Kamis, 23 Juni 2011

Zulaekha Oleh: Ida Safitri


Zulaekha tersenyum-senyum sendiri menatap dinding kamarnya. Bukan karena warna catnya yang baru, bukan juga karena ada sepasang cicak yang sedang bercengkerama mesra di sana. Ia tidak sedang menikmati pemandangan pada dinding tersebut. Tetapi pikirannya sedang terbang, jauh menembus dinding kamarnya. Hari ini ia sedang merasa sangat bahagia. Sejak tadi malam tepatnya, ketika seorang pemuda tampan datang melamarnya.
Namanya Syaefudin, idola para gadis di kampung Zulaekha. Perawakannya yang tinggi, tegap, berambut sedikit ikal, dengan wajah agak ke-Timur Tengah-an, membuat gadis-gadis kampung memujanya. Ditambah lagi, Syaefudin merupakan juragan beras di pasar Klowor. Tampan dan kaya.

 
Tak heran jika Zulaekha, gadis biasa putri dari seorang petani, merasa seperti mendapat durian runtuh ketika dilamar oleh pemuda impian gadis-gadis di kampungnya. Ia merasa seperti Kate Middleton yang dipinang Pangeran William.
“Lekha… “ Ujar Syaefudin tadi malam setelah lamarannya diterima oleh keluarga Zulaekha. “Mungkin Lekha kaget kenapa tiba-tiba Akang datang melamar Lekha. Padahal selama ini kita belum pernah bicara banyak, hanya sebatas bertegur sapa. Tapi, sebenarnya Akang sudah lama suka sama Lekha, dan Akang sudah tau banyak informasi tentang Lekha. Di antara para gadis di kampung ini, Akang merasa, Lekha-lah yang pantas mendampingi Akang.”
Wajah Zulaekha memerah, tersipu malu. Ia hanya menunduk, tak berani menatap wajah sang Akang Syaef. Malu bercampur bahagia. Ia benar-benar melambung.
“Tapi Kang, kenapa Lekha? Lekha hanya seorang gadis biasa… Dibandingkan dengan teman-teman Lekha, Lekha bukanlah apa-apa…” Lekha merasa rendah diri.
“Siapa bilang Lekha gadis biasa? Lekha itu gadis cantik, baik, dan sopan.”
Zulaekha melambung semakin tinggi.
Hingga malamnya, Zulaekha tidak bisa tidur karena terlalu bahagia. Menjelang subuh ia baru bisa terlelap. Itupun hanya satu jam karena azan subuh sudah berkumandang. Setelah sholat, ia bergegas ke dapur membantu simboknya. Simbok sedang sibuk menyalakan tungku untuk ngliwet. Zulaekha mengambil pisau, membantu meracik bumbu. Simbok mengamati putrinya yang sedang mengiris bawang merah, “Kalau masak itu jangan sambil melamun to Nduk… Apalagi mesam-mesem sendiri…” Goda Simbok.
“Ah, Simbok… “ Zulaekha tersipu.
“Kamu seneng Nduk?
Zulaekha menjawab dengan senyuman, lalu mengangguk.                        
“Kamu sudah dewasa, Nduk. Sudah waktunya menikah. Kamu harus belajar menjadi istri yang baik. Salah satunya ya pinter masak, biar disayang suami.”
“Nggih, Mbok.”
Selesai memasak bersama simboknya, Zulaekha mengambil ember berisi pakaian kotor, kemudian melangkahkan kakinya menuju sungai. Matahari mengintip di batas cakrawala, cahayanya yang kuning keemasan menghujani gadis-gadis kampung yang sedang mencuci pakaian di sungai Watukebo. Dinamai demikian karena di sungai tersebut ada bongkahan batu besar yang bentuknya mirip kerbau, yang konon merupakan kerbau seorang syekh terkenal jaman dahulu.
Begitu Zulaekha sampai di tepi sungai, gelak tawa dan teriakan-teriakan kecil yang tadi terdengar dari kejauhan mendadak hilang. Aktivitas mereka terhenti. Semua mata tertuju pada gadis yang baru saja datang. Menjadi pusat perhatian seperti itu, Zulaekha jadi salah tingkah. Ia mempercepat langkah dan menghampiri sahabatnya, Marni.
“Ini ada apa Mar? Kenapa semua orang melihat aku seperti itu?” Bisik Zulaekha.
“Kamu beneran habis dilamar Kang Syaef?” Bukannya menjawab pertanyaan Zulaekha, Marni malahan balik bertanya.
