Rabu, 16 Juni 2010

SAJADAH BUAT SALWA

Tak ada waktu seindah pagi, termasuk pagi ini. Walau pagiku sedikit lebih sederhana. Tanpa ada semilir angin dingin, atau pemandangan elok fajar dari timur. Di sini hanya ada panorama khas perumahan kumuh di pinggiran kota. Suara kesibukan penghuninya adalah kicauan burung pagi bagiku. Jujur saja, pernah terlintas di benakku untuk merekam segalanya dari atap rumah ini. Menjadi saksi kisah-kisah hidup paling bermakna dari kehidupan kecil sebuah pemukiman. Sebuah tempat dimana keramaian justru muncul di pagi buta. Saat beberapa anak seharusnya bangun untuk menata buku sekolahnya. Tapi untuk anak-anak seperti kami, pagi hari adalah saat untuk mengepulkan asap dapur rumah, agar orang tua kami bisa berjualan makanan di pasar pagi.
“Hasnaaaaaaaa !!!”
Aku terbangun dari lamunanku. Sejenak aku mencoba mengira-ngira suara siapa yang memanggilku. Pelan-pelan aku membalikkan badan. Terlihat seorang anak menghampiriku dengan sedikit kesal. Wajahnya kucel pertanda baru bangun tidur.
“Mau sampai kapan di sini ??” tanya anak itu sambil mengucek matanya.
“Iya iya...lima menit lagi aku ke dapur .“
“Kamu pikir apinya bakal nyala terus lima menit lagi, bu’e bilang adonannya juga belum jadi. Kalau sampai telat dibawa ke pasar kamu mau tanggung jawab !!!”
“Ya udah dua menit lagi aku ke sana, kamu gantiin aku dulu bentar...please !!!”
“huh...terserah lah...lagian kenapa mesti dua menit lagi sih ?? Emang bakal ada artis lewat dua menit lagi ?? ”
“Bukan artis Nilam...mungkin matahari bakal terbit dua menit lagi, insya Allah.”
“Sok tau !!!” jawabnya ketus.
Dengan kesal anak itu membalikkan badan untuk meninggalkanku. Aku memandangnya dari belakang sambil tersenyum. Anak itu adalah Nilam, sepupuku. Semenjak ibuku menjadi TKI di Malaysia, aku tinggal bersama budhe di tempat ini. Setiap pagi aku dan Nilam membantu budhe membuat bubur dan gorengan untuk dijual di Pasar pagi. Budhe menyayangiku seperti ia menyayangi Nilam.
Nilam seusia denganku. Kami murid kelas 7 di MTs N 3 Randu. Aku dan Nilam sangat berbeda. Nilam lebih terbuka untuk menyampaikan perasaannya. Tak ayal aku sering mengalah oleh sikapnya yang terkadang kekanak-kanakan. Satu hal yang manyamakan kami adalah kami sama-sama tidak memiliki ayah.

“Ayaaah...dengarkanlah...akuuu...ingin bernyanyi...”
Aku terhentak oleh suara itu...aku mencoba mendekatkan telingaku berharap bisa lebih jelas mendengarnya.
“Walau...air mata...di pipikuuuu...”
Aku mengenal lagu itu. Itu adalah lagu Broery Marantika yang diaransement ulang oleh Peterpan. Lagu itu cukup favorit di kalangan anak-anak yatim. Aku mencoba mencari-cari sumber nyanyian itu. Salah satu alasan kenapa aku menyukai atap rumah ini adalah karena aku bisa melihat tetangga-tetanggaku dari atas sini. Lebih lebih, banyak tetanggaku yang tidak tahu aku mencermati mereka setiap hari. Aku melanjutkan pencarianku. Aku cermati tiap sudut perumahan sempit ini. Terlihat dari teras sebuah rumah bambu, seorang anak sedang menata beberapa besek sambil bernyanyi. Besek adalah anyaman kecil dari bambu tempat menaruh makanan. Biasanya orang membuat besek untuk dijual kepada warga yang akan mengadakan hajatan.
