Jumat, 18 Juni 2010

CINCIN MAS UNTUK RANI

Barisan orang pejalan kaki baru saja kembali dari gunung di ujung Desa Sidoagung itu. Tanah merah melekat di bawah sandal jepit seakan enggan untuk lepas. Senja di ufuk Barat mengantarkan sorot jingga pertanda mereka harus segera pulang. Pulang pada cita – cita dan kenyataan. Tentang Ardiansyah Eka Saputra.
---
Sabtu, 2 Mei 2009
Pukul 23.57 WIB di warnet ujung jalan.
“Sudah ngantuk, Ran?” ucap Ardi pada seorang gadis yang sejak satu jam yang lalu asik menatap layar komputer di depannya.
“Nggak mungkin ngantuk, Mas… Kurang 3 menit lagi.” Gadis pemilik gigi gingsul itu berkali – kali melirik jarum di jam tangannya.
Jam tangan yang selalu ia pakai sejak 3 tahun lalu, tepatnya saat ayah baru pulang dari Semarang. Pak Bambang Kusdiharto; seorang pekerja keras yang selalu menanamkan semangat pada kelima anaknya. Seorang pegawai yang patuh pada perintah atasan. Seperti saat itu, ketika atasan memerintahkannya untuk segera berangkat ke Semarang, mengecek proyek yang harus segera diselesaikan. Padahal, lima hari yang lalu bangsal rumah sakit menemani tidurnya. Tapi, tugas adalah amanah, begitu pikirnya. Alhamdulillah, tidak lebih dari 6 hari beliau sudah bisa pulang ke Kebumen, kota di mana ia dilahirkan dan bertemu dengan seorang wanita ayu keturunan Solo; Bu Endang Setiasih. Seorang wanita yang tak pernah bisa marah yang kini telah memberikan keturunan yang sehat – sehat pada beliau. Malam itu, Bu Endang bersama Ardi, Rani, Nindya, Salma, dan Bagas menanti seorang pria gagah yang kabarnya akan sampai rumah sekitar pukul 22.00 WIB.
“Kriiing…” suara telepon di ruang tengah.
“Assalamu’alaikum…”
“ Wa’alaikumussalam… Maaf, benar ini rumah Pak Bambang?” suara pria di ujung telepon dengan nada rendah.
“Iya, benar. Saya istrinya. Ada apa, ya Pak?”
“Maaf, Bu…Bapak baru saja kecelakaan saat perjalanan pulang.”
Sejak saat itu, wanita kepala empat itu harus membiayai kehidupan kelima anaknya seorang diri. Bila cinta adalah hanya memberi dan tak harap kembali, begitulah kiranya apa yang dilakukan Bu Endang pada mereka. Saat tujuh hari sepeninggal suaminya, ia baru berani membuka kotak yang ditemukan polisi di tempat kecelakaan. Di dalamnya ada cincin perak untuk Ardi, jam tangan untuk Rina, kerudung pink untuk Nindya, baju tidur untuk Salma, dan popok untuk si bungsu.
“Mas, udah lebih satu menit, nih…Tapi lola banget…” Rani harap – harap cemas menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru lewat jalur tes masuk di universitas yang sebulan lalu ia ikuti. Suasana warnet malam ini tak sesepi biasanya.
“Ini , Ran…udah ada pengumumannya.”
SELAMAT KEPADA MAHARANI KARTIKA PUTRI
NOMOR PENDAFTARAN : 4100760
DITERIMA PADA JURUSAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA, S1
“Alhamdulillah,, Yaa Rabb…” Ardi langsung sujud syukur.
Kebumen, 12 Agustus 2009
Ardi harus segera pergi sebelum ia ditinggal rombongan ke tempat kerjanya yang baru. Sejak ayah wafat, ia putus kuliah. Ada banyak kebutuhan yang harus segera dipenuhi, begitu pikirnya waktu ditanya ibu tentang alasannya keluar dari bangku kuliah. Saat guru di STM tahu tentang keputusannya, mereka sangat menyayangkan bintang sekolah harus memilih jalan itu. Memang tidak dipungkiri, uang pesangon dari tempat ayah bekerja dalam sekejap habis ketika Ardi harus bolak – balik opnam karena penyakit bronchitis yang dideritanya sejak SD. Alhamdulillah kini paru – parunya sudah bersih. Cita – cita menjadi arsitek seperti ayah tercinta pupus sudah. Bayang – bayang gedung megah hasil designnya pun kini telah ambruk di makan kenyataan. Kenyataan tentang cita – cita. Cita – cita tentang kenyataan.
