Kamis, 23 Juni 2011

Aku Tidak Boleh Bertemu Allah Lagi


Ketika kau sedang berada dalam bus Santoso, Tri Sakti, Sri Sejati, Sumber Alam, Tri Kusuma, atau pun bus - bus lain yang melewati Kota Gombong dan kau melihat lelaki kecil memainkan kecrek sambil mengiringi lagu "punk rock jalanan" yang dinyanyikan seorang gadis usia SMP, kuberi saran padamu, kawan. Masukkanlah uang ke dalam kantong plastik yang ia sodorkan pada akhir lagu. Kemungkinan yang bernyanyi itu mbakku dan yang menyodorkan kantong plastik itu adalah aku. Bayu. Begitu mbakku selalu memanggilku. Aku tak tahu berapa tepatnya usiaku. Tapi, anak - anak yang tingginya hampir sama denganku sering kulihat memakai seragam merah-putih diantar bapak - bapak atau ibu - ibu ke SD Negeri 2 Gombong tempat biasa bus - bus berhenti. Aku pernah bertanya di mana mamak dan bapakku pada mbakku.  Kata mbakku, mereka pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan sejak aku masih suka ngompol. Entah di mana. Jadi, lebih baik tak usah kuceritakan tentang mereka padamu, kawan. Takutnya kau salah berimajinasi. Aku pun sama sekali tak ingat wajah mereka. Pastinya, mereka tak mirip mamak dan bapak Tebe yang sering aku lihat di TV terminal, mereka terlalu cakep untuk memiliki anak sepertiku. Hehe.
Oh ya, pernahkah kalian berlibur ke Beteng Van Der Wicjk? Jika kau belum pernah dan ingin ke sana tapi tak tahu tempatnya, mudah saja. Kau tinggal bilang pada kondektur bus untuk menurunkanmu di SGB. Ya, beteng peninggalan Belanda itu tak jauh dari SGB. SGB itu nama sebuah halte. Mungkin saja kau akan melihatku sedang menghitung receh untuk uang setoran bersama mbakku sambil minum es  dawet ireng di sana. Ya, tiap hari kami harus menyetor Rp 10.000,00/anak pada Bu Nyai.
***
Jarum panjang jam dinding di dekat tempat imam menunjuk angka 4 sedangkan yang pendek berada di antara 5 dan 6. Kata mbakku, itu artinya hampir setengah enam.
Tetes air yang turun lewat tepi - tepi atap Masjid Kauman sudah kecil - kecil tak seperti setelah salam  kedua sholat dzuhurku tadi. Serambi Masjid Kauman kini sudah sepi, tinggal ada aku, mbakku, dan tiga bapak - bapak berjaket hitam. Sejak hujan deras lengkap dengan petir dan geluduk tadi, tak ada jama'ah dzuhur yang meninggalkan masjid ini. Sholat 'ashar pun masih dengan jama'ah yang sama seperti ketika dzuhur.
Selama hujan tadi, mbakku mengajari do’a untuk memohon hujan yang bermanfaat. Syukurlah do’anya sangat pendek, jadi mudah saja kuhafalkan.
Allohumma shoibannaa fi’a.
“Yaa Allah jadikanlah hujan ini membawa manfaat yang besar.”

