Senin, 14 Juni 2010

BENGKEL HATI

Semburat jingga di ufuk barat kian mengabur. Serasa cepat sekali hari ini kulewati dengan jutaan rasa yang tak dapat kulukiskan walau hanya dengan segores sapuan kuas. Hanya dapat kulantunkan jutaan syukur yang menyelimuti seluruh jiwa ini yang bisa kulantunkan mengiring kumandang adzan yang tengah memenuhi seantero kota Pasir Putih pantai selatan ini.
Kubuka lembar demi lembar sebuah mushaf bersampul biru yang kugenggam sejak sore tadi. Huruf demi huruf yang indah membentuk rangkaian makna mengikat hatiku semakin menguatkan azamku. Inilah keputusan yang Allah kuatkan untuk hatiku. Inilah yang terbaik untukku.
Tok…tok…tok…
“Mba Aya, Mba Fidya udah nunggu di depan,” suara halus yang terlontar dari si ayu Ziya, semakin menggetarkan hatiku. Sekali lagi aku memejamkan kedua mataku. Kuazamkan sekali lagi dalam hati. Aku ingin saat kubuka kedua mataku, Emak dan Abah yang nun jauh di sana juga tengah menantiku di serambi depan, menyambutku dengan jutaan kebahagiaan. Tak ayalnya sebuah keluarga yang penuh kebahagiaan. Kulangkahkan kedua kakiku dengan tergesa, pikiranku kini melayang, bahkan sudah sampai ke tempat yang hendak kutuju. “Siapa gerangan yang akan duduk di persinggahan sana Ya Rabb?” desahku dalam hati.
Dengan sigap kuraih sebuah tas kecil, kubuka dan kutata dengan cepat, mushaf, mukena, buku, ehm…sepertinya sudah lengkap. Tanpa pikir panjang aku segera meraih gagang pintu kamar, aku berlari kecil menuju teras depan.
Dan… Ouch…. Bruk….
Tubuhku hampir terpelanting membentur tembok.
“Aduuuhh….ini kabel patingsliwer begini sih? Dirapiin sih!!!” teriakku kesal dengan nada banyumasan yang kental.
Ziya sempat keluar dari kamar dengan tergesa, menghampiriku dan dengan sigap merapikan kabel-kabel yang semrawut itu. Maklumlah kos-kosan, isi 8 kamar, stop kontak cuma ada 1 di ruang tengah, jadi setiap kamar harus punya rol kabel sendiri-sendiri. Sayangnya memang kurang diatur, jadi kadang membuat kesal orang juga. Padahal, sudah diperingatkan berkali-kali kalau setiap kabel itu harus ditata dengan rapi agar tak mengganggu lalu lalang dan tak merusak pemandangan. Tapi agaknya peringatan itu seolah hanya angin lalu saja.

Tanpa menghiraukan Ziya yang sibuk dengan sekian banyak gulungan kabel di tangannya, aku bergegas menghampiri Mba Fidya di teras depan.
“Afwan Mba Fid, udah nunggu lama nggeh?”
“Gak kok. Aya udah siap terima apapun dan siapapun itu?”
“Insya Allah Mba…Aya tsiqoh aza ma Mba Fidya dan Mas Pram…,”
Semburat petang yang kian mengabur itu, kini menjadi panorama indah yang menghiasi tak hanya langit di atas kepalaku, namun langit penaung hati dan pikiran ini yang semakin tak terkendalikan juga ikut mengabur. Entah apa yang kurasakan saat ini, mungkin inilah jalan yang harus aku tempuh…
***
“Cieh..cieh….beli buku apaan Non Ziya? Buku pembelajaran lagi? Bukannya skripsi Mba Zi udah selesai? Kenapa masih butuh buku referensi juga?” kata Anis yang langsung disambut dengan injakan kaki Elly, “Awww!”
“Kenapa sih Mba El? Kenapa pake acara nginjak kakiku segala sih?” Anis manyun melihat ekspresi Elly yang melotot dan siap menerkamnya dengan jutaan omelan. Meski terhalang beberapa jajar rak buku, raut Ziya yang datar tak luput dari pandanganku.. Aneh…ada apa dengan Ziya yang akhir-akhir ini lebih sering kelihatan murung dan menyendiri? Dia tak lagi main ke kamarku dengan ribuan ceritanya tentang bimbingan skirpsinya, dosen pembimbingnya yang killer dan perfectionis.