“Mas harus pergi sekarang, Ran.” Ucap tenang Ardi pada adik yang baru saja lulus SMA itu.
“Rani harus bisa membantu Mas untuk mewujudkan cita – cita. Belajar yang tekun. Ini cincin Mas untuk Rani, untuk Adik tersayangku. Sampai sekarang, Mas belum tahu kenapa Ayah memberikan cincin untuk Mas. Menurut Mas, cincin lebih cocok untuk perempuan, untuk Rani.” Kalimat langsung terakhir yang ia ucapkan sebelum akhirnya rombongan membawanya pergi dari Kebumen.
---
Ibu kota Jawa Tengah
Hari ini, bulan kesepuluh sejak Rani kuliah di Universitas konservasi yang terletak di kota Semarang; Unnes. Itu berarti, sudah sepuluh kali pundi – pundi uang di ATMnya bertambah berkat kiriman dari masnya.
“Alhamdulillah, Masku baru ngirim uang, hehe.” Tergores raut bahagia dari air mukanya, yang selalu ia bagikan pada teman – temannya di kampus.
Pendidikan Matematika angkatan 2009 seharusnya tak mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia di semester 2, namun karena IP Rani mencukupi untuk menambah jumlah SKS, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil mata kuliah yang seharusnya diambil di semester 3.
“Sebelumnya saya minta maaf karena selama 2 minggu berturut – turut Saya tidak mengajar karena ada tugas dari jurusan.” Dosen berperawakan subur yang sering membuat alasan untuk tidak mengajar itu terlihat cantik dengan balutan kerudung di kepalanya.
“Iya, Buuuu….” kompak serasa paduan suara amatiran.
“Kali ini Saya akan memberikan materi tentang paragraf deskripsi. Materi ini pasti sudah pernah diberikan pada saat kalian di bangku SMP dan SMA. Tolong Saya buatkan salah satu contohnya dalam 15 menit, setelah itu silakan hasilnya dikumpulkan pada saya.”
“……Bvajhdabdcxm??<’<<> Sementara, Rani di barisan kedua dari depan tampak senyam – senyum. Ia tak mengerti mengapa selalu bersemangat jika sedang belajar Bahasa Indonesia. Sekilas, ingatannya kembali pada masa kelas 2 SD. Saat ayah masih segar – bugar. Malam itu, tatapan ayah tak seperti biasanya. Terlihat agak angker. Keduanya saling berhadapan di tengah suara jangkrik yang teramat jelas terdengar. Ibu berkali – kali mengingatkan bahwa jam peninggalan kakek yang masih kokoh menempel di dinding ruang tengah sudah berdentang sembilan kali. Waktu yang sudah terlalu larut untuk anak kelas 2 SD. Ini bukan kali pertama Rani melihat tatapan mata ayah seperti malam itu. Hampir di setiap malam sebelum ada kompetisi apapun, ayah selalu begitu. Terlihat angker. Seperti malam ini, ketika esok hari ada lomba hafalan surat pendek di sekolah.
“Rani memang sudah hafal, tapi belum benar tajwidnya.” Begitu berkali – kali ayah mengulang ucapannya sambil menepuk bahu gadis kecilnya.
“Rani harus yakin, insyaAllah bisa.” Lagi – lagi ayah membakar semangat gadis yang matanya sudah lima watt itu.
“Coba sekali lagi, setelah itu kita tidur.”
Siang harinya, Rani pulang membawa bungkusan hadiah di tangan mungilnya. Ayah, Rani bisa. Ayah yang hebat, Rani yang penurut, ibu yang lembut. Begitulah kiranya menggambarkan mereka. Pemilik cinta – cinta termesra dalam keluarga.