Aku melihat ke arah mbakku. Ia menghitung uang yang ada di dalam plastik berkali - kali.
            "Kurang rongatus" begitu katanya tanpa melihatku tapi sepertinya ia tahu bahwa ia sedang kupandangi.
Setoran kurang.
Akhirnya mbakku memegang tanganku lantas mengajakku menuju SGB. Jarak SGB dan Masjid Kauman tak jauh, hanya lima menit sudah sampai. Di tempat itu bus - bus besar sering menurunkan penumpang.
Lihat! Sudah ada tiga anak kecil yang duduk di sana. Wajah mereka mirip sepertiku, hitam sekali. Bedanya, rambutku lebih rapi dibanding mereka. Jelas saja, tiap kali habis sholat mbakku selalu menyisir rambutku. Air wudhu yang membasahi rambutku membuatku seperti keramas 5 kali sehari.
Oh ya, kukenalkan tiga anak itu. Yang kurus tinggi itu namanya Ucup. Yang rambutnya keriting kecil - kecil itu Abid. Dan yang biasa - biasa saja itu Charly. Nama yang terakhir itu bukan nama sebenarnya. Dia yang meminta dipanggil dengan nama itu. Maklumlah, dia sudah sangat tergila - gila dengan vokalis group band ST 12 itu.
Kami tinggal dalam satu rumah. Tentulah mbakku yang paling cantik di antara kami. Meskipun Bu Nyai selalu memakai merah - merah di bibir dan pemutih wajah, tetap saja mbakku yang nomor satu. Bagiku, Bu  Nyai itu orang yang baik sekali. Buktinya, ia mau memungut kami dari jalanan. Selain itu, ia juga selalu memberi kami makan tiap malam dengan "sego kucing". Sayangnya, ia tak pernah membelikan kami baju sejak lebaran tahun lalu, itu pun karena baju yang lama sudah sobek di sana - sini. Alhasil, kami tumbuh menjadi orang - orang super bau sedunia.
Tapi, tetap saja Bu Nyai bukan orang jahat. Bagiku, orang terjahat di dunia adalah Pak Polisi yang suka bawa pentungan dan peluit. Pernahkah kalian kena pentungan Pak Polisi? Kusarankan jangan, kawan. Rasanya sakit sekali. Aku sudah pernah kena tiga kali. Mbakku tak pernah bisa melindungiku karena ia juga kena pentungan Pak Polisi lainnya.
Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttt.....
Kami berdiri dengan cekatan dan mencari sumber suara.
Baru saja kuceritakan orang - orang jahat itu padamu, kawan. Eh, ini sudah muncul.
Dua mobil polisi berhenti tepat di depan Toko Buku Gramedia yang halamannya cukup luas.
            "Mlayuuuuuuuuuu...." Ucup memberi aba-aba.
Mbakku memegang tanganku kuat - kuat lantas berlari tanpa melihat belakang menuju dapur Kawedanan. Tempat itulah persembunyian yang aman bagi kami berdua. Ruangan yang terletak di pojok Timur - Utara Kawedanan itu hanya digrendel kayu berkarat dari luar. Jadi, mudah saja bagi kami untuk bersembunyi di dalamnya. Kawedanan bersebelahan dengan Masjid Kauman. Biasanya, pegawainya sudah pulang selepas pukul 14.00 WIB. Hehe, kali ini kami tak perlu minta izin untuk bersembunyi pada pegawainya. Semoga boleh.
Jarak antara SGB dan Kawedanan tidaklah jauh, hanya sekitar 200 meter.
Kawedanan, Masjid Kauman, dan Bank BRI membentuk leter U. Masjid Kauman menghadap Timur berhadap-hadapan dengan Bank BRI. Di Bank BRI itulah aku melihat Pak Satpam yang juga punya pentungan. Setiap aku selesai sholat dan duduk di serambi masjid, cita-citaku menjadi satpam selalu muncul dan semakin menggebu-gebu. Aku ingin menjadi satpam yang punya pentungan supaya bisa mengalahkan Pak Polisi.
Kawedanan berada di antara keduanya dan menghadap ke Selatan. Di tempat itu sering diadakan lomba antarsekolah se-kecamatan Gombong. aku paling senang melihat drum band dan sepeda hias saat agustusan.
            "Alhamdulillaaah..." kata mbakku sambil cepat - cepat mengganjal pintu dapur Kawedanan dengan kursi kayu dari dalam.
Napasnya terdengar ngos - ngosan. Ruangan ini pengap sekali. Sepertinya memang sudah sangat jarang digunakan. Aku mengintip keadaan di luar dari jendela kaca. Mbakku memperingatkanku berkali - kali untuk duduk saja, kalau Pak Polisi lihat bisa kacau jadinya.
Ah, aku bandel kali ini. Aku ingin melihat adakah temanku yang tak seberuntung aku? Benar saja. Charly ketangkap! Tapi, konyolnya dia masih bisa menyanyi,"Biar orang berkata tidak, yang penting aku padamuuuuu..." sambil cengar-cengir. Aku ikut cengar-cengir dari dapur.
Tetes air dari langit tinggal satu-dua yang terlihat mata. Entah sekarang sudah pukul berapa. Mungkin sebentar lagi maghrib. Benar saja. Aku melihat Pak Rahmat menggandeng anak lelaki yang tingginya hampir sama sepertiku berjalan menuju Masjid Kauman yang hanya berjarak puluhan meter dari tempatku mengintip sekarang. Baju mereka bagus. Keduanya memakai baju putih-putih dan kupluk sewarna. Hmmm...aku ingin sekali punya baju seperti yang dipakai anak Pak Rahmat. Sudah berkali-kali aku meminta maaf pada Allah karena selalu bertamu dengan baju dan tubuh yang super bau. Tapi, mau bagaimana lagi? Cuma ini yang aku punya.
Padahal aku  sudah berkali-kali matur pada Bu Nyai, ingin dibelikan satu stel baju lagi. Kalau Bu Nyai ingin aku memakai baju yang sekarang untuk 'dinas', bolehlah. Tapi, saat bertamu pada Allah aku ingin sekali tidak memakai baju ini. Mbakku lebih beruntung daripada aku. Di lemari masjid ada beberapa rukuh bersih meskipun warnanya sudah putih semu-semu krem. Setidaknya lebih wangi daripada bajuku. Apa Allah tahu bahwa di dalam rukuh bersih itu ada baju kotor yang menempel di tubuh mbakku? Kata mbakku,"Mesti Allah yo ngerti."

