ini bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal. Entahlah, apakah Ayah masih ingat jika tanggal itu adalah hari peringatan Maulud Nabi. Salahkah jika Dhika kesana untuk ikut berdoa bersama??” akhirnya Dhika bersuara. Suara yang terdengar begitu dipaksakan. Terlihat Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berpita cokelat, berisi arloji yang dibelinya tadi siang kemudian meletakannya di atas meja tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ayahnya.
”Meski hanya arloji murahan, Dhika harap ini cukup membuat Ayah berhenti berpikir bahwa Dhika melupakan Ayah ...” ucap Dhika sembari berlalu kemudian berjalan menaiki tangga . Tak ada ucapan manis selamat ulang tahun atau apalah itu. Ayah Dhika seketika terdiam. Didekatinya kotak kecil itu. Ada air mata yang mengambang di sudut mata sayu itu saat menatap secarik kertas yang tertempel diatasnya.
”Semoga umur yang masih Ayah punya hingga sekarang senantiasa membuat Ayah bersyukur. Selamat Hari lahir...” lelaki sepuh itu mengeja barisan tulisan putra semata wayangnya itu dengan hati bergetar. Ada bentuk keangkuhan yang luruh bersama derai sesal yang melingkupi jiwanya.
Malam yang hening. Jam kamar Dhika sudah berdetak beberapa kali. Dawai-dawai keheningan yang tengah bersenandung saat gulita itu digunakan pemuda yang tahun ini genap berusia dua puluh lima tahun itu untuk sejenak tenggelam dalam derai sujud-sujud panjangnya bermunajat pada Sang Pencipta. Usai tahajjud, ia menangis membaca Al Qur’an dengan suara parau. Hatinya yang tenggelam dalam kepasrahan seakan melengkapi keheningan sepertiga malam. Dhika tak dapat menahan isaknya saat hatinya meresapi baris-baris kalamullah itu dalam diam.
”Dan jika keduanya (orang tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahui tentang ilmu itu, janganlah engkau mengikuti mereka dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik..(Al Luqman : 15).” Dhika menangis tegugu. Bahunya terguncang. Dalam hatinya tak putus-putus ia berdoa, semoga Allah senantiasa menjadikannya anak yang berbakti tanpa harus mengusik keimanannya yang kadang beradu dengan dilema.
”Robbul ’izzati..., berikan ruang untuk hati Ayah hamba agar ia dapat kembali mendapat cahayaMU seperti dulu....” rintih Dhika. Dibacanya kembali barisan-barisan ayat penyejuk hati itu tanpa berniat untuk tidur lagi. Ia memang biasa tilawah sembari menunggu waktu shubuh tiba.
”Benarkah? ustadz sudah menemukan orang itu??” tanya Dhika usai mengajar anak-anak Cambridge mengaji Al Qur’an di Masjid Cambridge Muslim Society. Ia diberitahu bahwa orang yang selama ini memberikan bantuan tanpa nama itu sudah berhasil dilacak dan diketahui identitasnya. Ustadz Hasan Hawkins, guru mengajinya di Cambridge mengajaknya untuk bertemu orang itu.
”What?! Mr. Fred??!” ucap Dhika tak percaya. Siapa sangka, ternyata orang yang selama ini dicari identitasnya oleh orang-orang di Cambridge Muslim society itu ternyata sudah dikenalnya. Ya, Mr. Fred adalah tetangga baiknya di St. Marry Street. Lelaki asli Inggris itu memang seorang Muslim, Ayahnya pun sangat mengenal baik lelaki itu.
”Yes, but wait...perlu kau tahu, Mr. Fred hanya orang suruhan, dia hanya kurir. Ada orang yang menyuruhnya melakukan itu..” lanjut Ustadz Hasan serius.
“Ada yang menyuruhnya? siapa dia Ustadz?” tanya Dhika penasaran. Ustadz Hasan mendadak terdiam. Sejenaknya ditatapnya kedua mata Dhika lekat.
”He is your father, Son. Mr. Wiguna Atmaja..” ucap Ustadz Hasan lirih. Dhika begitu terperanjat, ia sungguh tak percaya apa yang didengarnya. Ustadz Hasan mengusap pundak murid kesayangannya itu pelan. Dhika benar-benar termangu. Mendadak serpihan memorinya terbang membawanya melintasi waktu, ia teringat saat setahun lalu ia memutuskan untuk aktif dalam kegiatan Masjid di Cambridge Muslim Society. Ayahnya terang-terangan menentang dan melarangnya sampai-sampai ia harus berdebat hebat. Meski setelah itu, karena ia terlalu keras kepala akhirnya ayahnya tak lagi mempedulikan hal itu. Ah, mendadak Dhika menjadi pusing memikirkannya.
”Benarkah ayah yang mengirimkan amplop berisi uang ke Masjid di Elgin selama ini?!” tanya Dhika malam-malam sewaktu ia di Rumah. Di hadapannya tengah duduk sang Ayah sembari membaca buku tebal. Lelaki keturunan jawa ningrat itu diam. Tak menjawab.
”Kenapa Ayah diam? jawab Dhika, Ayah..!”
”Bukankah itu yang selama ini kamu mau?! masjid itu sedang butuh dana, bukan? kau tinggal bilang berapa lagi yang harus Ayah keluarkan untuk mereka agar tak lagi memaksamu ikut dalam kegiatan-kegiatan itu lagi,,” jawab Ayah Dhika dingin. Mendengar jawaban ayahnya, Dhika sungguh kaget dan tak menyangka. Rasa sakit di hatinya yang selama ini ada semakin bertambah. Bahkan, kali ini ia telah demikian terluka.
