Kamis, 23 Juni 2011

SEDEKAH (Cerpen Faknita Utami)


Wanita itu kembali menyerapah di hadapannya. Rasa ngilu menggodam jantung hingga dia tak merasakan desir darahnya mengalir. Rusmi ingin sekali menyumpal mulut wanita itu dengan sayuran busuk di hadapannya. Namun, dia hanya tergeming dan menahan amarah yang hampir meruah. Setiap kata yang tercurah dari mulut wanita itu telah melekat di benaknya. Biarlah dia mengoceh sampai puas. Rusmi berlari menerobos ladang jagung yang menutupi rumah biliknya. Emaknya telah menanti di teras.
            “Duh Gusti, sungguh teganya dia menyuruh anakku memakan tanah. Begitu hinakah keluarga kami hingga dia memperlakukan kami tak ubahnya binatang?“ Air bening mengucur deras dari pelupuk mata Emak setelah Rusmi menceritakan semuanya.
            “Mbok Karsinem bilang kita tak boleh ngutang di warungnya lagi selama kita belum mencicil hutang yang menggunung,” terang Rusmi sembari memeluk Emak.
            “Andai bapak masih hidup.” gumamnya lirih.
            Sekelebat ingatannya melayang ke masa lalu. Hatinya terkoyak jika mengingatnya. Saat itu, tepat ketika Bapak melantunkan adzan di telinga adik keduaku yang masih merah. Tiba-tiba polisi menyeruak masuk ke dalam rumah. Tanpa alasan jelas mereka memborgol tangan Bapak. Emak hanya bisa meraung-raung berusaha menahan Bapak. Tak ada guna, polisi menghalau Emak hingga jatuh tersungkur ke tanah. Rusmi pun hanya menangis, meringkuk di balik kelambu dipannya.
Bapak dituduh telah membunuh majikannya yang ditemukan tergeletak bersimbah darah di rumahnya 3 hari setelah Bapak meninggalkan rumah majikannya. Hal yang mustahil. Bapak adalah pegawai yang patuh pada majikannya. Bahkan Bapak rela tak pulang 1 bulan, karena majikannya tak mengijinkannya.
            “Bapak bukan pembunuh pak. Dia suami yang baik,” rintih Emak.
            Semenjak hari itu keluarganya menerima stigma keluarga pembunuh. Beban yang terlalu berat dipikul Emak yang belum selesai masa nifasnya. Tak pernah ada bukti bahwa Bapak melakukan pembunuhan. Namun Bapak tak kunjung dibebaskan. Proses hukum yang berbelit-belit masih mengungkung Bapak di penjara. Hingga Bapak meninggal karena depresi dan sakit-sakitan tak kuat menahan tekanan batinnya.
            “Sholat asar dulu, Rusmi.” Emak mengusap lembut bahunya yang membuat dirinya tersadar dari lamunan. Kumandang adzan terdengar dari surau desanya. Rusmi segera beranjak dari amben untuk mengambil air wudu.
***