Aku memandang anak perempuan berambut panjang itu dengan seksama. Aku tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Suara nyanyiannya begitu merdu. Suara yang lirih penuh dengan rasa rindu. Matanya terlihat sendu seperti telah lama memendam kesedihan.
Anak itu menghentikan nyanyiannya, kemudian menoleh kepadaku. Aku bisa melihat anak itu menatapku dengan kosong. Aku mencoba mengalihkan pandanganku. Kenapa anak itu menatapku seperti itu ?? Aku penasaran lalu memandangnya lagi. Tiba-tiba anak itu menjulurkan lidahnya kepadaku, seperti yang dilakukan anak TK ketika saling mengejek dengan temannya. Aku tertegun melihatnya. Tak lama kemudian ia tersenyum kepadaku bersamaan dengan sinar matahari yang mulai menerangi rumahnya. Dia sangat cantik di bawah sinar matahari. Matanya berbinar memancarkan kekaguman pada keindahan surya.
“Hasna...udah dua menit.” terdengar suara Nilam memanggilku dari bawah.
“Iya iya...aku turun sekarang.”
Aku membalikkan badanku dan berlari ke tangga untuk turun. Sejenak aku menghentikan langkah untuk melihat anak itu lagi. Dia masuk ke dalam rumah kakek Salim, tetanggaku. Anak itu benar-benar membuatku penasaran. Aku mencoba tidak memikirkannya dan melanjutkan langkahku.
-=oOo=-
Di sekolah, anak-anak dari kampung yang sama denganku sedang ribut membicarakan seseorang.
“Katanya dia dari kampung sebrang. ” kata salah seorang anak.
Anak yang lain tiba-tiba menjawab dengan geram,” Aku gak peduli, mau dari sebrang atau dari kutub, Kalau dia gak tanggung jawab, kita kerjain habis-habisan.”
“Setuju Jo, gak tau apa kalo kamu anaknya pak RT.” anak lain menambahi tak kalah menggebunya.
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sekilas yang bisa aku tangkap adalah Si Joko anak gendut yang sok jago itu sedang geram pada seseorang. Joko Sastro Pramono. Dia anak pak RT, orang paling kaya di kampung kami. Dia adalah ketua geng “Naughty” di sekolah, sekaligus pemilik predikat anak paling rajin ke mushola kami. Walaupun terkadang dia ke mushola hanya untuk nongkrong. Aku melihat Nilam yang sedang asyik duduk di bangku sebelahku. Dia seolah tidak peduli dengan keramaian geng “Naughty”. Aku mencoba berbincang dengannya.
“Nilam, Joko sama gengnya ngomongin siapa sih ??” tanyaku.
“Ooh...penghuni baru itu ??” jawabnya tenang.
Aku mencoba menebak siapa yang dimaksud Nilam. Apakah anak yang aku lihat tadi pagi?? Nilam membenarkan posisinya agar bisa leluasa bercerita kepadaku.
“Namanya Salwa. Dia cucu kakek Salim, tetangga kita. Kemarin Bilal crita sama aku. Kamu gak bakal nyangka apa yang Salwa lakuin ke Joko tadi malem.” jelasnya.
“Emang dia nglakuin apa ke Joko ??” tanyaku dengan penuh penasaran.
Awal cerita...
Malam itu, ba’da sholat isya di sebuah taman dekat mushola, seperti biasa Joko dan gengnya sedang asyik bercengkerama. Mereka mencermati tiap orang yang keluar dari mushola. Tak lama kemudian, seorang gadis dengan mukena di tangannya berjalan keluar mushola sambil tersenyum ramah pada tiap orang yang lewat. Gadis itu adalah Salwa.
“Jo, Joko...mangsa baru.” kata si cungkring Parmin , sambil mengkerlingkan matanya ke arah Salwa.
Joko membenarkan jaket dan pecinya. Dia menghampiri Salwa dengan gaya yang sok penguasa. Salwa yang saat itu sendirian bingung oleh tingkah anak-anak itu. Dia mencoba melanjutkan langkahnya, tetapi kembali dihadang oleh Joko.
“Setiap penghuni baru yang mau aman tinggal di sini, harus ngasih uang keamanan berupa satu benda paling berharga yang dia miliki. Sayangnya, kita belum nerima apapun tuh dari kamu.” terang Joko.
