Sabtu, 17 Juli 2010

Shalat Ghaib

--- In assunnah@yahoogroups.com, emmy_atmahadi@... wrote:
> Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuuh,
> Kepada yang mengetahui,
> Mohon dijelaskan syarat2 dilaksanakannya Sholat Ghoib.

Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh

Setahu ana, syariat shalat Ghaib itu muncul ketika Rasulullah
memerintahkan beberapa para shabat untuk menyolatkan bersama beliau Raja
Najasy (Raja Habasyah, salah satu bagian dari Ethiopia dulu). Karena
Raja ini beragama muslim sedangkan rakyatnya masih Nasrani. Ini ada
hadits nya, tapi afwan ana lupa.

Tapi setau ana, jika seorang muslim yang meninggal sudah di sholatkan
(dilakukan shalat janazah), maka tidak wajib saudaranya yang jauh
lokasinya dengan mayyit untuk menyolatkannya kembali dengan shalat ghaib
tsb. Karena hukum dari shalat janazah ada fardhu kifayah. Bukan fardhu
'ain, yang berarti kewajiban seseorang muslim terhadap muslim akan gugur
jika sudah ada sebagian muslim yang melaksanakannya

Wallahu 'alam.

Silakan baca artikel dibawah ini



SHALAT JENAZAH DARI KEJAUHAN (SHALAT GHAIB)

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
http://www.almanhaj.or.id/content/2492/slash/0

Barangsiapa meninggal dunia di negara di mana di dalamnya tidak ada orang yang
menshalatkannya dengan kehadiran secara langsung, maka orang seperti ini dapat
dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin dengan shalat Ghaib. Hal itu
berdasarkan pada shalat Ghaib yang dilakukan oleh Nabi Shallalahu ‘alaihi wa
sallam terhadap raja An-Najasyi yang telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat
beliau, yang sebagian saling menambahkan sebagian lainnya.

Dan saya pun telah menghimpun hadits-hadits mereka mengenai hal tersebut lalu
saya menyitirnya dalam satu redaksi sebagai upaya mendekatkan faidah. Dan
redaksi hadits Abu Hurairah adalah sebagai berikut.

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ketika itu sedang
berada di Madinah) pernah mengumumkan berita kematian an-Nasjasyi (Ashhamah)
(raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya. (beliau bersabda :
“Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia –dan dalam sebuah riwayat
disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah meninggal dunia) (di
luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian menshalatinya)”, (Mereka
berkata : “Siapakah dia itu?” Beliau menjawab : “an-Najasyi”) (Beliau juga
bersabda : “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini”). Perawi hadits ini
pun bercerita : Maka beliau berangkat ke tempat shalat (dan dalam sebuah riwayat
disebutkan : Ke kuburan Baqi). (Setelah itu, beliau maju dan mereka pun berbaris
di belakang beliau (dua barisan) (dia bercerita : “Maka kami pun membentuk shaff
di belakang beliau sebagaimana shaff untuk shalat jenazah dan kami pun
menshalatkannya sebagaimana shalat yang dikerjakan atas seorang jenazah). (Dan
tidaklah jenazah itu melainkan diletakkan di hadapan beliau)” (Dia bercerita :
“Maka kami bermakmum dan beliau menshalatkannya). Seraya bertakbir atasnya
sebanyak empat kali”.

Diriwayatkan oleh al Bukhari (III/90,145,155 dan 157), Muslim (III/54), dan
lafazh di atas miliknya. Juga Abu Dawud (II/68-69), an Nasa’i (I/265 dan 280),
Ibnu Majah (I/467), al-Baihaqi (IV/49), ath-Thayalisi (2300), Ahmad (II/241,
280, 289, 348, 438, 439, 479,539) melalui beberapa jalan dari Abu Hurairah.

Perlu juga diketahui bahwa shalat Ghaib yang kami sebutkan diatas bukan yang
dikandung oleh hadits lainnya. Oleh karena itu, kami telah didahului oleh
sekumpulan muhaqqiq madzhab untuk memilihnya. Berikut ini ringkasan dari
ungkapan Ibnul Qayim rahimahullah dalam masalah ini. Di dalam Kitab Zaadul
Ma’aad (I/205-206) beliau mengatakan.