            Semburat merah menilik di batas cakrawala. Lembayung awan pun merona malu. Matahari telah lingsir. Arif adiknya belum juga pulang. Tadi siang, dia meronta-ronta pada Emak untuk segera membayar uang SPP yang menunggak. Sungguh, zaman yang menggila hanya dapat membuat Emak mengurut dada. Harga minyak pun hampir memutuskan batang lehernya. Ketika panas bumi semakin mengganas. Membuat ladang jagungnya meranggas, tak berbuah. Penguasa telah menggilas kaum bawah dengan trengginas. Dengan apa lagi dia harus menyambung nyawa.
             Emak hanyalah seorang buruh penggarap ladang. Ladangnya yang hanya sepetak tak mencukupi lagi. Rusmi pun telah melepas impiannya menjadi astronom. Arif adalah harapan Emak satu-satunya untuk dapat meniti senjanya dengan damai tanpa terusik oleh nyanyian kemiskinan. Mungkinkah pupus jua asa itu karena biaya hidup yang menggorok urat nadinya.
            Bulu romanya meremang ketika menyusuri sungai bersama Emak. Rusmi mengajak Emak mencari Arif. Hanya obor satu-satunya penerangan mereka. Sungai Elo di pinggir desanya terkenal angker. Tersiar kabar dari penduduk sekitar bahwa di bantaran sungai itu terdapat kerajaan jin. Siapa pun akan bergidik mendengarnya.
Terdengar derap langkah yang melesak menuju tempat mereka berpijak. Rusmi semakin mengeratkan pegangannya ke lengan Emak. Emak menggenggam ranting bambu untuk berjaga-jaga. Rusmi mengucapkan istighfar berulang kali. Sesekali dia membaca ayat kursi yang telah dihapalnya ketika dia berumur tujuh. Bapak telah menjejalinya dengan berbagai surat Al- Qur’an. Ketika hapalannya salah, Bapak langsung menggiringnya ke sumur dan mengguyur badannya. Emak yang melihatnya pun hanya menggigit ujung bibirnya tak kuasa mencegah Bapak. Di umur sepuluh Rusmi sudah mampu menghafal juz ‘Amma. Suatu kebanggaan bagi Bapak.
Di balik temaram malam, langkah itu berubah rupa menjadi sosok kecil yang sangat Rusmi kenal. Adiknya yang masih mengenakan seragam merah putih segera berlari menghambur ke pelukan Emak. 
            “Mak, Pak Haji Sadikin bilang besok ada orang mau bagi-bagi duit,” katanya polos. Binar matanya begitu jelas di pelupuk matanya.
“Kalau kita dapet duit ntar Arif disunat ya, Mak?”
Emak tak mengucap sepatah kata hanya mendekap erat Arif.
***

            Gemerisik angin kemarau melingkupi malam buta. Bulan pun susut tak berpurnama. Suara jangkrik di ladang jagung menghalau senyap di rumah bilik Rusmi. Lampu teplok di ruang tamu adalah satu-satunya penerangan, rumahnya tak pernah tersentuh listrik. Rusmi menghampiri Emak yang tengah menekuri amplop coklat di genggamannya. Serasa mimpi segepok lembaran biru disentuhnya. Lima juta rupiah! Sungguh, angka yang begitu besar untuknya. Bahkan uang itu sanggup membungkam mulut Mbok Karsinem untuk tak mengeluarkan serapahnya lagi.
            Tadi siang Haji Sadikin mengantarkan seorang pengusaha muda ke rumahnya. Pengusaha itu baru saja memenangkan tender. Sebagai rasa syukurnya, dia mengucurkan uang puluhan juta khusus kepada anak-anak yatim di desanya termasuk Rusmi dan adiknya.
            “Mau kita apakan uang ini, Rus?”
            Rusmi terdiam, mengamati gamis putih lusuh yang dikenakan Emak. Rusmi masih ingat gamis itu pemberian almarhum bapaknya ketika Emak baru saja melahirkan Arif. Putihnya mengusam termakan zaman yang mengubahnya menjadi nestapa. Ah, sudah berapa tahun Emaknya tak mengganti gamis itu dengan gamis yang baru. Sewaktu pengajian di kampungnya pun Emak selalu memakai gamis yang sama. Tak dipedulikannya bisikan-bisikan yang mampu membuat kupingnya memerah. Emak lebih memilih mendengarkan tausi’ah yang diberikan Haji Sadikin. Emak tak seperti ibu-ibu lain yang sering mengenakan perhiasan dan baju yang berlebihan hanya sekadar untuk ikut pengajian. Gamis kusam telah menjadi seragam Emak. Dalam hati Emak pasti ingin seperti mereka.
            “Bayarlah dulu utang kita pada Mbok Karsinem. SPP Arif juga harus segera dilunasi.”
            “Apa kau tak ingin melanjutkan sekolah, Rus?”
            Batin Rusmi bergolak. Astronom adalah impiannya semenjak Bapak menunjukkan rasi bintang Orion. Gugusan bintang paling terkenal. Sebuah simbolisme pemburu besar.  Bapak menyebutnya bintang Belantik. Gugusan yang terdiri dari tiga buah bintang yang besar dan berkilauan mampu menyihir Rusmi. Dari hari itu, Rusmi ingin mengetahui rasi bintang yang lainnya dan menjadi astronom.
Mimpi itu terlalu muluk baginya. Rusmi takut bermimpi, baginya bermimpi tak ubahnya menggantang asap. Uang itu pun juga akan tandas untuk membayar semua utang Emak, tak tersisa untuknya.
            “Biarlah Arif menggapai asanya, Mak. Aku akan tetap membantu Emak di ladang. Aku pun bisa merantau ke kota.”
            Emak menggeleng pelan. Tak mungkin dia melepas Rusmi pergi ke kota yang telah membunuh suaminya. Hingga larut malam masih saja dihitungnya uang di genggaman. Entah sudah berapa puluh kali mengitungnya sembari menanam angan untuk apa uang itu.
***