Salwa menarik nafas sejenak, kemudian menjawab, “Kakek aku pembuat besek. Bagi aku barang paling berharga dari kami ya besek. Tenang aja, besok aku buatin sepuluh, gratis buat kalian.”
“Hah...?? Ngomong apa barusan ?? besek ??”
Seketika Joko beserta teman-temannya Parmin dan Bilal tertawa terbahak-bahak. Joko meletakkan sajadahnya di punggung, kemudian dengan lantang ia bertanya pada dua sahabatnya.
“Cungkring...!!!”
“Ya bos...” jawab Parmin si cungkring.
“Kamu ngasih apa waktu pertama datang ke sini ??”
“Kalkulator bos, merek ‘Makmur’, limited edition...??” jawab Parmin bangga.
“Kalau kamu Bilal ??”
Bilal maju satu langkah...kemudian menjawab,”Cincin turun temurun bos, nenek buyut poenya, hasil bertapa di gua rong.”
Joko tersenyum nyengir, kemudian mendekati Salwa. Dia memandangnya dengan sangar. “Kalau kamu gadis besek, mana barang berhargamu selain...”
“Beseeeek...” lanjut Parmin dan Bilal dengan tawa yang mengejek.
“Sebenarnya aku punya, saking berharganya sampai-sampai selalu aku bawa.”
Jawaban Salwa menghentikan tawa mereka. Joko memasang muka serius. Dari gerak geriknya, sangat tersirat kalau dia mulai penasaran. Sementara Salwa mulai mengeluarkan sesuatu dari kantong roknya.
“Minyak wangi asli dari Arab Saudi. Dijamin kamu gak akan bisa lupain sensasi baunya.”
Joko dan kawan-kawan melihat benda itu lalu dengan cepet merebutnya dari tangan Salwa. Mereka membolak-balik botol minyak wangi yang sebenarnya lebih mirip botol minyak telon itu. Kemudian Joko mencium bau minyak wangi itu.
“Baunya aneh.” kata Joko.
“Kalau belum dicoba ya aneh.” jawab Salwa tenang.
Joko menuang minyak itu ke tangannya, lalu ke bajunya. Kemudian ia mengendus-endus badannya diikuti pula oleh Parmin dan Bilal. Salwa terlihat mengambil ancang-ancang untuk kabur. Joko dan kawan-kawan merasa mengenal dengan baik bau itu.
“Udah selesai kan, aku mau pergi.” ujar Salwa sambil melangkah pergi.
“Tunggu !!!”
Baru tiga langkah ia meninggalkan geng “Naughty”, panggilan Joko menghentikan langkahnya.
“Ini lebih mirip bau minyak telon. Kamu mau bohongin kita ??” kata Joko dengan nada tinggi.
“Mengharap pemberian orang lain saja tidak boleh, apalagi memaksa orang memberikan barang kesayangannya.” kata Salwa tak kalah berani.
“Kamu berani sama aku ??”
“Sama kuntilanak aja aku berani, apalagi sama preman narsis kaya kalian. Lagipula itu bukan minyak telon lagi, itu minyak jelantah, sisa hajatan dari RT sebelah.”
“Hah...” teriak Joko.
Salwa merebut minyak itu dari tangan Joko. Mereka saling berebutan dan tak disangka....minyak itu tumpah ke sajadah Joko. Sajadah dan baju Joko berubah warna menjadi coklat kotor diiringi aroma minyak jelantah yang tidak mengenakkan.
“Oh nooo...OH MY GOD !!!” teriak Joko.
“Astaghfirullah...afwan boy.” balas Salwa sambil lari meninggalkan mushola.
“Hey...Salwa...!!!”
Muka Joko memerah penuh amarah. Kemudian ia memandang teman-temannya.
“Kenapa kalian gak bantuin aku ??”
“Sumpah bos, bau banget.” kata Parmin sembari menutup hidungnya. Parmin dan Bilalpun pelan-pelan mundur menjauhi Joko.
“Mending, mandi dulu aja bos...” kata Bilal agak gemetar.