“Lima menit lagi.” Peringatan dari Bi Siti.
Ternyata, Rani sudah melamun kira – kira 10 menit. Yaa Rabb, coba lihat kertasnya, bersih.
Otaknya mulai diperas hingga keringat bercucuran keluar. Ia bingung akan mendeskripsikan apa. Pelan – pelan tangan lentiknya mulai meliuk – liukkan deretan huruf – huruf yang berjejer rapi membentuk kata pembangun kalimat yang bersinergi membentuk paragraf deskripsi.
“Baik, dari hasil pekerjaan kalian, akan Saya ambil secara acak. Setelah itu, namanya yang Saya sebut silakan paparkan hasilnya di muka.”
“Maharani Kartika Putri” nama itu terdengar disebut.
Deg!
Gadis itu berdiri sambil menggeser kursi ke belakang sedikit, lalu merapikan rok, lantas menuju ke depan papan tulis.
Suasana kelas tampak hening. Di dalam hati mahasiswa terucap “yes…yes…yes… Aku nggak maju”
“Aku mencintainya dengan teramat sangat. Cinta yang menurutku tak wajar kuberikan pada lawan jenis.”
“Huuuuuuuuuuuuuuuuuuu…..” spontan teriakan mahasiswa menghebohkan ruang pojok di gedung D4.
“Tolong didengarkan dahulu.” Bu Siti kembali menenangkan kelas. Dosen itu mulai paham, mahasiswi itu akan membuat deskrispi diri. Kelas Bahasa Indonesia rombel 38 ini memang berasal dari berbagai fakultas yang pasti memiliki perbedaan kebiasaan. FBS yang dari dandanan terlihat lebih wah, FIS yang agak sering telat (berdasarkan pengalaman), FIP yang tenang menghanyutkan, FIK yang sering ceplas – ceplos, FH yang diam karena menjadi kaum minoritas, FT yang terlihat sangar, dan FMIPA yang katanya terlihat serius dalam hal berbagai - bagai.
Rani meneruskan paragraf deskripsinya, kali ini tanpa membaca hasil tulisannya karena memang tulisannya dalam lima menit tadi terkesan kacau.
“Dia seorang pria yang tampan, berperawakan tinggi, pemilik senyum termanis, bijaksana, sholeh, penyayang, tidak gampang marah, dan yang teramat lembut untuk ukuran seorang pria. Jika kata dunia mata elang adalah mata yang paling tajam, tidak bagiku. Karena mata pria itu melebihi tajamnya. Rambutnya yang agak mengombak terlihat rapi tanpa diberi gell. Kulit telapak tangannya yang tak halus menandakan ia seorang pekerja keras yang memiliki cita – cita teramat tinggi. Bila aku ada di dekatnya, seakan dunia berpihak padaku. Rasa tenang dan nyaman yang ia suguhkan untukku membuat aku aman berada di sampingnya. Saat ia tak suka makan ikan, aku yang menghabiskan jatahnya. Saat aku tak boleh makan mie instan, ia yang susah payah menelannya. Kami saling melengkapi. Ia memang tak sempurna, tak istimewa, tapi tak biasa. Ia bukan ayahku, ia juga bukan temanku. Kalau kau bertanya,’Apakah ia pacarmu?’ lantang kujawab,’Bukan’. Ia juga bukan musuhku, ia bukan orang yang selalu memberikan bahunya untukku bersandar. Tapi, ia adalah orang yang mampu menarikku berdiri lagi ketika aku mulai terjatuh dan tertatih. Ia mengerti apa yang aku mau. Ia adalah seorang pria gagah yang sulit untuk didefinisikan terlebih lagi untuk dideskripsikan. Ia adalah Ardiansyah Eka Saputra; kakakku.
---
Akhir semester 2
Hari ini Rani pulang ke Kebumen. Bertemu ibu, Nindya, Salma, dan Bagas.
Ibu masih sibuk membuat pola baju pesanan Pak Camat yang akan diambil tiga hari lagi. Nidya yang sudah bercita – cita menjadi koki sejak kecil, tampak asik dengan pisau di tangannya. Ah, gadis itu sudah mulai beranjak remaja. Bila ada di dekatnya, kau akan mencium bau wangi dari minyak wangi yang selalu ia bilang… “Biar PeDe…”.