Wajah Zulaekha yang tadi tegang, mendadak berubah memerah. Wajahnya memang sangat sensitif, mudah sekali memerah bila sedang malu atau tersipu. Tiba-tiba ia sadar, ternyata inilah yang membuat teman-temannya aneh pagi ini. Pertanyaan Marni cukup mewakili tanda tanya besar dalam benak mereka, dan sekarang mereka pun ikut menunggu jawaban Zulaekha.
Zulaekha mengangguk pelan, “Iya, benar.” Jawabnya singkat sembari tersipu malu. Marni langsung memeluknya dan mengucapkan selamat, begitu pula dengan beberapa teman lainnya. Namun, tentu saja, ada beberapa pihak yang merasa tidak senang. Hal itu terbukti dengan adanya gosip yang kemudian beredar di seantero kampung, mengatakan bahwa Zulaekha memikat Syaefudin dengan cara yang tidak dibenarkan agama. Mulai dari Zulaekha memakai susuk kecantikan, pelet, guna-guna, dan sejenisnya.
Keluarga Zulaekha benar-benar merasa sedih mendengar kabar burung itu.
“Sudahlah, Nduk. Gusti Allah tau mana yang benar mana yang dusta. Tidak usah terlalu dipikirkan ya Nduk…” Simbok mencoba menghibur.
“Tapi, Mbok, bagaimana kalau para tetangga percaya sama gosip itu? Kan malu…”
Bapak ikut menengahi, “Biarkan saja, Nduk. Nanti juga lama-lama hilang. Barang yang batil lama-lama pasti musnah. Gusti Allah tidak tidur.”
Zulaekha mengikuti nasehat bapak dan simboknya. Ia hanya bisa berdoa dan memohon kepada Gusti Allah untuk selalu menjaganya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu, doa Zulaekha dan keluarganya terjawab. Gosip murahan itu lenyap dengan sendirinya, tak ada yang peduli. Zulaekha gadis yang salehah, rajin sholat berjamaah di langgar kampungnya, juga mengikuti ceramah pak kyai. Tentu tidak ada yang percaya Zulaekha melakukan perbuatan musrik seperti itu.
Hidupnya kembali damai. Setiap beberapa hari sekali, Syaefudin datang ke rumah untuk silaturahmi dengan keluarga Zulaekha. Atau memang sengaja datang untuk menemui calon istrinya, Zulaekha, meskipun hanya sekedar mengobrol di ruang tamu. Mereka memang tidak berani melakukan hubungan terlalu jauh sebelum resmi menikah, Zulaekha telah dinasehati oleh Pak Kyai ketika mengaji. Syaefudin semakin bangga pada Zulaekha.
Dan Syaefudin ternyata tipe lelaki romantis. Ia sering memberikan kejutan-kejutan kecil untuk Zulaekha. Pernah, suatu hari ketika Zulaekha pulang dari langgar untuk sholat isyak, ia terpukau melihat kamarnya berubah menjadi lautan bunga, segala rupa. Zulaekha memekik histeris lalu berlari ke ruang tengah untuk bertanya pada bapak dan simboknya.
“Kamu suka bunganya, Nduk? Itu tadi dari Syaefudin, orang suruhannya yang mengantarkan bunga-bunga itu, lalu simbok membantu menatanya di kamarmu.”
Malam itu Zulaekha tidur dengan hantaran semerbak bunga, dan bermimpi indah…
*
Sudah seminggu Zulaekha sakit. Tubuhnya terbaring lemah, kepalanya pening. Zulaekha sudah diperiksakan di puskesmas kampung, namun kondisinyanya tak kunjung membaik. Bapak dan simbok sangat khawatir. Beberapa kali Syaefudin menjenguknya, sambil membawakan buah-buahan, termasuk buah rambutan kesukaan Zulaekha. Syukurlah, tiga hari kemudian kesehatannya berangsur-angsur pulih.
“Obatnya tetep diminum lho, Nduk, sampai habis. Begitu pesan Bu Ratri.” Nasehat simbok. Bu Ratri adalah bidan yang bertugas di puskesmas kampung sebelah, yang jauhnya lima kilometer. Kampung Zulaekha sendiri belum mempunyai puskesmas. “Makanannya juga dihabiskan, biar perut Lekha ada isinya.” Lanjut simbok.
“Tapi mulut Lekha rasanya pait banget, Mbok...” Keluh Zulaekha. “Rasanya mau muntah kalau dipaksa makan.”
Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Syaefudin datang. Dia membawakan makanan seperti biasa. Pagi itu perut Zulaekha diganjal dengan roti rasa coklat yang dibawakan Syaefudin. Sementara simbok pergi ke sawah mengirim bekal sarapan untuk bapak, Syaefudin mengajak Zulaekha berjalan-jalan di sekitar kampung untuk mencari udara segar.
“Sebenarnya Lekha sakit apa to?” Syaefudin memulai percakapan.
“Lekha juga tidak tau, Kang. Bu Ratri tidak mengatakan apa-apa. Lekha hanya diberi obat sesuai apa yang Lekha rasakan.”
Mereka sampai di tepi sungai, tempat teman-teman Lekha mencuci pakaian. Marni, yang pertama kali melihat kehadiran mereka, mendadak bangkit dan berlari menyongsong Zulaekha.
“Lekhaaa…” Marni memeluk Zulaekha. “Kamu sudah sembuh? Kangen lho… Tidak seru kalau tidak ada Lekha…” Cerocos Marni. ”Eh, ada Kang Syaef…” Marni menganggukkan kepala kepada Syaefudin dengan sedikit salah tingkah. Syaefudin hanya tersenyum melihat kelakuan sahabat Zulaekha.
“Yah beginilah, seperti yang kamu lihat, Mar.” jawab Lekha kalem.
Setelah beberapa saat bertegur sapa dengan teman-temannya, wajah Lekha sedikit pucat. Mereka berdua memutuskan untuk pulang. Beberapa meter sebelum gang rumah Zulaekha, mereka bertemu dengan Lestari, anak pemilik toko kelontong di pasar yang bersebelahan dengan toko Syaefudin. Lestari sudah lama naksir Syaefudin.
“Eh, Kang Syaef…” Sapanya. “Ngapain di sini?“
“Ini, menemani Lekha jalan-jalan. Biar cepat sehat.”
Lestari melirik Zulaekha dengan sinis. Dan sama sekali tidak menyapanya. “Pasarnya lagi ramai lho… Kasihan pelanggan yang nyari Akang…”
“Tidak apa-apa. Kan ada Wak Narto yang jaga toko. Akang duluan ya, kasihan Zulaekha kalau terlalu lama di sini.”
Lestari cemberut. Lalu pergi.
Sejak itu, Zulaekha sering sakit-sakitan. Hingga ia harus dibawa ke kota untuk di-opname di rumah sakit. Simbok menunggui Zulaekha, sedangkan bapak yang dibantu Pak Kusumo, ketua RT, sibuk kesana kemari mengurus surat-surat Askes untuk meminta keringanan biaya rumah sakit. Para tetangga di kampung juga berbondong-bondong ke kota untuk menjenguk Zulaekha. Termasuk para sahabatnya.
Setelah lima hari dirawat, berdasarkan uji laboratorium, akhirnya orang tua Zulaekha mendapat kepastian penyakit yang diderita putri semata wayangnya. Leukimia. Kanker darah. Simbok tak kuasa menahan air mata ketika dokter mengatakan bahwa penyakit tersebut belum ada obatnya.
“Kenapa harus Lekha, Pak? Kenapa harus anak kita??”
Bapak mengelus-elus punggung simbok, menenangkan. “Sabar, Mbok. Gusti Allah sedang menguji keluarga kita.” Hibur bapak, meskipun dalam hati beliau juga merasa hancur mendengar vonis dokter.
Zulaekha sangat terguncang. Rasa takut bercampur sakit yang dirasakannya membuat wajah Zulaekha pucat pasi. Badannya gemetar. Tangisnya pecah. Ia terisak keras.
“Sebentar lagi Lekha mati, iya kan, Mbok?” Ucapnya putus asa.
Baru satu bulan yang lalu ia merasa menjadi gadis paling bahagia. Dan sekarang, ia merasakan kebalikannya. Ternyata roda kehidupan sedang berputar. Sekarang ia berada di bawah. Ia merasa tak memiliki masa depan. Wajah Syaefudin terbayang sekilas, lalu menghilang. Gelap.
Wajah tampan yang selalu menghantuinya kini muncul, duduk di tepi ranjangnya.
“Lekha pasti sembuh. Kita akan menikah. Lalu punya anak. Kita akan hidup bahagia.” Itu kata-kata yang ingin Zulaekha dengar dari Syaefudin. Namun yang terjadi, calon suaminya itu hanya menatapnya iba. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mengasihani gadis yang mau mati. Zulaekha tak tahan, ia memalingkan muka. Air matanya mengalir.
