Kamis, 23 Juni 2011

Lelaki Pilihan Oleh: Hafidza Amrini


Assalamualaikum…” suara seorang pria dengan nyaring di depan rumah seseorang.
            “Wa alaikum salam,” terdengar suara balasan dari dalam. Suara seorang wanita, yang diiringi gesekan alas kaki di lantai.
            Seulas senyum manis dari seorang gadis berjilbab menyambut sang Tamu. Dia membalas senyuman itu dengan gayanya yang khas.
            “Kita ngobrol di depan aja, ya. Tapi, kamu tunggu bentar. Duduk dulu juga gak pa-pa,” kata sang Gadis mempersilakan.

 
            “Siap, Tuan Putri,” balas sang Tamu sambil membungkukkan badannya. Keduanya tersenyum bersamaan.
            “Dasar kamu ini. Dari dulu gak pernah berubah. Aku tinggal sebentar, ya,” dengan gerakan anggunnya, sang Gadis masuk ke dalam rumah lagi.
            Tak beberapa lama sang Gadis keluar dengan membawa seorang anak kecil berusia 2 tahun.
            “Lihat tuh, siapa yang datang! Abbas kenal gak? Om siapa tuh namanya?” gadis itu membawa sang Anak ke depan menemui sang Tamu lelaki yang tidak lain adalah Syarif, teman dekatnya semenjak dia masih di Sekolah Dasar sampai sekarang dia sudah lulus kuliah.
            “Ho.. Ho ada si Jagoan disini rupanya. Ayo, salim dulu sama Om Syarif yang paling ganteng!” godanya sambil mendekati Abbas yang masih dalam gendongan Azaliya, sang Gadis berjilbab.
            “Jangan ngajarin yang kayak gitu, ah! Ntar dia gedenya jadi narsis kaya kamu lagi,” balas Azaliya setengah bergurau.
            “Gimana wisudanya? Sukses?” tanya Syarif memulai obrolan.
            “Alhamdulillah lancar. Mau liat foto-fotonya?” tawar Azaliya dengan bersemangat.
            “Gak, ah!” tolak Syarif cepat, “pasti semua fotonya isinya kamu semua. Bosen aku!”
            Kemudian Syarif tertawa renyah melihat Azaliya mengerucutkan mulutnya dengan gurauannya barusan.
            “Ya, deh! Sana ambilin fotonya! Aku dengan terpaksa, eh maksudku ngebet banget pengen liat,” tak henti-hentinya Syarif menggoda Azaliya.
            “Ya, udah,” Azaliya bersiap masuk lagi, “Abbas sama om Syarif dulu. Tante ke dalam sebentaaaar banget. Ok? Kalau ada apa-apa, Abbas teriak aja sekenceng-kencengnya,”
            Dia ‘membalas’ Syarif lewat Abbas tanpa bermaksud mengajari hal tidak baik pada keponakannya tersebut.
            Beberapa menit kemudian…
            Syarif sedang mengamati foto-foto Azaliya sewaktu diwisuda, sedangkan Azaliya dengan Abbas di pangkuannya, menjelaskan tiap foto dalam album tersebut.     “Apa rencana kamu setelah lulus?” tanya Syarif setelah selesai melihat seluruh foto yang ada dalam album wisuda Azaliya.
            “Seperti impianku dulu, aku ingin bekerja di LSM yang menangani tentang anak-anak. Sebenarnya gak nyambung, masa Sarjana Ekonomi mengurusi LSM, tapi biarlah. Aku kan penyayang anak-anak,” jawab Azaliya diiringi senyum simpulnya.
            “Aku juga masih anak-anak loh. Jangan lupa disayang juga!” celetuk Syarif usil.
            “Apaan, sih! Lama-lama candaan kamu garing tau. Ya, kan Abbas?” Azaliya berusaha mencari dukungan, namun Abbas yang belum lancar berbicara hanya mengeluarkan geraman aneh dari mulutnya tanpa ada yang tahu artinya.
            Keduanya terdiam sesaat, masing-masing sedang mencari topik pembicaraan yang akan dibicarakan.