            Pandangan Rusmi menyapu ke dalam kamar Emak. Didapatinya Emak tengah bersimpuh beralaskan sajadah. Air matanya menggenang seraya melantunkan kidung do’a.
            “Ya Allah, terima kasih atas segala nikmat yang Kau berikan. Limpahkanlah rahmat-Mu pada pengusaha itu.  Lapangkanlah rezekinya. Bukakanlah pintu surga-Mu untuknya. ”
            Semenjak pengusaha itu bertandang ke rumahnya, setiap malam Emak berdo’a untuknya. Dia ibarat malaikat yang membawanya terbang dari titik nadir. Meskipun Emak tahu do’anya tak mampu membalaskan budi kepada malaikatnya.
Emak telah membayar lunas semua hutangnya pada Mbok Karsinem. Belenggu selama bertahun-tahun akhirnya terlepas. Begitu juga uang SPP Arif telah terbayar hingga 3 bulan ke depan. Arif pun akan segera disunat usai liburan. Satu yang Rusmi tak terima dengan keputusan Emak untuk memberikan 20% uang itu kepada saudaranya.
“Uang itu terlalu besar, Mak. Kita juga butuh. Apa Emak tak ingat ketika meminjam sedikit uang untuk membayar uang sekolahku dulu? Namun, dengan pongahnya mereka mengusir kita!”
“Istighfar, Rus. Dia itu saudara kita. Sekarang dia sedang meregang nyawa. Jika tak segera dioperasi penyakitnya semakin parah,” ucap Emak berusaha menenangkan Rusmi.
“Jika saja dia mau meminjami sedikit uangnya aku masih bersekolah, Mak.”
Rusmi masih mendendam. Luka itu kembali menganga. Dia masih tak mengerti dengan keputusan Emak. Hati Emak begitu lembut meski telah dilempar sekam yang berbara tak membuatnya berubah. Mungkin Emak adalah malaikat.
***
            Gedoran pintu menyadarkan Rusmi dari alam mimpinya. Berani sekali subuh-subuh datang bertamu, pikirnya. Rusmi beranjak dengan malas dari dipa bambunya untuk membuka pintu depan. Haji Sadikin berdiri di hadapannya dengan raut muka pasi. Sepertinya ada hal yang genting yang segera ingin beliau kabarkan. Tangannya gemetar hebat. Barangkali kedinginan. Angin subuh pagi ini begitu menusuk seakan menyiratkan sesuatu.
            “Makmu mana, Rusmi?”
            “Ada apa pak Haji?” Rusmi malah balik bertanya.
            “Aku harus bertemu Makmu sekarang. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.” Haji Sadikin nampak kesal. Rusmi pun segera beringsut masuk ke dalam rumahnya.
            Emak berjalan tergopoh-gopoh menuju teras depan. Tak dipedulikan kerudungnya yang berantakan. Degup jantungnya mengencang. Tak mungkin Haji Sadikin datang subuh-subuh jika tak ada berita penting.
            “Pengusaha itu meminta uangnya kembali. Usahanya bangkrut. Siang ini dia akan datang.” terang Haji Sadikin tanpa memberikan Emak kesempatan untuk bertanya sebelumnya.
            Emak berdiri mematung. Darahnya tersirap. Dingin telah merasuki ulu hatinya. Dongeng kemiskinan kembali mengusik sukmanya. Emak tak menangis, urat matanya telah beku oleh nasib buruk yang mendekapnya. Bibirnya terkatup rapat. Hanya memandang Haji Sadikin dengan getir.
            “Subhanallah,” ucap Emak sebelum limbung ke tanah.  
***