Kamis, 23 Juni 2011

KEPUTUSAN YANG DIPERSALAHKAN Oleh: Hafidza Amrini



            “Dapat salam dari temanku. Namanya Ratu. Eh, dia lucu loh. Dia bilang ngefans abis sama kamu karena kamu termasuk cowok langka…..” beber Malika.
            “Apa? Cowok langka? Emang aku sejenis makhluk yang harus dilindungi?” komentar Ditya, yang langsung membuat Malika tertawa sambil menutupi mulutnya. Tapi, Ditya mendengar suara tawanya yang pelan sekalipun.
            “Kenapa? Emang ada yang lucu? Temanmu itu yang harus dikasih tahu caranya ngasih komentar buat orang lain,”
            “Kok jadi sewot? Anggap aja itu salah satu cara dia mengungkapkan kekagumannya padamu,” balas Malika.
            Mereka berdua sedang berada di perputakaan. Terpisah diantara dua bilik baca yang saling berhadapan, mereka ngobrol dengan suara pelan.
            “Maksudnya kekaguman yang sudah tidak pada tempatnya? Aku heran, kenapa cewek-cewek suka melakukan hal yang sia-sia untuk diri mereka? Apa untungnya menggagumi seseorang, kemudian saling berdiskusi buat coba menarik perhatian mereka?” Ditya tetap ngotot.
            “Jangan cuma menilai dari satu sisi saja. Emang kamu mau dicap sebagai ikhwan kaku yang pemikirannya masih kolot?”
            “Aku gak kaku. Aku cuma bicara tentang kenyataan yang ada sekarang. Emang ada yang salah?”
            “Ada. Yang salah itu cara berpikirmu. Kenapa kamu gak bisa lebih ramah pada semua orang tanpa terkecuali?”
            “Kalo aku ramah pada semuanya termasuk cewek-cewek yang suka membicarakannku ketika aku lewat di depan mereka, itu sama aja aku memberikan kesempatan pada mereka untuk mendekatiku. Bukankah itu salah satu hal yang mendekati zina?”
            Sejenak hanya hening yang terasa dari bilik tempat Malika duduk, hanya suara nafsnya yang terdengar berat.
            “Semua perbuatan tergantung niat. Jika kamu meluruskan niat di jalan dakwah, maka hasilnya Insya Allah akan barokah. Kamu harus nyadar kalo sekarang kamu udah jadi public figure. Harus bisa jadi panutan. Bersikap terbuka kepada siapa saja itu penting, supaya dirimu tidak dikenal sebagai seorang yang misterius”
            “Oke. Jadi menurutmu aku harus gimana?”
            Tak ada jawaban. Diyta mencoba menunggu. Namun dalam hatinya masih penuh tanya. tidak biasanya Malika berpikir cukup lama menjawab pertanyaannya.
            “Kok diam?” Ditya mencoba membuka percakapan kembali. Dia mengira Malika jengkel dengan tingkahnya.
            “Kamu gak tidur kan?” lalu Ditya melongokkan kepalanya untuk melihat keadaan Malika.
            Astagfirullahaladzim….” Pekik Ditya histeris.
            Terlihat pemandangan yang membuatnya miris. Malika sedang memegangi dadanya. Nafasnya tampak tersengal-sengal. Ditya hafal betul keadaan seperti itu. Asmanya sedang kumat.
            “To…tolong ambilin obat…ku di tas,” pintanya masih dengan nafas tinggal satu-satu.
            Tanpa disuruh dua kali Ditya segera menuju tempat penitipan tas yang ada di depan pintu masuk. Dia mengambil tas Malika dan membawanya ke dalam. Sempat terdengar teriakan nyaring sang Penjaga perpus karena melihat Ditya membawa tas ke dalam ruang baca. Dengan jawaban singkat dia menjelaskan alasannya.
            Dengan sigap Ditya membawa membuka tas Malika dan mencari benda kecil yang dia tahu sebagai obat asma hisap yang selalu dipakainya saat penyakitnya itu kambuh.
            Begitu menerima benda itu, Malika langsung memasukannya ke dalam mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia menghirupnya.
            Satu menit, dua menit… Nafasnya mulai teratur, walaupun masih terdengah ‘suara khas’ ketika asmanya kambuh, tapi dia sudah bisa mengatur nafasnya.
            “Makasih…..” dia melepaskan benda yang sedari tadi bercokol di mulutnya. Ditya dengan sigap meraihnya dan memasukan kembali ke dalam tas Malika.
            “Sekarang udah baikan? Apa perlu ke dokter? Kayaknya serangan yang ini agak parah dan tanpa pemberitahuan,” Ditya mencoba sedikit berkelakar. Karena dia juga risih dengan cara bicara yang seolah perhatian, apalagi dengan seorang akhwat. Meskipun dia dan Malika sudah berteman baik. Namun ada beberapa pihak yang tidak sependapat dengan persahabatan antara ikhwan dan akhwat karena bisa saja mereka berkhalwat dengan dalih persahabatan. Tapi dengan diplomatis, mereka selalu bisa mematahkan argumen beberapa orang yang kontra.