Salma sepertinya menuruni bakat menggambar ayah. Meskipun di bangku SD belum dikenalkan cara membuat gambar – gambar proyeksi, ia sudah mulai memenuhi buku gambarnya dengan goresan kasar bangunan rumah, gedung – gedung tinggi, jembatan, sekolah yang megah, dsb. Bagas sudah terlihat semakin besar, ia kini sedang senang memakai baju hijau – kuning plus topi yang ia dapatkan dari TK Aisyiah Bustanul Athfal 3, surga keduanya di bumi kali ini.
Rani senyum – senyum melihat perkembangan itu semua.
“Sayang, Mas Ardi tak bisa ikut kumpul di sini.” Lirih batin Rani.
“Bu, apa ndak ada libur untuk Mas Ardi, ya? Kan kasihan kalau disuruh kerja terus.”
“Sabar, Masmu itu kan lagi rekoso, lagi prihatin. Ya biar, nanti kalau waktunya pulang kan pasti pulang.” Ucap Ibu menenangkan.
“Tapi, Rani sampun kangen banget, Bu…”
“Kalau kangen, ya matur sama Allah. Biar Masmu cepet ada waktu libur, biar cepet pulang.”
---
Semester 6
Tugas perkuliahan semakin menumpuk. PPL harus segera dilaksanakan. Skripsi menunggu giliran untuk segera diawali. Tinggal membakar semangat sedikit lagi, semuanya akan terselesaikan dengan rapi. Tak ada kata untuk menyerah. Tak ada kata untuk berkata tidak bisa atau tidak mampu. Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlan waanta taj’alul hazna sahlan. Ya Allah tiada yang mudah kecuali yang Engkau mudahkan, hanya Engkaulah yang menjadikan sulit menjadi mudah.
Sejak duduk di bangku kuliah, sudah puluhan bulan ia habiskan malam – malam untuk memanjatkan do’a, untuk mengiba pada Yang Mahapunya. Mahapunya segalanya. Punya kekayaan untuk mengucurkan rizki yang tak henti – henti untuk ibu Rani. Punya kekuatan untuk mendobrak semangat anak – anak Pak Bambang – Bu Endang dalam menghadapi hidup. Punya kekuatan untuk sedikit saja menggetarkan hati Si Bos supaya memberikan waktu libur untuk Mas Ardi. Punya kekuatan untuk menyuplai energy yang pasti terkuras habis untuk merancang bangunan supaya berdiri kokoh. Punya kejernihan yang mampu menjernihkan mata Mas Ardi yang setiap hari menghadapi garis – garis pembentuk sketsa bangunan megah. Punya kelembutan yang mampu sedikit saja melembutkan tangan Mas Ardi yang mungkin saja ia gunakan untuk mengangkat batu bata ketika proyek harus segera dirampungkan sementara anak buahnya kekuarangan tenaga. Yang Mahpunya, pasti juga punya wewenang untuk mengabulkannya. Rani percaya itu.
---
Rani memandangi surat di tangannya. Siang tadi waktu di kampus, ada temannya yang memberi tahu bahwa ada surat untuknya di kantor jurusan. Awalnya ia bingung, surat dari siapa? Tahun 2012 masih zamannya surat – suratan?
Ketika dilihat nama pengirimnya, tertulis rapi di sana nama kakaknya; Mas Ardi.
Assalamu’alaikum ww.
Untuk Rani, adikku tersayang.
Ini Mas Ardi. Alhamdulillah cinta Allah tak pernah berhenti hingga Mas menulis surat ini. Selalu saja ada rizki dalam bentuk yang berbagai – bagai yang Rabb titipkan untuk Mas. Semoga, Rani pun demikian. Amiin.
Mungkin Rani bingung kenapa Mas kirim surat. Begini sayang, Mas baru mendapat proyek baru di sebuah pedalaman yang sangat terpencil. Di tempat itu insyaAllah akan dibangun sekolah untuk anak – anak usia SD dan SMP. Di daerah itu sama sekali belum ada signal. Itu sebabnya, Mas tidak bisa menghubungi Ibu, Nindya, Salma, Bagas, dan juga Rani via seluler. Tempatnya sangat terpencil, Ran. Jadi, Mas putuskan untuk mengirim surat.