“Di jalan dakwah aku menikah…Cieh…cieh…Mba Aya malah beli buku-buku kajian nih? Buat ngobatin hati ya Mba? He..he…Wuih…keren nih Mba, cocok..,”
Eeerrrggghhh…Elly semakin geregetan. Kayaknya bibir tipis makhluk yang satu ini harus bener-bener dikursusin secara ekstra deh. Aku mendesah pelan, dengan ribuan perasaan yang seolah kembali membuncah menusuki relung-relung hati yang lukanyapun bahkan masih terasa basah.
Elly kembali melotot, dia semakin geram dengan kebiasaan teman sekamarnya itu. ‘Uupps….,’ Anis menempelkan telunjuknya menutupi bibir tipisnya yang sejak tadi meliuk-liukkan kalimat ledekan. Sepertinya Anis mulai mengerti apa yang diisyaratkan Elly.
“Afwan Mba, gak bermaksud bikin Mba Aya sedih lagi gara-gara gagal nikah itu. Eh tapi sebenarnya yang menggagalkan pernikahan itu Mba Aya atau Mas Dika sih?”
“Ergh…Aniiiiiss…,” Elly sontak meraih buku tebal yang ada di depannya, dan berusaha mengejar Anis yang tengah sedikit berlari kecil menghindari amukan Elly yang siap mendarat di balutan jilbab ungunya…siaga 3P nih…Pegang, Paksa, Pukul…itu jurus andalan Elly mengendalikan Anis yang punya kebiasaan nyeplos itu.
Aku hanya tersenyum pasi mengingat kejadian sore itu… Sore dimana aku tengah siap menerima lamaran dari seorang yang menjadi dambaan (mungkin setiap muslimah). Sosok seorang pemimpin yang selalu take action di setiap langkahnya, selalu tanggung jawab dengan amanahnya, tak pernah melewatkan agenda tarbiyahnya. Andika Prasetya. Aku bahkan tak menyangka jika Mba Fidya dan Mas Pram menjodohkanku dengan pemuda luar biasa itu… Tapi… Sore itu, teriknya sang raja siang benar-benar tak hanya memanaskan seluruh kota Pantai Selatan, tapi juga membakar seluruh harapan yang telah kutancapkan kuat dalam hatiku. Tak ayalnya, aku bagaikan disambar petir di tengah panasnya gurun.
“Afwan Mba Fidya dan Mas Pram, saya gak bisa melanjutkan perjodohan ini,”
“Kenapa bisa gitu Dik? Mba udah menangkap sinyal kuat dari kalian berdua, kalau kalian itu cocok, iya kan Bi?” Mba Fidya menatap wajah suaminya, kecewa.
“Iya Dik, coba kamu pikirkan lagi perkataanmu itu, toh dari awal orang tuamu juga sudah tsiqoh dengan pilihanmu kan?”
“Ada beberapa hal yang membuat saya gak bisa menerima Mba Aya, Mas… Terutama alasan keluarga yang kurang setuju setelah menimbang bibit-bebet-bobotnya,” sarjana muda itu tertunduk.
“Lha kok tiba-tiba memutuskan gitu kenapa? Dari kemarin-kemarin, sejak ta’aruf pertama toh semua baik-baik saja kan?” Mas Pram semakin tak percaya.
“Iya Mas, awalnya saya yakin, tapi saya gak bisa menikah tanpa ridho orang tua Mas…Afwan...,”
“Bibit-bebet-bobot apa yang diragukan dari seorang Aya Dik?” Mba Fidya menekan suaranya yang sedikit serak.
Percakapan itu masih terngiang jelas di telingaku. Tanpa sadar titik-titik air hangat sudah menetes dari sudut-sudut mataku. Setetes air bening itu membasahi buku yang tengah kupegang erat. “Di jalan dakwah aku menikah,” judul itu benar-benar menjadi impian yang seolah jauh dari gapaianku saat ini. Kuusap perlahan pipiku yang basah karena aku tahu Anis dan Elly sedang memperhatikanku dari balik tumpukan buku di pojokan, bahkan Ziya yang sedang bersikap dinginpun diam-diam mencuri pandang ke arahku. Aku tak ingin membuat semuanya merasa sedih seperti apa yang aku rasakan saat ini.
Kuraih beberapa buku kajian tokoh-tokoh ulama tentang bagaimana mengobati hati. Mungkin itulah yang sedang aku butuhkan saat ini. Kugerakkan langkahku menuju kasir, melewati beberapa pandangan tajam orang-orang yang juga tengah menyatroni buku-buku yang ada di rak bertuliskan agama, pendidikan, teknologi, dan akhirnya langkahku terhenti di tengah antrian panjang para pembeli.