            “Kapan kamu mau nikah?” akhirnya Syarif yang duluan membuka pembicaraan. Pertanyaannya tampak konyol.
            “Kenapa pertanyaan kamu kaya gitu. Lagian pake bahasa yang agak halus kan bisa. Masa tiba-tiba tanya hal pribadi kaya gitu caranya…” protes Azaliya.
            “Iya… Aku yang salah. Terus mau gimana lagi? Kamu kan tahu sendiri kalau aku gak pintar dalam berbahasa. Makanya diajarin, dong!” kilah Syarif tak mau kalah.
            “Pertanyaan kamu aneh tau,” komentar Azaliya tanpa melihat kearah Syarif, dia sedang membetulakan baju Abbas yang tersingkap.
            “Soalnya,” Syarif memelankan suaranya, “Kemarin aku ketemu Ayah kamu di jalan. Waktu aku tanya kabar kamu, beliau malah bercerita kalau kamu baru saja ‘ditanyakan’ sama anak teman ayah kamu yang katanya hafidz. Terus beliau juga cerita panjang lebar tentang pemuda itu. Dan…..”
            “Kamu kira dia yang akan jadi suamiku kelak?” potong Azaliya sebelum Syarif yang berbalik bercerita panjang lebar.
            “Mungkin saja kan?”
            “Tapi kami belum pernah membicarakan masalah pernikahan ini secara kekeluargaan. Pihak yang bersangkutan baru ‘menanyakan’ apa aku sudah punya calon pendamping hidup?”
            “Terus jawaban kamu?”
            “Ya, aku jawab belum…”
            “O, gitu ya…”
            Tiba-tiba pembicaraan mereka terhenti karena kedatangan ayah Azaliya secara tiba-tiba.
            “Nduk..” panggilnya lembut, “ Kamu bantuin ibu kamu di dapur gih. Ibu ndak ada yang bantuin. Biar ayah yang menemani Syarif disini,”
            Dengan patuh Azaliya menuruti perintah Ayahnya. Terlebih lagi keluarganya sudah kenal dekat dengan Syarif, jadi sudah tidak ada rasa canggung apabila dia ditinggal ngobrol bersama ayah Azaliya.
^^^^%^^^^
            “Tadi kamu sama ayah ngobrol apa aja?”
            Pembicaraan antara Azaliya dan Syarif Masih berlanjut di telpon.
            “Ngobrol biasa aja, layaknya obrolan antara dua orang pria,” jawab Syarif dengan jawaban nylenehnya.
            “Dasar kamu ini! Ya, udah kalau gak mau ngasih tau. Aku tutup nih, telponnya,” gertak Azaliya.
            “Ngobrolin kamu. Puas?,” seloroh Syarif.
            “Loh, kok bisa?”
            “Bisa lah kan pake A, kalau pake U jadinya Bisu,”
            “Syarif… Aku serius. Sekarang bukan waktunya becanda,”
            “Tadi obrolan tentang calon suami kamu berlanjut lagi, bahkan kali ini lebih panjang dari yang tempo hari. Sepertinya ayah kamu sudah sreg dengan pemuda itu. Malahan beliau berkata kalau aku harus datang di acara lamaran yang akan diadakan secepatnya. Mungkin pemuda itu memang jodoh kamu,” nada bicara Syarif terdengar menurun.
            “Yah, hal itu mungkin saja. Aku percaya pilihan orang tuaku adalah yang terbaik,”
            “Walaupun kamu tidak mencintainya?” pancing Syarif, karena kalimat Azaliya terdengar lemah.
            “Cinta bisa dibiasakan, tapi jodoh terbaik hanya ada satu kali kesempatan seumur hidup,”
            “Za…,” panggil Syarif kemudian, “Kamu ingat gak apa yang pernah aku katakan setelah lulusan SMA dulu?”
            “Apa? Kamu kan banyak ngomong. Mana mungkin aku ingat satu-persatu yang kamu katakan” canda Azaliya.
            Namun Syarif enggan membalasnya seperti biasa.
            “Waktu itu kamu pernah tanya setelah lulus mau ngapain? Terus aku jawab kalau aku pengen berkarir di bidang musik bersama grup band-ku, dapat uang banyak, lalu melamar kamu….”