Dua minggu lalu ketika Mas menelepon Rani, Rani bilang sedang menyusun skripsi? Itu tandanya, sebentar lagi Rani memakai toga dan menyandang gelar S1. Tahukah kau, Rani? Bahwa Mas begitu bangga padamu. Profesi guru adalah pekerjaan yang mulia, yang mampu mendidik generasi menjadi terdidik. Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan untukmu, amiin.
Oh ya, cincin yang Mas berikan untuk Rani, masih kan? Sekarang Mas tahu kenapa dulu Ayah memberikan cincin untuk Mas. Sesuatu yang menurut kita tidak wajar. Ayah memberi cincin itu karena cincin tak memiliki ujung; melingkar dan terus melingkar. Tak ada awal dan akhirnya. Cincin melambangkan ikatan yang mampu mengingatkan pada pemakainya bahwa yang memberi telah mengikatnya dengan kasih yang tak berujung. Begitu pun dengan kasih sayang Ayah yang beliau berikan untuk Mas, yang tak pernah berujung. Ketika Ayah memberikan cincin itu, pertanda bahwa Mas menjadi pengganti Ayah. Begitupun dengan Rani. Ketika Mas memberikan cincin itu, Rani menjadi pengganti Mas dalam menggapai cita – cita yang sempat terputus di bangku kuliah. Seperti cincin itu pula, kasih Mas untuk Rani tak pernah terputus.
Wassalamu’alaikum ww.
Masmu tercinta,
Ardiansyah Eka Saputra
---
11 Januari, 2014
Assalamu’alaikum ww.
Alhamdulillah karena cinta Allah, Rani, Ibu, dan adik – adik masih bisa berdiri tegar di bumi-Nya. Semoga Masku yang jauh di sana juga begitu adanya, semakin kuat dan semakin kuat. Rani percaya itu, Mas. Kalau tidak salah, ini surat ketujuh sejak Mas Ardi mengirim surat untuk pertama kalinya.
Sejak Rani diwisuda, Alhamdulillah Rani langsung bisa mengajar di SMA N 1 Gombong. Nindya tidak mau kuliah setelah lulus dari SMKK jurusan Tata Boga. Ia langsung buka chatering di rumah. Jahitan ibu semakin ramai, sebenarnya Rani tak tega jika ibu terus bekerja di masa sepuhnya. Tapi, ibu bersikeras. Salma sudah SMP. Kamarnya penuh dengan kertas gambar bangunan – bangunan megah. Bagus sekali, Mas…. Gambarnya seperti gambar Ayah dan Mas. InsyaAllah Salma akan menjadi arsitek seperti cita – cita Mas yang belum terwujud. Bagas sudah tumbuh menjadi lelaki kecil yang tampan, Mas. Seperti wajahmu. Beberapa kali ia naik ke atas panggung menerima hadiah lomba hafalan surat – surat pendek, adzan, dan qiro’ah di TPQ tempat ia mengaji.
Mas, maaf sebelumnya kalau Rani lancang. Bengini, satu minggu yang lalu ada teman SMP Rani yang datang ke rumah. Bertemu dengan Ibu. Katanya, mau melamar Rani. Kata Ibu, semua keputusan tergantung Rani. Tapi, Rani belum berani memutuskan sebelum Rani matur Mas. Sebagai wali Rani, Mas Ardi juga berhak untuk menentukan siapa jodoh Rani. Dia bernama Iqbal. Kata Bayu; teman dekatnya, iqbal ikhwan yang sholeh, lulusan ITB jurusan arsitektur. Oh ya, perawakannya mirip Mas Ardi. Itu salah satu alasan Ibu menerima baik kedatangan Iqbal, katanya mirip Mas.
Jawaban iya dan tidak akan Rani sampaikan setelah Rani mendapat surat balasan dari Mas. Rani tunggu kebijaksanaan Mas.
Wassalamu’alaikum ww.