Joko memandang Salwa yang sudah jauh meninggalkan mushola. Dia masih tidak percaya dia dikerjai oleh anak perempuan.
-=oOo=-
Malam ini begitu sunyi. Aku kembali teringat oleh cerita Nilam tentang Salwa di sekolah tadi. Selama ini tidak pernah ada yang berani mengerjai Joko, apalagi seorang anak perempuan. Aku menoleh kepada Nilam yang telah terlelap di sampingku. Aku tidak bisa memungkiri kalau pikiran tentang Salwa masih terbayang di benakku. Cara dia bernyanyi, cara dia menatapku, semua begitu berbeda. Aku mencoba memejamkan mataku.
Krek...krek...
Aku mendengar suara. Pelan-pelan aku membuka mataku. Aku bangun dari tempat tidur dan berniat mencari asal suara itu. Sepertinya suara itu berasal dari luar rumah. Aku memutuskan pergi ke atap jemuran tempat favoritku. Mungkin dari sana bisa terlihat apa yang terjadi. Aku memberanikan diri meneruskan langkahku. Aku tidak mengerti apa yang aku lakukan. Biasanya aku tidak seberani ini keluar tengah malam.
Akupun sampai di atap, aku melihat seseorang sedang memunguti kayu. Dalam keremangan aku melihat seorang anak perempuan. Tak salah lagi, itu adalah Salwa. Apa yang dia lakukan malam-malam begini ??
“Assalamualaikum…”
Aku kaget mendengar sapaan Salwa. Kenapa dia selalu menemukanku saat aku sedang diam-diam memperhatikannya ??
“Wa…walaikumsalam…” jawabku sedikit gagap.
Salwa meneruskan pekerjaannya. Aku penasaran sekali apa yang mau dia lakukan.
“Umm…Salwa…aku gak bisa tidur, boleh aku ke rumah kamu ??”
Salwa tersenyum padaku. Akupun turun untuk pergi ke rumahnya. Sesampainya di sana Salwa langsung menggiringku ke dapurnya. Aku melihat asap yang keluar dari tungku dapur. Di dalamnya terlihat beberapa ubi sedang dibakar. Di atas tungku itu pula tergantung sebuah sajadah berwarna hijau.
“Ayo duduk…hangat banget di sini.” ujar Salwa.
“Makasih…Eh…kek Salim mana, kok aku gak lihat ??”
“Kakek lagi tidur. Tadi dapat pesenan banyak, jadi nglembur deh. Sekarang malah loyo di kamar.” jawab Salwa.
Untuk pertama kalinya aku dan Salwa mengobrol. Kami bukanlah orang yang saling kenal, bahkan Salwa baru dua hari di kampung kami. Tapi aku sangat nyaman di dekatnya, senyumannya selalu membuat orang tenang. Aku memandang sajadah yang sedang ia keringkan. Sajadah itu sangat lusuh, mungkin sudah dipakai Salwa sejak kecil.
“Kenapa bisa basah ?? kalau kamu mau, aku bisa pinjemin sajadah aku dulu.”
“Sajadah ini dari ummi, hadiah waktu usia aku 7 tahun. Kata ummi, lagi ada obral di pasar. Tapi mungkin malam ini sholat tahajud terakhir aku sama sajadah ini.”
“Kenapa ??”
Salwa mengambil beberapa ubi yang telah matang dan memberikan satu untukku. Kemudian ia mengambil sajadah itu, lalu menggelarnya. Sajadah itu telah robek sampai sudah tak berbentuk lagi. Kemudian ia meletakkannya di samping setrika arang.
“Ummi bilang, yang penting dalam sholat itu bersih badan, pakaian sama tempat. Rumah kami terlalu kecil buat punya tempat sholat. Jadi harus selalu pakai sajadah.”
Salwa memandang sajadah itu dengan seksama. Walau dia sedikit menutupi, tapi aku tau matanya sedikit berair. Aku menelan ubi bakar sambil terus memandangnya.
“Enak banget...aku gak tau ubi bakar bisa semanis ini.” kataku sedikit mencari perhatian.