            “Oh, yang itu. Candaan paling gak mutu itu ya? Yang coba mau bikin aku GeEr? Gak mempan kali buat aku,”
            “Aku gak becanda. Itu serius, Za. Percaya ato gak, itu sudah jadi cita-citaku sejak dulu,”
            “Apa? Apa yang ini juga hanya gurauan?”
            “Terserah kamu mau anggap gurauan atau apa lah. Yang jelas aku gak pernah main-main dalam hal ini. Mungkin kamu menganggap aku gak bisa serius, tapi aku ingin membuktikannya padamu. Besok aku akan datang kerumahmu dan melamarmu langsung pada orang tuamu. Aku gak mau didahului oleh siapapun, walaupun itu pemuda pilihan orang tuamu,”
            “Syarif, kamu jangan nekad. Kita bicarakan baik-baik dulu,”
            Tut…tut…tut
            Sambungan telpon terputus.
            Azaliya menutup gagang telpon dengan lemas.
            Apa yang selama ini dikhawatirkannya terjadi juga, walaupun tidak benar-benar seperti bayangannya dulu.
            Dia dengan Syarif memang sudah bersahabat sejak kecil, sebelum dia tahu batasan aurat wanita dewasa, sebelum dia tahu bahayanya hubungan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Dan dia baru memahaminya secara utuh setelah dia memasuki dunia perkuliahan. Dia mengikuti Tarbiyah, Dauroh, dan segala macam kegiatan keislaman lainnya. Dari situ dia mulai menjaga jarak dengan Syarif. Walaupun dia tidak secara frontal menjauhinya, tapi sedikit demi sedikit dia memperbaiki cara berinteraksi dengan sahabatnya itu. Syarif pun mulai mengerti kalau Azaliya yang sekarang tidak seperti dulu lagi yang selalu bisa menemaninya kemana saja setiap manggung bersama band-nya. Namun keinginannya untuk akhirnya bisa bersanding dengan sahabatnya sendiri di pelaminan tak pernah pupus. Dia benar-benar sudah yakin dengan keputusannya. Dulu dia sempat berpikiran untuk berpacaran dengan Azaliya, toh mereka berdua sudah sangat dekat. Tapi, selalu saja Azliya tidak pernah menganggap kalau perhatiannya yang sudah tidak wajar lagi sebagai sahabat, kata-katanya yang terkadang terdengar lembut, atau caranya memandang yang tampak beda itu sebagai tanda ada sesuatu yang disebut cinta.
            Latar belakang keluarga Azaliya adalah yang biasa disebut priyayi, atau bisa dibilang alim, jadi tak heran kalau orang tuanya mendidiknya secara Islami, terlebih lagi selama kuliah dia tinggal di lingkungan yang religius. Dia adalah sosok yang akhwat yang sangat moderat. Dia berteman dengan siapa saja, laki-laki atau  perempuan, namun tetap memperhatikan adab dalam bergaul, apalagi dengan lawan jenis. Oleh teman-temannya dia dijuluki Akhwat Gaul. Saat bersama dengan Syarif  pun, dia selalu ditemani entah dengan saudara, adik, atau teman perempuannya. Mengenai perasaan Syarif padanya, sebenarnya dia menyadari akan hal itu. Namun dia tidak mau memikirkannya, sebisa mungkin dia bersikap wajar seperti biasa. Dia tidak mau pacaran sebelum menikah. Dia lebih suka jika seseorang yang menyukainya datang ke rumah dan mengutarakan maksudnya untuk membina rumah tangga bersamanya daripada seseorang yang hanya berani mengajaknya untuk sekedar berpacaran. Sejujurnya dia senang ketika Syarif sudah memikirkan tentang pernikahan dan bermaksud untuk melamarnya. Akan tetapi, dia ragu ayahnya akan menerimanya, mengingat Syarif bukan berasal dari keluarga yang religius. orang tuanya adalah seniman nyentrik. Syarif sendiri tidak melanjutkan kuliah dan menjadi musisi. Calon menantu yang baik bagi ayahnya adalah dilihat dari latar belakang keluarganya, atau paling tidak seseorang lulusan pesantren. Maka, wajar jika ayahnya sangat bangga dengan pemuda yang hendak melamarnya karena pemuda itu adalah seorang penghafal Al Qur’an.