Lima detik kemudian ia kembali menatap wajah Syaefudin. Dan bertanya, “Akang tidak akan meninggalkan Lekha, kan? Akang akan tetap menikahi Lekha, kan?” Zulaekha menjerit histeris. Tiba-tiba ia hilang kendali, menendang-nendang, frustasi.
Syaefudin terdiam. Butiran bening menetes pelan dari matanya. Ia tak tega melihat belahan hatinya menderita. Seketika ia berdiri, lalu menuju pintu. Meninggalkan Zulaekha yang sedang diberi suntikan obat penenang oleh seorang suster.
Itulah kunjungan terakhir Syaefudin di rumah sakit. Zulaekha mulai bertanya-tanya.
“Kang syaef kok tidak pernah menengok Lekha lagi ya, Mbok? Kira-kira kenapa ya? Apa karena Lekha kemaren keterlaluan waktu terakhir kali kang Syaef kesini?”
Simbok hanya diam. Bapak segera menjawab, “Ya mungkin saja Kang Syaef lagi sibuk.”
Zulaekha ragu. Bahkan ketika ia sudah beristirahat di rumah beberapa hari, Syaefudin tak kunjung datang. Ia merasa galau. Dan apa yang ia takutkan selama ini akhirnya terjadi. Berita itu meluncur pelan dari bibir simboknya.
“Keluarga Syaefudin membatalkan lamarannya, Nduk.” Lagi-lagi simbok menangis. Berduka untuk anak kesayangannya yang dirundung musibah bertubi-tubi.
Zulaekha tahu pasti apa sebabnya. Tidak ada orang yang mau menikahkan anggota keluarganya dengan gadis yang jelas sebentar lagi akan mati. Tak ada seorang pun lelaki yang sudi menikah dengan gadis yang mau mati. Zulaekha merasa dunianya telah berakhir sampai di sini.
*
Satu tahun berlalu. Zulaekha kembali terbaring di rumah sakit. Beberapa kali ia jatuh pingsan di sungai saat mencuci pakaian bersama-temannya. Kini tubuhnya sangat lemah, kurus kering digerogoti kanker. Terbayang beberapa bulan yang lalu, ketika Zulaekha mengantarkan bekal sarapan untuk bapaknya di sawah, ia berpapasan dengan Kang Syaef… dan istrinya. Hatinya bagai ditusuk sembilu. Istrinya, gadis yang sangat ia kenal, anak pemilik toko kelontong di pasar. Lestari. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan, sementara suaminya hanya menunduk, tak mempunyai keberanian untuk sekedar melihat wajah Zulaekha.
“Jangan melamun, Nduk.” Simbok membuyarkan lamunan Zulaekha.
“Lalu Lekha harus ngapain, Mbok? Yang bisa Lekha lakukan hanya melamun. Sebentar lagi Lekha akan mati...”
“Lekha pasti sembuh.” Potong bapak cepat.
“Sudahlah, Pak. Lekha tidak usah dihibur. Lekha sudah pasrah sam Gusti Allah…”
Simbok keluar ruangan. Menangis. Tapi beberapa saat kemudian, simbok kembali masuk ruangan, bersama Mak Irah, tetangga mereka di kampung.
“Tadi habis dari pasar, langsung ke rumah sakit.” Katanya. Mak Irah memang berjualan pakaian di pasar. “Sekalian nengok bayinya Lestari. Perempuan. Cantik.”
Air muka Zulaekha berubah. Bapak dan simbok menatapnya dengan cemas. Khawatir kalau tiba-tiba Zulaekha menangis.
Mengetahui ketegangan yang menyelimuti ruangan, Mak Irah merasa tidak enak. Ia baru sadar bahwa dirinya salah ucap. “Aduh, maaf. Mmm… saya permisi dulu ya.”
“Kenapa jadi buru-buru, Mak?” Tanya simbok.
“Tadi yang jaga toko si Munir. Kasian kalau kelamaan jaga. Lekha, cepat sembuh ya, Nduk.”
Secepat kilat Mak Irah menghilang di balik pintu.
Zulaekha tak mampu membendung air matanya. Simbok memeluknya. Membiarkan buah hatinya menumpahkan kesedihan di pangkuannya. Setelah beberapa jam, Zulaekha tertidur. Napasnya berhembus teratur. Pelan. Sangat pelan.
Hari itu, saat anak pertama Syaefudin menhembuskan napas pertamanya di dunia, Zulaekha menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia akan beristirahat dengan tenang di alam sana. Tak akan ada lagi pengkhianatan. Tak akan ada lagi duka. Dan Tak akan ada lagi air mata.

Based on the true story
To my beloved friend
Beristirahatlah dengan tenang di sisi-Nya