Aduuuuuuuuuuuhhhh....ini nih yang paling aku tak suka kalau sedang musim hujan. Aku gampang kebelet pipis. Padahal tadi sebelum 'ashar aku sudah pipis. Aduuuuhh...tak nyaman sekali rasanya. Sudah tak bisa ditahan.
            "Mbaaaaaaaaaakkkk...." aku memegang bagian bawah sambil meringis menjunjukkan gigi-gigi gupisku.
            "Nang kene wae." mbakku cepat-cepat menyodorkan baskom yang ia ambil dari rak piring.
            "Emoh, ora ono banyu kok. Ora biso wawik." kataku sambil menahan rasa tak nyaman ini.
Mbakku segera mencari air di teko-teko yang berjejer di atas meja. Tapi tak ada setetes pun. Kosong.
Aku masih ingat waktu mbakku mengatakan bahwa kalau aku mau ketemu Allah, badanku harus suci dulu. Tidak boleh ada cipratan pipis, ee', darah, dll. Selain itu juga harus wudhu dulu supaya debu-debu dan kotoran yang aku bawa dari jalanan bisa hilang terguyur air. Nah, kalau aku tidak wawik, artinya di celanaku pasti ada cipratan pipis. Itu artinya aku tidak bisa ketemu Allah setelah ini? Ini celana satu-satunya yang aku punya.
Allah, aku ingin ketemu Engkau selalu di setiap saat Engkau mengundangku.
Srreeeettt....
Kutarik kursi yang mengganjal pintu dapur. Lantas aku berlari sekencang-kencangnya menuju kamar mandi masjid. Mbakku berteriak sejadi-jadinya. Aku yakin pasti Pak Polisi juga mendengar teriakannya. Sayang, tangannya tak sempat menahanku untuk tetap bertahan di dalam dapur Kawedanan. Sepintas aku melihat Pak Polisi pada jarak sekitar sepuluh meter dari tempatku berlari, lantas menjauh dan lebih jauh lagi. Benar saja. Ia mengejarku sambil meniup peluit panjang-panjang.
Ah, biarlah jika pentungan di tangan kanannya melayang di tubuhku lagi. Sepertinya, kena pentungan untuk keempat kalinya boleh juga, satu lagi dapat piring cantik nih aku.
Hap! Hampir saja tangan Pak Polisi berhasil memegang tanganku. Alhamdulillah pintu kamar mandi sudah kututup dulu.
Yes!
Ah, leganyaaa...
Pak Polisi berkali-kali menggedor pintu kamar mandi. Biarkan.
Allohuakbar allohuakbar...
Suara Pak Rahmat menggema di seluruh langit Gombong. Allah mengundangku lagi.
Pelan-pelan aku naik di bibir bak kamar mandi sambil berpegangan pada dinding berlumut. Dari ventilasi aku lihat Pak Polisi gendut yang tadi mengejarku kini sedang duduk di serambi masjid sambil melepas sepatu hitanya bersama Pak Polisi lainnya. Segera mereka ikut antre bersama bapak-bapak lain di tempat wudhu. Orang-orang jahat, ups! Orang-orang sangar itu ternyata tamu Allah juga.
            "Amaaaaannnn..." pikirku.

Catatan :
Sego kucing : nasi bungkus
Rongatus : dua ratus
Mlayu : lari
Grendel : kunci
Mesti Allah yo ngerti, : Patsi Allah ya tahu.
Nang kene wae : di sini saja
Emoh, ora ono banyu kok. Ora biso wawik. : Tidak mau, tidak ada air. Tidak bias cebok.