            Kini semuanya biarlah sesuai kehendak yang Maha Berkuasa. Dengan siapa nanti dirinya akan bersanding di pelaminan. Dia yakin orang tersebut adalah yang terbaik.
^^^&^^^
            “Kamu tidak salah, Le. Apa alasanmu tiba-tiba datang kesini dan menyatakan ingin melamar anakku. Bukankah kalian sudah bersahabat sejak kecil?” tanya ayah Azaliya dengan kaku. Di depannya sudah duduk Syarif dengan penampilan rapi, tidak seperti biasanya.
            “Karena saya ingin menjadi suami Azaliya dan membina sebuah keluarga,” jawab Syarif dengan jawaban yang sederhana.
            Ayah Azaliya tampak berpikir sejenak.
            “Begini, Le. Terus terang Bapak sudah memilihkan calon suami untuk Azaliya. Dan kami sekeluarga sudah cocok dengannya,”
            Azaliya yang hanya mengintip dari balik pintu harap-harap cemas.
            “Apa karena dia seorang yang hafal Al Qur’an dan saya tidak?” tanya Syarif seolah tidak setuju.
           “Oooo, ndak kaya gitu juga. Yang utama karena dia seorang pemuda yang hanif, agamanya juga kuat. Bapak yakin dia bisa membimbing Azaliya dengan baik,”
            “Apa Bapak sudah menanyakan pada Azaliya?”
            “Dia anak yang penurut. Pasti dia setuju dengan lelaki itu,”
            “Apakah menurut Bapak saya tidak pantas jadi suami Azaliya?”
            Beliau tertegun. Tidak menyangka anak muda di depannya akan bertanya seperti itu.
            “Le, kamu ini sudah Bapak anggap menjadi bagian dari keluarga ini. Makanya Bapak tidak pernah melarang Azaliya berteman denganmu. Kamu juga anak baik dan pemberani karena kamu sudah berani mengutarakan maksudmu melamar Azaliya. Yah, Bapak minta maaf belum bisa menerima lamaran kamu,”
            Entah kenapa Azaliya meneteskan air mata dengan penolakkan ayahnya terhadap Syarif. Apakah ini tandanya dia juga punya perasaan yang sama dengan Syarif?
            “Terima kasih, Pak,” hanya kata itu yang keluar dari mulut Syarif sebelum dia menInggilkan rumah Azaliya dengan hati yang hancur. Namun tekadnya tidak pernah surut. Jauh dalam lubuk hatinya dia tetap mengharapkan Azaliya.
^^^&^^^
            Suasana ramai di kediaman Pak Yasir, ayah Azaliya pertanda adanya sebuah acara besar. Yakni acara akad nikah kemudian dilanjutkan dengan resepsi. Dan tentu saja pempelai wanitanya adalah Azaliya.
            Air mata tak henti-hentinya mengalir deras dari kedua mata indahnya. Berulang kali penata rias harus kembali menyapukan bedak ke wajahnya karena bedaknya selalu luntur terkena air matanya.
            “Sudah, Nduk. Jangan nangis terus! Kasihan yang ngerias kamu, harus berkali-kali membetulkan make up kamu. Lagian sudah ditungguin calon suami kamu, tuh,” bujuk ibunya sambil membelai kepala Azaliya dengan lembut.
            Kemudian sebuah senyum mengembang dari bibir Azaliya.
            “Maaf. Aku hanya terharu, Bu. Aku tidak menyangka saat ini akan datang juga. Aku sebentar lagi akan turun,” balas Azaliya kemudian menyeka air matanya untuk ke sekian kalinya.
            Beberapa saat kemudian, Azaliya sudah siap untuk melangsungkan akad pernikahan dengan masih sesegukan. Maklum, dia menangis sejak tadi malam dalam qiyamul lail-nya.