“Bukan petunjuk dan sunnah Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam untuk
mengerjakan shalat ghaib bagi setiap orang yang meninggal dunia. Sebab, cukup
banyak kaum muslimin yang meninggal dunia sedangkan mereka jauh dari Rasulullah,
namun beliau tidak menshalatkan mereka dengan shalat ghaib. Dan diriwayatkan
secara shahih dari beliau bahwa beliau telah menshalatkan shalat jenazah atas
an-Najasyi. Lalu muncul perbedaan pendapat mengenai hal tersebut dalam tiga
jalan :

1). Yang demikian itu merupakan syari’at sekaligus sunnah bagi ummat Islam untuk
mengerjakan shalat ghaib atas setiap muslim yang meninggal dunia di tempat yang
jauh. Dan hal itu merupakan pendapat asy Syafi’i dan Ahmad.

2). Abu Hanifah dan Malik mengemukakan, ‘Yang demikian itu khusus baginya saja
dan tidak untuk yang lainnya’.

3). Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa
orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal dunia di suatu negara yang tidak
ada seorang pun yang menshalatkan di negara tersebut, maka dia perlu dishalatkan
dengan shalat ghaib, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam atas jenasah an-Najasyi, karena dia meninggal di tengah-tengah
orang-orang kafir dan tidak ada yang menshalatkannya.Seandainya dia sudah
dishalatkan di tempat dia meninggal dunia, maka dia tidak dishalatkan dengan
shalat ghaib atas jenazahnya. Sebab, kewajiban itu telah gugur dengan shalatnya
kaum muslimin atas dirinya. Dan NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan
shalat ghaib dan meninggalkannya. Sedang apa yang dikerjakan dan apa yang beliau
tinggalkan merupakan sunnah. Dan ini menempati porsinya masing-masing. Hanya
Allah Yang Maha Tahu. Dalam Madzhab Ahmad, terdapat tiga pendapat dan yang
paling shahih diantaranya adalah rincian ini’”

Saya katakan : Ini menjadi pilihan sebagian muhaqqiq dari pada penganut madzhab
asy-Safi’i. Di dalam kitab Ma’aalim as-Sunan,al-Khaththabi mengatakan, yang
dikemukakan sebagai berikut:

Perlu saya sampaikan : “An-Najasyi adalah seorang muslim yang telah beriman
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan kenabian beliau,
hanya saja dia menyembunyikan keimanannya. Dan seorang muslim jika meninggal
dunia, maka kaum muslimin berkewajiban untuk menshalatkannya, kecuali jika dia
berada di tengah-tengah kaum kafir, sedang dia tidak ada seorangpun yang ada di
sekitarnya yang mau menshalatkannya, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengharuskan diri untuk mengerjakan shalat tersebut, karena beliau
merupakan Nabi sekaligus walinya serta yang paling berkewajiban melakukan hal
tersebut. Demikianlah –wallahu a’lam- sebab yang mendorong Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan shalat jenazah dari kejauhan (shalat
Ghaib)”.

Berdasarkan hal tersebut, maka jika ada seorang muslim meninggal dunia di salah
satu Negara, lalu kewajiban shalat jenazah atas dirinya sudah ditunaikan, maka
tidak perlu lagi orang lain yang berada di negara lain untuk mengerjakan shalat
Ghaib untuknya. Dan jika dia mengetahuinya bahwa yang meninggal tersebut tidak
dishalatkan karena adanya rintangan atau alasan yang menghalanginya, maka
disunnahkan untuk menshalatkannya dan hal itu tidak boleh ditinggalkan hanya
karena jarak jauh.

Dan jika mengerjakan shalat atas jenazahnya, maka mereka harus menghadap kiblat
dan tidak perlu menghadap ke arah negara jenazah itu berada jika negara tersebut
terletak tidak searah dengan kiblat.