Salwa tersenyum padaku sembari mengeringkan sajadah rusak itu dengan hati-hati.
-=oOo=-
Pagi ini seperti biasa aku dan Nilam berangkat bersama ke sekolah. Baru beberapa meter dari rumah, tiba-tiba Nilam menghentikan langkahku.
“Kenapa ??” tanyaku.
“Ssssttt...pelan-pelan...biarin mereka agak jauh dari kita” bisik Nilam sambil menunjuk segerombolan anak yang tengah berjalan di depan kami. Mereka adalah geng “Naughty”.
Aku dan Nilam mengikuti langkah mereka dari belakang. Samar-samar aku mendengar mereka sedang bercengkerama.
“Aku yakin gadis besek itu gak akan berani lagi ke mushola.” kata Joko.
“Mana mungkin berani bos, emang dia mau bajunya di sobek-sobek kaya sajadahnya.” tambah temannya, Parmin.
Aku tidak percaya apa yang aku dengar. Jadi mereka yang merusak sajadah Salwa. Aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Aku menghampiri mereka dengan geram. Aku menghentikan langkah mereka.
“Kenapa harus Salwa ? Kenapa harus sajadahnya ? Kamu tau ada yang gak bisa sholat tahajud gara-gara sajadahnya kamu rusak. Salwa gak sengaja numpahin minyak ke sajadah kamu. Kamu punya sajadah satu lusin, tapi Salwa enggak !!!”
Sepertinya keberanian Salwa telah merasukiku. Aku tidak mau memikirkan akhirnya, aku bahkan berusaha untuk tidak pernah terlibat dengan geng “Naughty”. Tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa terima.
“Kamu ngomong apa sih ? aku heran, kenapa akhir-akhir ini banyak banget cewek-cewek yang berani nentang kita. Aku emang yang ngerusak sajadahnya, tapi apa urusan kamu ??” balas Joko. Aku mendorong Joko dan teman-temannya sampai mereka jatuh tindih-tindihan di tanah. Aku tidak mengerti kekuatan apa yang merasukiku. Aku tidak memperdulikan apapun dan bergegas ke rumah kek Salim untuk menemui Salwa.
“Hasna, mau ke mana...kita harus berangkat sekolah ??” seru Nilam menghentikan langkahku.
Aku memandang Nilam sejenak kemudian tanpa mengatakan apapun aku melanjutkan langkahku. Aku yakin Nilam akan mengerti apa yang aku lakukan. Tak lama kemudian aku sampai di rumah kek Salim. Aku melihat kek Salim sedang menganyam sebuah besek. Aku melihat-lihat ke ruangan lain untuk mencari Salwa, tetapi aku tetap tidak bisa menemukannya.
“Assalamu’alaikum kek, Salwanya ada ??”
Kakek Salim memandangiku sembari membenarkan kacamata tuanya.
“Walaikumsalam...Salwa sudah balik kampung. Ke Jaten, rumah orang tuanya.”
Aku tertunduk lesu. Kenapa Salwa tidak pamit padaku. Apa dia sudah tidak tahan menghadapi geng “Naughty”. Tapi setidaknya dia pamit dulu padaku.
“Belum jauh kok nduk, paling baru sampai jembatan dekat rumah pak Samin.”
Aku terhentak sembari menegakkan kepalaku. Aku segera lari mengejar Salwa. Aku terus berlari dengan masih memakai seragam sekolahku. Aku tiba di ujung jembatan. Aku melihat Salwa berjalan pelan di atas jembatan.
“Salwaaaaaaa...”
Teriakanku menghentikan langkah Salwa. Salwa berbalik ke belakang. Dia memandangku dengan heran. Akupun segera menghampirinya.
“Aku pikir kita teman. Kenapa kamu gak pamit kalau mau pergi.” tanyaku.
Salwa tersenyum kemudian menjawabku. ”Aku cuma bingung, harus ngucapin selamat jalan atau salam kenal, kita bahkan baru ketemu dua kali...aneh aja baru kenal udah mau bilang selamat tinggal.”
“Kamu pergi karena geng gak mutu itu ??” tanyaku.