            Ketika Ijab Qobul dilaksanakan, dia bisa menahan sejenak air matanya agar tidak mengalir deras. Namun, setelah itu dia tak kuasa untuk membendung tangisnya yang belum juga reda. Padahal sekarang dia yang sudah sah menjadi istri dari seorang pria yang kini duduk bersanding dengannya di pelaminan.
            “Aduh, segitu terharunya, ya,” sebuah suara mengagetkan Azalia dan itu berasal dari sebelahnya.
            Ya, Azaliya menangis karena terharu. Akhirnya yang bersanding dengannya adalah Syarif. Kejutan besar. Tahu kenapa?
            “Jaga baik-baik istrimu ya, Akhi!” seorang pemuda merangkul Syarif erat setelah ijab qabul selesai. Dia adalah Afnan, pemuda yang semula adalah calon suami pilihan ayah Azaliya yang ternyata teman satu halaqoh dengan Syarif.
            Syarif ternyata juga mengikuti tarbiyah, itulah kejutan lainnya. Hal itu sudah berlangsung setahun belakangan. Hanya saja dia tidak pernah menceritakannya pada Azaliya.
            Jadi, cerita selengkapnya adalah. Ketika Syarif menceritakan tentang masalahnya atas penolakan ayah Azaliya pada murabbi-nya dan teman-teman satu halaqoh-nya, ternyata salah satu temannya menanggapi, karena cerita Syarif mirip dengan kisahnya yang hendak melakukan ta’aruf dengan seorang gadis seperti yang diceritakan Syarif. Tenyata kisah mereka memang sama. Singkat cerita, sang Teman, yaitu Afnan, bersedia membantu agar Syarif dapat diterima keluarga Azaliya. Baginya, jika memang ikhtiar ini berhasil, berarti gadis yang sebelumnya direncanakan akan bersanding dengannya memang bukan jodohnya. Dan suatu hari nanti akan datang seseorang yang benar-benar menjadi jodohnya. Usaha tersebut ternyata tidak sia-sia. Seperti yang terjadi sekarang. Azaliya bersanding dengan Syarif, sahabatnya sendiri yang ternyata sudah banyak berubah.
            “Insya Allah. Antum cepet-cepet nyusul, ya. Ntar kita bisa balapan,” balas Syarif dengan senyum penuh arti.
            “Maksudnya balapan apa?”
            Dengan pelan dia membisikkan sesuatu ke telingan Afnan.
            “Balapan punya anak,”
            Afnan tertegun, namun dia sudah terbiasa dengan candaan Syarif.
            “Afwan, Akhi. Ana cuma becanda. Ana doain supaya antum segera dapat pendamping hidup yang shalihah,”
            “Amin,”

            “Tadi ngobrol apa sama Afnan?” tanya Azaliya penuh selidik setelah keduanya duduk bersama di tempat yang telah disediakan untuk kedua pempelai.
            “Ngobrolin soal balapan,” jawab Syarif singkat. Dia sengaja membuat Azaliya yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu penasaran dengan ceritanya..
            “Balapan apa?” terbukti caranya berhasil. Azaliya tampak antusias.
            “Balapan punya anak. Jadi nanti kita gak boleh kalah dari dia, ya. Kalau bisa kita punya banyak anak. Kan Rasulullah juga menyarankan kita punya banyak keturunan agar bisa menyampaikan dakwah ke semua umat,”
            “Ini beneran Syarif gak sih? Kok ngomongnya jadi kaya Pak Ustad gini” Azaliya masih tidak percaya kalau Syarif bisa berkata seperti itu.
            “Berarti kamu Bu Ustadnya. Apa yang aku omongin ada di hadist kok,”
            Azaliya menatap wajah di depannya yang nantinya akan menjadi teman hidupnya seumur hidup. Dia meyakinkan dirinya, bahwa Syarif-lah lelaki pilihan yang disiapkan Allah untuk menjadi pendamping hidupnya. Rencana Allah ternyata lebih indah baginya. Mungkin dia harus bersyukur jutaan kali karena mendapat anugrah yang tak terkira nilainya. Suami shalih yang akan membimbingnya menuju jannah.

SELESAI