Sebagian ulama memakruhkan shalat Ghaib atas seorang jenazah. Mereka mengklaim
bahwa apa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya khusus bagi
beliau saja, karena beliau berhukum sama seperti orang yang menyaksikan
an-Najasyi. Yang demikian itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dalam
beberapa kabar : ‘Bahwasanya bumi ini telah diratakan sehingga beliau dapat
melihat tempat an-Najasyi berada {1].

Yang demikian itu merupakan penafsiran yang salah, karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu perbuatan yang berhubungan dengan
syari’at maka kita harus mengikuti dan menirunya. Dan pengkhususan itu tidak
dikenal kecuali dengan dalil. Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pergi bersama orang-orang
ke tempat shalat, lalu beliau membuat barisan bersama mereka, lalu mereka pun
shalat bersama beliau, dengan demikian dapat diketahui bahwa penafsiran ini
salah. Wallahu a’lam.

Ar-Ruyani –seorang penganut madzhab asy-Syafi’i juga- secara baik menyampaikan
pendapat yang sama seperti pendapat al-Khaththabi, yang ia juga merupakan
pendapat Abu Dawud, di mana dia menerjemahkan hadits tersebut di dalam kitab
Sunannya melalui bab tersendiri yang dibuatnya, yaitu “Bab fii ash-Shalaah
‘alaal Muslimi Yamuutu fii Bilaadi asy-Syirk (bab Shalat Jenazah Atas Orang
Muslim Yang Meninggal Dunia Di Negara Orang Musyrik)”. Dan pendapat tersebut
menjadi pilihan Syaikh Shalih al-Maqbili, sebagaimana yang disebutkan di dalam
kitab Nailul Authar (IV/43). Dalam hal itu dia berdalilkan pada tambahan yang
tedapat pada beberapa jalan hadits.

“Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia di luar negeri kalian,
karenananya bangkit dan kerjakan shalat atas jenazahnya”. Dan sanadnya shahih
berdasarkan syarat asy-Syaikhan.

Dan di antara yang memperkuat tidak disyariatkannya shalat Ghaib bagi setiap
orang yang meninggal di tempat yang jauh adalah riwayat yang menyebutkan, ketika
para Khulafa-ur Rasyidin dan juga yang lainnya meninggal dunia, tidak ada
seorangpun dari kaum muslimin yang mengerjakan shalat Ghaib atas mereka.
Seandainya mereka mengerjakan hal tersebut, sudah barang tentu nukilan dari
mereka mengenai hal tersebut benar-benar mutawatir.

Sekarang perbandingkanlah hal tersebut dengan apa yang sekarang banyak dilakukan
oleh kaum muslimin sekarang ini, di mana mereka mengerjakan shalat Ghaib bagi
setiap orang yang meninggal di tempat yang jauh, apalagi jika orang yang
meninggal tersebut memiliki kedudukan dan nama baik sekalipun hanya dari sisi
politik saja dan tidak diketahui kepedulian dan pengabdiannya terhadap Islam.
Jika meninggal dunia di tanah suci Makkah lalu dishalatkan secara langsung oleh
ribuan kaum muslimin pada musim haji. Bandingkan apa yang kami sebutkan dengan
shalat yang seperti ini, niscaya secara yakin anda akan mengetahui bahwa yang
demikian itu bagian dari bid’ah yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan madzhab Salaf Radhiyallahu
‘anhum.

[Disalin secara ringkas dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia
Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah hal. 216-223,
Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM,
Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. Di dalam kitab al-Majmuu (V/253), Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa kabar
ini hanya merupakan khayalan-khayalan belaka. Kemudian dia menyebutkan hadits
al-Ala bin Zaidal mengenai pelipatan bumi ini bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga beliau dapat pergi dan mengerjakan shalat tas jenazah Mu’awiyah
bin Mu’awiyah di Tabuk. Dan dia mengatakan bahwa ia merupakan hadits dhaif yang
dinilai dha’if oleh para Huffazh, yang diantaranya adalah al-Bukhari dan
al-Baihaqi.