“Bukan...emang udah waktunya. Aku cuma jenguk kakek, bukan mau tinggal di sana.”
“Aku tau Joko yang ngerusak sajadah kamu...”
“Mungkin aku memang harus ke mushola terus, di sana gak harus pakai sajadah, kan ??” kata Salwa.
“Aku gak tau sajadah bisa sepenting itu...aku pasti beliin kamu dengan uang aku sendiri...”
Salwa tertawa oleh perkataanku. Dia memandangku dengan pandangan yang seperti biasanya. Pandangan yang tidak pernah aku mengerti. Matanya selalu penuh dengan rahasia. Andai aku sedikit lebih tahu isi hatinya, walau mungkin sulit sekali membacanya.
“Terkadang suatu benda bisa memiliki arti lebih dibanding dengan benda lainnya. Aku yang bodoh karena menganggap satu-satunya kenangan dari ummi adalah sajadah itu. Aku yang salah karena menganggap pergi ke rumah kakek bisa sedikit melupakan kenangan tentang ummi dan abi di rumahku. Tapi aku sadar, aku gak boleh lari lagi.”
Salwa menangis tersedu di depanku. Dia seorang yatim piatu, itu yang bisa kutangkap dari perkataannya. Aku terpaku melihat air mata yang mulai membanjiri pipinya.
“Hasna, jangan pernah sekalipun mengecewakan orang tua kamu, kita gak pernah tau apa besok mereka masih menemani kita. Atau selamanya kita akan menyesal tidak pernah membuat mereka bahagia bahkan di saat terakhirnya. Lalu pada akhirnya, kita hanya bisa memandang fotonya sambil berharap ada tambahan hari untuk mengulang waktu bersama mereka.”
“Salwa...”
“Aku pasti ke sini lagi, insya Allah.” ujar Salwa.
Aku melihat ketegaran dalam matanya. Seorang gadis 13 tahun yang mungkin sangat merindukan orang tuanya. Aku hanya merasa betapa beruntungnya aku masih memiliki ibu. Aku benar-benar tidak ingin dia merasa kesepian.
“Kenapa masih di sini ?? Aku kira kamu mau ke sekolah.” ujar Salwa.
“Aku akan tunggu kamu. Kita bisa buat geng juga kaya mereka. Aku, kamu, sama Nilam.”
“Boleh juga.” jawab Salwa sambil tersenyum simpul.
Salwa melambaikan tangannya padaku. Perlahan dia mulai meninggalkanku. Aku melihatnya berjalan dengan penuh semangat, penuh ketegaran. Aku membatin dalam hati...”Hari-hari ketika aku mengenalmu, adalah hari-hari paling bermakna yang pernah aku miliki...Aku akan menunggumu sahabat...”
-=oOo=-
6 bulan kemudian...
“Geser Has...”
Aku melihat Nilam yang sedang kesulitan mengatur posisinya. Aku menengok ke belakang. Semua orang sedang membenarkan shaf mereka masing-masing. Tak biasanya mushola kami begitu ramai. Teras musholapun penuh oleh jamaah yang saling berdesak-desakan. Tiga menit lagi khomat, mungkin lebih baik aku sholat rawatib dulu.
Aku membenarkan mukenaku dan bersiap untuk sholat. Tapi sepertinya ada yang aneh. Astaghfirullah, sajadahku ketinggalan di rumah. Aku lupa kemarin baru di jemur. Aku menengok pada Nilam di sebelahku berharap dia bisa menolongku. Tapi...tiba-tiba ada seseorang yang menggelar sajadahnya untuk berbagi denganku...Aku melihatnya pelan-pelan...Aku terpaku melihatnya...
“SALWA...!!!” kataku sambil melotot tak percaya.
“Aku mau nagih hutang...katanya ada yang mau beliin sajadah buat aku...??” ujarnya.
Mulutku terpaku sampai tak bisa berkata apa-apa...aku tersenyum sambil berfikir berapa uang yang sudah ku tabung untuk bisa membeli sajadah buat Salwa...
-=oOo=-


Devy Septiana Irawati
4101409131
Matematika-FMIPA


(cerpen peringkat ke-4 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)