Aku kembali tertunduk, terisak.
***
“Mba Aya mau kemana?”
“Mau ikut kajian. Lha Anis gak berangkat kajiannya Ustadz Aneif?”
“Ehm…he…he….aku masih ngantuk nih, semalam ngerjain banyak tugas Mba, kapan-kapan aza ya?”
“Ilmu itu gak bisa pake kompromi kapan-kapan Nis, lagian ba’da subuh gini gak baik kalo kamu tidur lagi, tar rezekinya dipatuk ayam lhow…..,” tukas Elly.
“Ya kan malah untung, aku jadi bersedekah buat ayam karena aku kan gak punya ayam jadi gak pernah sedekah buat ayam, nah itu kan malah juga jadi ladang amal toh? He..he…,” elak Anis innocent.
Iiiihh….Elly melotot sewot. Jilbab yang membalut indah membuat wajah Elly semakin terlihat menggelembung. Apa sih yang ada di pikiran Anis? Selalu saja diwarnai jawaban ngocol yang akhirnya bikin Elly geram.
Anis celingukan. Dia mencari-cari sosok yang bisa membantunya mencari alasan. Nah…. “Mba Ziya dari tadi subuh gak keluar-keluar lagi kan noh…pasti dia lagi tidur tuh, kamarnya aza gelap. Kenapa gak ngajak Mba Ziya aza tuh biar gak cemberut mulu, dari kemarin kan mukanya asem banget, minta didoain aza tuh sama Ustadz Aneif, biar sembuh seperti sedia kala,”
“Huuss, kalo ngomong jangan asal ncemlong aza deh, makanya ikut kajian biar bisa dijaga tuh mulut, pokoknya Anis WAJIB ikut. Titik,” paksa Elly.
Anis cuma bisa manyun melihat raut angker wajah Mba sekamarnya itu.
Singkatnya, Anis memang ikut kajian. Kebetulan tempatnya tak jauh dari kos-kosan, hanya butuh waktu 10 menit mencapai masjid dengan jalan kaki. Temen-temen sekos juga diajak semua. Walaupun tadinya menolak dengan berbagai jurus, tapi itu memang trik-triknya adik-adik aza biar bisa bolos berangkat kajian. Dan itu adalah trik yang sudah basi bagi Elly, gampang terbaca. Karena memang itu kan jurus turunan dari Anis. Gampang ditebak, gampang dipaksa.
Ternyata di masjid sudah penuh sesak. Alhamdulillahnya masih bisa duduk walaupun di barisan nomor 2 dari belakang.
Kajian berlangsung dengan khidmat. Elly selalu memperhatikan gerak-gerik Anis dan sepertinya Anis juga terlihat konsentrasi hingga akhir.
“Penyakit hati itu banyak macamnya saudara-saudariku. Dendam, iri, dengki, itu semua adalah penyakit hati yang menodai hati-hati kita, yang menutupi kita dari kepekaan terhadap kebaikan. Saudara-saudariku sekalian…seorang sahabat pernah menyampaikan sebuah kalimat indah…’Jika kau tak memahami apa yang kuucapkan, sedang kau mencaciku. Namun aku tahu, kau tak tahu apa yang kau ucapkan, maka kumaafkan’…Mari saudara-saudariku kita berusaha berbenah diri, terapi mengurangi penyakit hati dengan keikhlasan, berusaha memaafkan kesalahan saudaranya, pererat ukhuwah, dan tetap positif thinking,”
“Ampunkanlah aku, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Sang Maha Pengampun dosa, berikanlah aku kesempatan waktu, aku ingin kembali…kembali…dan meski tak layak sujud pada-Mu, dan sungguh tak layak aku…,”
Lantunan syair lagu taubatnya Opick mengiring usainya kajian yang disampaikan Ustadz Aneif. Doa robithoh menjadi penutup kajian pagi itu, doa yang memiliki kekuatan mengikatkan hati-hati yang mungkin tanpa terasa mulai bercelah dan meretak.
Anis cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya, diikuti Elly dan teman-teman yang lain. Ruangan seketika menjadi kosong, semua berhamburan keluar dari masjid. Sesosok gadis masih membungkuk terisak. Ujung jilbabnya basah, perlahan kudekati sosok yang kurasa tak asing bagiku.
“Ziya?” sapaku perlahan.
Gadis itu mengangkat wajahnya, seketika aku terdiam, tergugu dengan tatapan itu. Ada apa dengan Ziya?