            Keduanya memiliki karakter yang berbeda. Malika adalah akhwat cerdas yang pandai berargumen di depan umum dan bergaul dengan siapapun. Sedangkan Ditya, walapun dia juga sama cerdasnya dengan Malika, tapi dia cenderung type orang yang pilih-pilih dalam bergaul. Dia tak banyak berteman dengan teman sekelasnya yang kebanyakan orang ammah. Alasannya karena dia memegang teguh prinsipnya, ketika dia banyak berinteraksi dengan teman-temannya itu, nantinya dia akan lalai dan tidak bisa solat awal waktu. Namun, keduanya selalu bisa menyatukan pikiran. Walaupun tak jarang adu argumen tetap menjadi menu utama mereka.
            Pertemuan keduanya pun unik. Sampai kemudian mereka sering terlihat bersama. Entah di kelas wajihah dakwah, kelompok karya ilmiah, menjadi tentor di bimbel yang sama. Semua itu terjadi secara natural, dan semata karena kehendak Allah.
Dua orang yang hebat, dua orang yang selalu bisa menguasai medan dengan berbekal kesabaran, dan dua orang yang seringkali ditempatkan pada jajaran yang sama dalam tataran organisasi dakwah kampus, sungguh kebetulan yang butuh banyak perjuangan.
            Kembali pada cerita di awal…
            “Engg, sepertinya tidak perlu,” Malika terlihat agak canggung menyadari posisi dirinya dengan Ditya cukup dekat secara fisik. Dirinya berada ditempat dimana dia membaca pada awalnya, sementara Ditya ada disampingnya, sangat dekat.
            “Sepertinya kita harus segera menyudahi perbincangan kita. Ingatkan aku kalau kita belum menyelesaikan mengenai topik pergaulan lawan jenis yang masih memanas diantara kita,” Malika bersiap untuk berkemas. Dia mencoba untuk berdiri dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang masih ada dalam dirinya.
            “Perlu aku penggilkan akhwat lain untuk datang kesini membantumu!” tawar Ditya yang iba melihat Malika yang mencoba berjalan walaupun masih sempoyongan.
            “Tidak usah. Aku masih bisa jalan sendiri. Lagian kos-ku dekat kok. Dan aku bisa minta dijemput temanku di depan kampus,” balas Malika dengan tegas. Sementara Ditya berjalan agak menjauh di belakangnya, walaupun sisi-sisi kemanusiaannya tergerak melihat sahabatnya, atau lebih tepatnya saudarinya sedang kesakitan.
            Ini bukan pertama kalinya Ditya mendapati Malika hampir ambruk gara-gara penyakit asma yang sudah menemaninya semenjak masih kanak-kanak. Dulu, Malika bahkan sempat masuk rumah sakit karena paru-parunya mengalami penyempitan. Efek asma itu sendiri tentunya.
            “Um, andai saja aku ini akhwat. Aku pasti bisa menolongmu dengan leluasa…” ucap Ditya yang segera disesalinya. Kenapa keluar begitu saja dari mulutnya.
            Diluar dugaan Ditya yang akan mengira Malika akan marah karena perkataannya yang ‘agak sedikit nakal’ itu, namun akhwat tersebut malahan tersenyum kecil.
            “Kalau kamu jadi akhwat. Nanti bagaimana nasib cewek-cewek yang mengagumimu secara berlebihan itu? Bukankah mereka akan kecewa kalau kamu berubah jadi…”
            “Hei, kenapa harus menanggapinya secara berlebihan? Itu hanya perandaian saja,”
            Sampai di teras perpus menuju gerbang utama kampus. Ada sepasang mata yang menangkap bayangan Malika yang berjalan perlahan, sementara Ditya ada di belakangnya, walaupun agak jauh. Kedua mata itu menyipit melihat pemandangan tersebut. Dengan bergegas, sosok itu segera mendatangi target.
            “Malika…” panggilnya, terdengar akrab.
            “Ehhh, Mbak Khumaira…” jawab Malika singkat bercampur rasa kaget. Malika melihat sepercik api amarah dalam mata sang Murabbiyyahnya tersebut.
            “Kalian darimana saja? Kenapa cuma berdua saja?”
            Ishbir, Ukhti. Semua bisa dijelaskan baik-baik..” sela Ditya yang terkesan mendahului Malika yang hendak berbicara.
            Afwan, ana bertanya pada Malika,” jawab mbak Khumaira dengan tegas tanpa meninggikan suara.
           Dengan tenang dan bahasa yang halus, Malika menceritakan semua secara singkat pada Murabbinya, dengan Ditya yang masih berdiri di tempatnya.