---
Dua minggu kemudian…
Assalamu’alaikum ww.
Alhamdulillah Mas sehat. Semoga keluarga Kebumen juga begitu. Mas sudah menerima surat terkahirmu. Jawabannya akan Mas katakan ketika kita bertemu di rumah. Kita bicarakan bersama. Tunggu Masmu pulang, insyaAllah tanggal 3 Febuari ini. Sambut Masmu dengan senyum dan semangat yang senantiasa tersemat ya. Sungkem untuk Ibu dan salam untuk Adik – Adik.
Wassalamu’alaikum ww.
Masmu, dalam ingin pulang
Ardi
Semua penghuni rumah bernomor 17 di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen itu sontak berucap hamdallah…
“Alhamdulillah Masmu mau pulang, Nduk…” pelupuk keriput mata ibu tak mampu membendung lagi tangis bahagia.
“Ibu, hari ini kan tanggal 3 Febuari.” Bagas si kecil menunjuk angka di kalender yang terpasang rapi dengan sedikit hiasan gambar Salma.
---
19.31 WIB
Setelah sholat berjama’ah di mushola Darul Muqomah depan rumah, semuanya duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka lebar. Nindya asik menata kue yang langsung ia buat tadi sehabis membaca surat dari kakak yang sudah sangat ia nantikan kedatangannya. Salma sibuk mengumpulkan kertas – kertas gambarnya yang ingin ia tunjukkan pada kakak sulungnya. Bagas memandangi foto yang ibu berikan untuknya sejak kakaknya pergi merantau. Ibu selalu menceritakan sosok kakak yang belum ia kenal sebelumnya di usia yang teramat kecil saat itu. Ibu khusyuk dengan tasbih di tangan keriputnya. Sementara Rani tak henti – hentinya melihat keluar kalau – kalau tiba – tiba masnya muncul sambil merapikan baju hijau muda dan rok hijau agak tua serasi dengan kerudungnya.
Dari kejauhan tampak becak membawa seorang penumpang dengan beberapa tas besar.
“Mas Ardiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…………………” teriak Rani, Nindya, dan Salma. Sementara Bagas masih mencocokkan wajah yang ada di foto dengan wajah orang yang datang, sepertinya tampak berbeda.
“Assalamu’alaikum, Ibu….” Bibirnya mencium tangan wanita yang teramat ia rindukan selam bertahun – tahun.
Malam itu, tak banyak yang dibicarakan. Setelah menyantap kue buatan Nindya dan memandang sekilas gambar – gambar Salma, Ardi membersihkan diri lantas tertidur lelap. Ibu yang memintanya demikian.
Di dalam hati wanita berkepala lima itu, tersimpan tanda tanya besar. Jika anakku menjadi arsitek yang kerjanya menggambar, kenapa tangannya begitu kasar? Kulitnya hitam legam, badannya kurus, dan rambutnya tak serapi saat ia melepas kepergian anak sulungnya. Pekerjaan apa yang sebenarnya anaknya lakukan selama ini?
---
23.45 WIB
“Uhuk…uhuk…uhuk…”
Sejak kedatangannya, Ardi sudah berkali – kali batuk, ratusan atau bahkan mungkin ribuan kali.
---
4 Febuari 2010
“Masmu belum bangun – bangun, Nduk…. Coba dibangunkan. Disuruh subuhan dulu.”
“Nggeh, Bu…” Nindya pelan – pelan membuka pintu kamar Ardi yang memang tak dikunci.
“Mas, bangun, Mas…. Sudah pagi. Subuhan dulu. Nindya sudah masak nasi goreng telur untuk Mas Ardi, enak lho Mas. Mas, bangun, Mas…. Mas, Salma agak ngambek tuh gara – gara semalem gambarnya cuma dilihat sekilas. Habis makan nanti, kita membicarakan tentang lamaran Mbak Rani, ya Mas…. Kasihan Mbak Rani, sudah ingin segera mendengar jawaban dari Mas Ardi. Mas, katanya Bagas juga mau ngajak Mas main bola di lapangan dekat rumah Bu Harun. Ayo, bangun, Mas…. Banyak yang harus Mas lakukan hari ini.