“Ada apa Zi?”
“Mba tahu kalo Ziya…Ziyalah yang menggagalkan perjodohan itu Mba,”
Nafasku tersentak mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibir gadis yang sudah kuanggap adik kandung sendiri. Serentak gemetar tubuhku, Kutatap lekat-lekat wajah sendu Ziya yang basah.
“Mba gak tahu kan kalo aku saudara sepupu Mas Dika? Awalnya aku ingin kasih kejutan buat Mba Aya, tapi malam itu…malam itu …malam ketika Mba Aya mau ketemu Mas Dika itu….aku gak bisa memaafkan Mba Aya sejak malam itu,”
Aku masih tak berkutik dengan posisiku yang kaku, aku masih tak bisa mengerjapkan kedua mataku dari tatapan dendam yang terlontar penuh ke arahku.
“Mba Aya tahu kan kalo laptopku sedikit manja, dan sekarang laptopku udah rusak, udah gak bisa nyala, itu karena jaringan listriknya yang tiba-tiba putus karena kabelnya nyangkut di kaki Mba Aya malam itu. Mba Aya ingat kan? Padahal skripsiku udah tinggal ngeprint aza, tinggal dilaporkan aza, Karena itu aku harus ngulang semuanya dari awal, aku kecewa Mba, aku gak bisa terima atas apa yang udah Mba Aya lakukan terhadapku, apalagi kalo sampai Mas sepupuku menikah sama orang yang aku benci, aku gak rela Mba, makanya aku memaksa Pak Dhe dan Bu Dhe untuk melarang Mas Dika menikah sama Mba Aya,”
Dadaku serasa tercokol oleh ribuan paku yang menggunung, sesak, sakit, perih, semua terasa begitu memilukan. Perlahan kujauhkan diriku dari jangkauan lengan Ziya yang sejak tadi masih menggantung di jemari-jemariku. Aku membalikkan tubuhku menjauh, aku ingin membunuh rasa kesal ini sendiri.
Aku berusaha berlari dengan beban hati yang nian terasa beratnya. Namun…. Langkahku akhirnya terhenti, dalam pikiranku berkecamuk gundukan-gundukan energi positif dan negatif yang saling tarik-menarik, ’Jika kau tak memahami apa yang kuucapkan, sedang kau mencaciku. Namun aku tahu, kau tak tahu apa yang kau ucapkan, maka kumaafkan’
Kalimat itulah yang terngiang sesaat setelah kuputuskan kembali, kuraih tubuh Ziya yang terkungkung lemah. Kubisikkan kalimat indah dari Ustadz Aneif itu dengan penuh penyesalan, akupun tak luput dari noda hati yang membuat saudariku menangis tanpa aku tahu telah membuat hatinya luka dan kecewa.
“Afwan Mba…Ziya udah salah sama Mba, Ziya terlalu egois dengan pikiran-pikiran negatif Ziya sendiri, afwan Mba afwan…,”
Aku memeluk erat tubuh lemah itu, aku tahu aku tak bisa melupakan kegagalan dalam meraih cinta, tapi yang tengah dalam pelukankupun, dialah cinta, cinta yang tulus tumbuh karena kecintaan kepada-Nya… Yang kuharapkan bisa kujumpai di Syurga-Nya kelak….Insya Allah…Aamiin…
“Hm…untung berangkat kajian ya? Kalo gak, mungkin gak akan tertabayunkan sampai kapanpun, ya gak Nis?” Elly menyodok Anis yang tengah terisak.
“Anis baru sadar Mba, kalo kajian kayak gini adalah bengkel kita menata hati, salah satu tempat kita berkaca pada diri orang lain bukan hanya pada diri sendiri,”
“Hii…hi…hi….ternyata si bengal Anis juga bisa nangis juga toh?” Elly melingkarkan lengannya di pundak Anis yang masih tertegun dengan adegan mengharukan itu. Memang kajian itu bengkelnya untuk menata hati.
Orang yang beriman selalu punya cara sendiri untuk menata hatinya.
Saat mendapatkan kesulitan ia tetap ceria meski fisiknya mungkin lelah, pikirannya kalut dan jenuh…Tapi tidak dengan hatinya yang selalu yakin bahwa semua itu karena Allah masih sayang padanya….
Semoga kita tergolong makhluk-Nya yang beriman…
……….Aamiin..…..


Dwi Pangesti Aprilia
2401408012
Seni Rupa dan Desain-FBS

(Cerpen peringkat ke-6 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)