”Begitukah mau ayah selama ini? begitu inginkah Ayah agar Dhika behenti? mengapa ayah selalu meminta Dhika untuk menghargai Ayah jika Ayah sendiri tak sedikitpun bisa menghargai Dhika? Sebanyak apapun uang yang ayah punya tidak akan membuat Dhika berhenti melangkahkan kaki ke Masjid Cambridge!” ucap Dhika dengan suara meninggi. Matanya berkaca-kaca. Ayah Dhika hanya diam. Tak bergeming.
”Baiklah..Dhika mengerti. Dhika sadar, mungkin terlalu sulit bagi Dhika untuk mencari sosok Ayah yang dulu. Mungkin terlalu sulit bagi Ayah untuk bisa menerima Dhika apa adanya. Andai saja ayah tahu, betapa Dhika berusaha untuk rela mati-matian menerima Ayah sekarang. Ayah yang jauh dari Dhika, Ayah yang telah melupakan Ibu, dan Ayah yang telah membuang iman yang pernah membuat kita semua dekat!!!”
“Plaakkk!!!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dhika. Tangan Ayah Dhika bergetar. Dhika merasakan perih yang teramat sangat di pipinya. Ia menunduk. Ayah Dhika tak berkata sepatah katapun. Matanya yang sempat menyala, perlahan kembali redup. Tanpa menghiraukan Dhika, ia berjalan meninggalkan Dhika dalam kebisuan. Dhika masih mematung, Beribu jarum penyesalan kini tengah menusuk seluruh ulu hatinya. Hening. Tak ada suara apapun selain desah nafas Dhika yang ingin sekali memuntahkan tangis yang tak terbendungkan.
Langit pagi Cambridge terlihat tak begitu cerah. Mendung. Seperti hati Dhika yang demikian muram karena tergerus kesedihan dan kegundahan. Pagi itu Dhika sengaja pegi ke Rumah Ustadz Hasan tanpa sepengetahuan Ayahnya. Ia sungguh butuh sesuatu yang dapat menguatkan hatinya.
”I’m so confused, Ustadz. I don’t know what should I do. Aku terlalu sulit mengenal Ayah sekarang, Andai aku bisa memberikan nyawaku agar Allah mau mengampuni Ayah, aku rela melakukannya. Sungguh..!!” desah Dhika. Wajahnya yang tampan terlihat sangat pucat. Matanya sembab.
”Mohon ampunlah atas ucapanmu, Dhika. Tak ada hak bagi kita untuk memaksakan ampunan bagi orang yang tidak beriman, meskipun dia saudara kita...!!” ucap Ustadz Hasan mengingatkan. Dhika langsung beristighfar lirih. Sejenak Ustadz Hasan membacakan arti petikan ayat al Qur’an dengan suara pelan.
”Tidak pantas bagi nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. Sekalipun orang-orang itu kaum kerabat (nya) setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahannam. (Q.S At taubah : 113)”
Dhika langsung beristighfar. Ia menunduk. Sungguh, saat ini ia benar-benar merasa tak mampu lagi menyelami sosoknya sendiri yang mendadak begitu cengeng. Ia terlalu larut dalam kesedihan dan kebingungan. Harapan-harapan yang pernah tersemai seakan luruh kembali dan menimpa tubuhnya. Begitu sakit terasa. Namun, ustadz Hasan justru tersenyum.
”Sabar, anakku. Rencana Allah itu lebih indah dari apapun. Bahkan terlalu indah jika dibayar dengan sebuah keputusasaan. Bersyukurlah, karena pagi ini Allah telah mengijabah doa-doamu...”
”Kreeek....” tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, membuat Dhika seketika menoleh. Dhika kaget.
”Ayah???!!”
”Kau tak perlu memberikan nyawamu untuk Ayah, Nak. Itu terlalu berharga untuk membayar keangkuhan dan kesombongan Ayah selama ini. Kau benar, Ayah terlalu egois mengikatmu untuk selalu mengerti Ayah, bahkan membawamu dalam kesesatan yang menyedihkan ” Ayah Dhika muncul sambil terisak.
”Andai kau tahu, Dhika. Betapa Ayah ingin sekali menangis seperti setiap kali mendengar kau terisak seusai Shalat. Betapa ingin ayah mendampingimu waktu itu. Bantu ayah kembali mendapatkan hidayah itu, Nak. Bantu Ayah kembali untuk mengenal Allah, bantu Ayah bersyahadat...!!!!” pinta Ayah Dhika tergugu. Ia benar-benar menangis tersungkur. Dhika tergagap. Tak percaya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Benarkah apa yang tengah dilihatnya kini? ditatapnya mata Ustadz Hasan dengan sorot yang meminta penjelasan.
”Ayahmu datang kesini shubuh tadi, Dhika. Doa yang selama ini kau panjatkan membuat hidayah kembali mengetuk pintu hati Ayahmu. Bimbinglah dia,” ucap ustadz Hasan tersenyum. Dhika langsung bersujud. Ia tak henti-henti mengucapkan syukur. Ia memeluk sosok terkasihnya yang sempat jauh darinya itu penuh keharuan. Rencana Allah memang tak tertandingi oleh apapun. Tak ada yang tahu, Alah telah memberi Ayahnya sebuah bingkisan berharga. Bingkisan Iman di sudut ruang hatinya. Bingkisan yang akan selalu membingkainya dalam derai syukur yang tak terlukiskan.


Anti Aufiyatus T.
2101407077
BSI-FBS


(pemenang lomba cerpen Islami Sigma 1431H)