Mas…Mas Ardi….”
Nindya mulai menyadari ada yang aneh. Masnya tak menanggapi apapun yang ia ceritakan. Matanya tak sedikit pun dibuka. Badannya tak sedikit pun bergerak.
“Ibu….Mbak Rani….Salma….Bagas…..”
---
Sekali lagi, ini adalah cita – cita tentang kenyataan dan kenyataan tentang cita – cita.
Satu lagi nisan tertanam di dalam tanah dengan 3 baris deretan kata
Ardiansyah Eka Saputra
Lahir : Kebumen, 31 Juli 1988
Wafat : Kebumen, 4 Febuari 2014
Barisan rombongan pengantar jenazah menjadi saksi kembalinya seorang lelaki muda yang bertanggung jawab pada keluarga.
“Cepat pulang, Nduk….” Ibu terlihat lebih tabah dibanding Rani.
---
Rumah nomor 17 Desa Sidoagung, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen
Di kamar ini, waktu aku masih berusia 7 tahun, Mas Ardi pernah mengajakku menuliskan cita – cita. Aku bingung mau menulis apa. Profesi yang baru aku tahu hanyalah penggambar (sebenarnya arsitek, tetapi yang aku lihat dari pekerjaan Ayah adalah menggambar terus), penjahit seperti Ibu, dokter yang rutin memberikan obat untuk Mas Ardi karena bronchitis itu, dan guru yang selalu mengajarkan aku menulis, membaca, menggambar, menyanyi, dsb. Aku tak ingin seperti Ayah yang kerjaanya hanya menggambar karena aku tak suka menggambar, aku tak ingin seperti Ibu yang sering tertusuk jarum jahit, aku juga tak ingin seperti dokter yang jahat karena selalu memaksa Mas Ardi minum obat pahit. Lalu, kuputuskan aku menuliskan cita – citaku sebagai seorang guru; satu – satunya profesi terakhir yang aku tahu. Lantas, aku dan Mas Ardi menempelkan kertas cita – cita di dinding kamar ini. Masih ada hingga kini. Tertulis kata “ARSITEK” pada kertas cita – cita Mas Ardi.
Mas Ardi bilang, “Kalau Rani sedang ingin pertolongan dan merasa sangat sedang membutuhkan Allah…buka Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 214. Dan kalau Rani ingin tahu betapa besarnya cinta Mas untuk Rani, Rani boleh membuka kotak di lemari Mas bagian bawah. Tapi, Rani hanya boleh membukanya saat Rani benar – benar ingin tahu tentang cinta Mas. Jangan dibuat mainan, ya….”
Mas, Rani ingat kata – kata itu.
Pelan – pelan ia membuka lemari pakaian milik kakaknya. Tercium minyak wangi Casablanca warna biru yang sangat ia hafal baunya.
Rani buka ya, Mas….
Mata merah Rani menatap sesuatu…
Sebuah design rumah.
Rani, ini untukmu. Mas buatkan ini setelah Mas menerima surat terkahirmu tentang lamaran teman SMPmu. Kelak, ketika Rani dan Iqbal ingin membuat rumah, pakai design dari Mas Ardi ya. Mas tahu, Iqbal jauh lebih pandai karena waktu belajarnya di bangku kuliah jauh lebih lama dibanding Masmu ini. Tapi, biarkan Mas merasakan menjadi arsitek sekali saja, arsitek khusus untuk Adik tersayangku. Karena, sebenarnya selama ini pekerjaan Mas di proyek – proyek bukan ‘penggambar’ seperti katamu waktu kecil, tapi… menjadi pekerja bangunan. Lha wong lulusan STM kok, masa mau jadi arsitek, ya mimpi itu namanya, hehe.
Debu bangunan sering nakal sama Mas, membuat bronchitis yang sempat sembuh menjadi kambuh lagi. Masmu berniat pulang karena paru – paru ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Mas perlu istirahat, sejenak.
Segeralah menikah, dengan arsitekmu; Iqbal.


Desti Anisa Zoraida
4101409006
Matematika-FMIPA

(cerpen peringkat ke-2 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431 H)